Dengan wajah pucat pasi Janeta berusaha menjinakkan si guk guk. Ia memberikan senyuman termanis yang ia miliki yang bahkan kepada cowok terganteng sedunia pun belum pernah ia berikan.
“Heloo ganteng..! Jangan marah dulu. Kita kan belum berkenalan.” ucap Janeta mencoba merayu si guk guk yang masih saja memandang sangar ke arahnya.Bukannya merubah wajah sangarnya menjadi lebih ramah, si guk guk malah menggeram sambil memamerkan taringnya yang aduhai menyeramkan.“Iii...” Janeta bergidik. Ia mencoba melafal beberapa doa namun tidak mampu jua menurunkan frekwensi kegarangan si guk guk.“Guuk..guuuk..guuk..!” Anjing itu mulai menyalak lagi. Matanya dengan tajam memandang Janeta yang meringkuk di bawah pohon katuk yang cukup rimbun.Tiba-tiba Janeta melihat ada sebuah batu sebesar kepalan tangan tak jauh dari tempatnya duduk berjongkok. Janeta langsung teringat bahwa ia pernah membaca artikel tentang cara menanggulangi anjing g“Kalau memang Pak Warno adalah pembunuh bayaran, mengapa justru keponakannya sendiri yang menjadi korban pembunuhan?”“Ataauuu... Ooh, tak mungkin. Tidak mungkin Pak Warno yang membunuh keponakannya sendiri.” Janeta berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumah kontrakannya. Ia sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.Pertemuan tak sengaja dengan si Ibu pemilik gubuk di tengah sawah, membuat Janeta semakin penasaran atas kematian Lusy, madu tua Shania tersebut. Semuanya menjadi semakin mencurigakan termasuk Pak Warno, paman korban sendiri. Yang jelas, Lusy pasti di habisi oleh orang yang mempunyai kepentingan dengannya. Dugaan Lusy di rampok, itu jauh dari kemungkinan.“Tapi..., Mengapa Shania bertemu dengan Pak Warno diam-diam?” Janeta terus memutar otaknya. Ia memijit pelipisnya yang mulai berdenyut.“Ataaau, jangan-jangan ada konspirasi di antara mereka berdua.” gumam Janeta menerka-nerka.“Rasanya
Sebuah kertas agak tebal berlipat yang jatuh dari balik bingkai foto pernikahan Lusy dengan Tuan Fidel, kini berada dalam genggaman Janeta. Janeta segera membuka lipatan kertas itu dan ternyata adalah sebuah foto yang nampak di ambil dari jarak yang cukup jauh dan di malam hari yang di tandakan dengan cahaya lampu yang nampak tidak begitu terang.Dalam foto itu terlihat Tuan Fidel tengah merangkul seorang wanita yang membelakangi kamera. Wajah Tuan Fidel nampak jelas namun wanita yang berdiri memunggung ke kamera tersebut terlihat membalas pelukan Tuan Fidel, hanya terlihat busananya saja.“Siapa wanita ini?” tanya Janeta di dalam hati sambil menatap foto itu. Nampaknya foto itu masih baru. Yang terlihat jelas hanyalah gaun yang dikenakan wanita di dalam foto itu agak kembang selutut berwarna orange cerah dan berhias kembang putih, high hills putih susu dan sebuah selendang berwarna putih polos yang menjuntai di punggungnya.“Sebaiknya ini aku
Sesampai di rumah Shania sudah lewat jam makan siang. Jarum jam menunjukkan pukul dua lebih dua belas menit. Cacing-cacing di dalam usus Janeta mulai berdemontrasi menuntut haknya.Janeta memarkirkan mobil majikannya dengan hati-hati di garasi. Ia turun dari mobil itu lalu bersiap untuk mendekati sepeda motornya yang juga terparkir di halaman yang luas itu. Namun sebelumnya Janeta menunggu Shania turun untuk berpamitan kepadanya.“Nyonya, saya langsung pulang sekarang?” tanya Janeta memastikan dulu kepada Shania.“Apakah kamu tidak lapar?” tanya Shania sambil merapikan roknya.Dari dalam rumah Janeta mendengar suara seorang perempuan yang sedang mengajarkan Ricana putri Shania, membaca.“Oh, ada makhluk lain di rumah ini. Aku tidak boleh pulang dulu.” ucap hati Janeta. Ia berfikir mencari cara agar tetap berada di sana.“Saya lapar sekali Nyonya. Rasanya sudah tidak kuat ke warung makan.” ucap Janeta
"Besok sudah ada orang yang akan membantu mengurus Ricana dan Arkhas. Kamu akan aku angkat jadi sekretarisku di kantor menggantikan sekretaris Fidel yang lama.” ucap Shania tenang setenang tatapannya ke arah wajah Salma.“Benarkah Nyonya?” tanya Salma nampak senang dan girang.“Iya!” jawab Shania tersenyum.“Apakah kamu bersedia?” sambungnya bertanya untuk memastikan kesediaan Salma.“Bersedia Nyonya! Nyonya tahu kan? Kalau Saya hanyalah orang miskin. Saya sangat berterima kasih atas penawaran Nyonya ini.” sahut Salma bergegas. Kalimatnya terdengar begitu berlebihan.Shania mengangguk dan tersenyum. Janeta hanya manggut-manggut mendengar.“Tapiii...!” tak lama kemudian Salma menyambung seakan menyanggah.“Tapi apa Sal?” tanya Shania.“Kalau sekretaris Tuan Fidel di berhentikan, bagaimana dengan Tuan Fidel? Apakah dia diberhentikan juga Nyonya?”Shani
"Terima kasih Janet, kamu sudah menyelamatkan aku.” ucap Shania kepada Janeta setelah Tuan Fidel pergi.Belum sempat Janeta menjawab ucapan terima kasih Shania, Salma sudah bergegas memeluk Shania dan berkata.“Nyonya tidak apa-apa kan? Uuh, saya geram sekali melihat perlakuan Tuan Fidel. Ingin rasanya aku injak-injak tubuhnya. Dia sungguh kejam mau menampar istri sendiri.” ucap Salma bertubi-tubi sambil tangannya berusaha mengusap pipi Shania.“Saya tidak apa-apa Salma. Kamu tidak usah khawatir.” jawab Shania sambil merenggangkan tubuhnya dari rangkulan kedua tangan Salma.“Syukurlah Nyonya!” sahut Salma lalu mundur dari tubuh Shania. Shania tersenyum kepada Salma.“Hari ini kamu nampak cantik.” seloroh Shania sambil mematut penampilan Salma.Wajah Salma tersipu malu mendapat pujian seperti itu dari Shania. Ia juga ikut mematut tubuhnya dan memegang dua sisi roknya yang kembang sebatas lutut.&
Sekitar jam 8 pagi Janeta sudah nampak bersiap meninggalkan rumah. Ia mengenakan jacket kulit dan celana Jeans warna hitam dan memakai kaca mata hitam pula. Sebuah helm tertutup ia kenakan di kepalanya petanda bahwa dirinya akan melakukan perjalanan cukup jauh.Hari ini Janeta berniat akan mendatangi rumah seorang ibu yang berada di tengah sawah yang tidak jauh dari rumah Pak Warno. Pak Warno kemungkinan adalah paman dari Nyonya Lusy yang tengah ia selidiki kasus kematiannya.Oh ya, nama ibu pemilik gubuk di tengah sawah itu adalah Ibu Asih. Janeta sempat bertanya kepada seorang pemilik warung ketika ia akan meninggalkan daerah pedesaan itu. Kata pemilik warung itu, Bu Asih tinggal seorang diri setelah anak gadisnya merantau ke kota dan tidak pernah kembali sejak kepergiannya.Janeta menaiki sepeda motornya dan membawa beberapa bungkusan yang berisi pakaian dan makanan. Ia ingin membalas budi baik Bu Asih yang telah menolongnya dari serangan anjing milik Pak Warno, be
Di pinggir sumur seekor anjing hitam nampak sedih dan terdengar beberapa kali melolong. Air mata jatuh dari sudut matanya. Walau ia hanya seekor hewan, namun nalurinya sangat peka. Beberapa kali anjing itu menjilat pinggiran sumur tempat jasad Pak Warno di temukan.Wajahnya semakin pilu di saat mobil ambulans membawa jasad Pak Warno pergi. Ia berlari mengikuti namun kendaraan itu melaju begitu cepat hingga akhirnya anjing itu pasrah dan kembali ke halaman rumah Pak Warno.“Mungkin Pak Warno tergelincir masuk ke dalam sumur dan tidak ada yang menolong.” Terdengar pendapat seorang lelaki yang masih berkerumun dengan beberapa penduduk desa itu. Yang lain mengangguk-angguk tanda setuju dengan pendapat laki-laki setengah baya itu.“Tapi apa mungkin Pak Warno di bunuh? Kan kabarnya Pak Warno adalah pembunuh bayaran. Bisa saja ada yang dendam kepadanya.” sahut salah satu dari mereka berbisik-bisik.“Lha, aku juga kadang berfikir demikian. P
Sesampai di rumah, Janeta menurunkan si Hitam dari gendongannya dan membaringkan dengan sangat hati-hati di atas sebuah sofa yang terlebih dahulu telah ia alas dengan kain.“Kamu masih kotor Hitam, jadi belum aku izinkan kamu berkeliaran. Aku akan memandikanmu kalau lukamu sudah sembuh.” ucap Janeta sambil memainkan jari telunjuknya di depan wajah si Hitam.Anjing itu menatap Janeta seakan mengucapkan terima kasih. Ia menjilati tangan Janeta yang berjongkok di depan sofa.“Aku akan menyiapkan makanan untukmu. Setelah makan kamu istirahat biar cepat sembuh.” sambung Janeta lalu beranjak ke dapur.Tak lama kemudian Janeta kembali dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng dan segelas susu. Si Hitam berusaha bangkit menyambut kedatangan Janeta.“Sudahlah kawan, kamu diam saja. Aku akan merawatmu sebaik mungkin.” ucap Janeta lalu meletakkan piring itu di depan mulut si Hitam. Anjing yang di panggil si