Share

06. Gerbang Gaib

Taksi meluncur keluar dari basement dan berhenti mendadak di pelataran lobi. Jaka yang duduk bersandar ke pagar lobi menengok.

Dari balik kaca jendela yang terbuka perlahan muncul kepala Fredy dan berteriak, "Cepetan naik! Kita harus segera pergi!"

"Aku menunggu acara selesai," sahut Jaka santai. "Sebentar lagi Nabila keluar."

Ia tidak mau pulang sebelum pacarnya muncul. Nabila pasti kecewa.

"Aku sudah ngomong sama Nabila!" seru Fredy. "Ia minta kamu untuk segera pergi!"

Jaka terpaksa menghampiri dan masuk ke dalam mobil. Belum juga ia sempat memasang sabuk pengaman, taksi sudah melesat separuh terbang meninggalkan pelataran lobi.

Fredy mengendarai taksi dengan kencang. Melalap habis kendaraan yang memadati jalan raya. Sulit merangsek maju lewat jalur kanan, menyalip lewat jalur lambat. Masa bodoh dengan bunyi klakson yang terdengar sengit dari mobil lain.

"Kamu nyopir kayak dikejar setan," keluh Jaka. "Kalau begini caranya, bukan segera sampai ke rumah, tapi mampir di rumah sakit."

"Aku ingin menyelamatkan kamu dari kejaran debt collector," kata Fredy. "Orang tuamu pasti banyak hutang."

Jaka menoleh bingung. "Maksudnya apa ya?"

"Tadi ada orang mencarimu di dalam, bertanya kepada setiap tamu dan pegawai hotel. Ada keperluan apa coba selain menagih hutang?"

Sialan, maki Jaka dalam hati. Mentang-mentang anak petani miskin, dicari orang berdasi langsung saja konotasinya negatif.

"Orang tuaku tidak pernah berhutang pada siapapun," gerutu Jaka keki. "Tetangga justru sering berhutang bibit."

Hartanya saja disumbangkan pada ayahmu, sambung Jaka dalam hati. Buat apa pinjam uang? Mereka tidak butuh uang. Mereka cuma butuh anaknya.

"Kamu jadi sarjana pakai biaya kan? Uangnya dari mana kalau bukan hasil pinjaman? Sorry, aku bukan menghina."

"Kamu sudah menghina, tapi aku tidak tersinggung karena sudah biasa," ujar Jaka tenang. "Orang tuaku banting tulang cari duit dan sebagian dari simpanan."

Fredy menoleh heran. "Simpanan? Orang tuamu punya simpanan?"

Jaka berusaha untuk sabar. Ucapan itu terlalu merendahkan keluarganya. Tapi wajar karena Fredy tidak tahu silsilah mereka. Di matanya, petani hidup serba kekurangan.

Petani banyak yang kaya raya jika ditekuni secara profesional. Masalahnya, Abah ingin jadi orang miskin, bercocok tanam hanya untuk menyambung umur. Ia tidak mau hidupnya terlihat mencolok di mata masyarakat sehingga asal usulnya terbongkar dan harus rela memenuhi perjanjian leluhur.

Jangan-jangan mereka mencari untuk menjemputku, pikir Jaka tiba-tiba. Hanya mereka tidak tahu bentuk rupanya. Berarti taktik orang tuanya berhasil. Utusan itu tidak percaya klan Bimantara hidup miskin.

"Jangan baper." Fredy tersenyum penuh maaf. "Aku hanya heran petani bisa menabung."

Jaka balas tersenyum. "Petani banyak yang rajin menabung dan tidak sombong."

Fredy sebenarnya cukup menyenangkan. Cuma terlalu apa adanya kalau ngomong, sehingga orang berperasaan sensitif akan mudah tersinggung. Ia tidak tahu kalau mereka bukan penagih hutang.

"Yang aku bicarakan orang tuamu," sanggah Fredy. "Bukan petani profesional."

"Jadi karena orang tuaku miskin lalu kamu anggap bukan petani profesional?"

"Maksudku yang menggeluti bidangnya secara serius dan memanfaatkan teknologi yang ada."

"Masalah biaya kalau begitu, teknologi butuh uang tidak sedikit."

"Nah, siapa tahu orang tuamu cari pinjaman untuk itu."

"Orang tuaku menggarap sawah dan ladang dengan alat tradisional."

"Teknologi juga kan?"

"Tapi harganya terjangkau. Ada yang harganya cukup mahal, kerbau untuk membajak sawah, dan kembali ke simpanan tadi."

Abah menyisakan harta seperlunya saja, untuk membangun rumah sederhana, membeli lahan dan alat pertanian tradisional, serta kebutuhan lain buat menyambung hidup.

"Aku curiga kalau mereka adalah utusan dari kerajaan jin," cetus Jaka. "Kamu mestinya tanya dulu sebelum mengajak kabur aku."

"Mereka pasti mencari aku kalau utusan dari negeri jin," bantah Fredy. "Buat apa mencari kamu?"

Jaka sebetulnya ingin menceritakan hal yang sesungguhnya, bahwa keluarga Erlangga bukan klan Bimantara. Ia bersedia menyandang gelar kehormatan dan menanggung segala resiko karena limpahan harta yang tak terbilang. Tapi Fredy pasti tidak percaya. Jaka tidak mau merusak suasana yang sudah tercipta dengan baik.

Tiba-tiba Fredy melambatkan laju taksi dan berhenti di pinggir jalan. Mereka sudah memasuki hutan bunian yang terkenal angker itu.

"Ada apa?" tanya Jaka heran. "Kau mau cari bunian untuk diajak kencan?"

"Kita kembali ke kota," sahut Fredy. "Kata-katamu boleh jadi benar. Mereka adalah utusan dari kerajaan jin, tapi keliru mencari orang karena kurang informasi dari Cermin Mustika."

Jaka menatap tak mengerti. "Cermin Mustika?"

"Papiku pernah bercerita kalau di kerajaan jin ada cermin yang memberi petunjuk tentang calon pangeran sesuai perjanjian leluhur."

"Sekarang cermin itu salah memberi petunjuk setelah tujuh generasi berlangsung?" pandang Jaka tak percaya.

"Di dunia ini tidak ada yang sempurna, sudah hukum alam."

Abah dan Ambu tidak pernah bercerita tentang cermin ajaib ini. Jaka heran mereka tidak mengenali wajahnya. Apa gambaran yang diberikan kurang jelas?

Kiranya Abah sudah berhasil mengelabui cermin itu. Ia tidak sia-sia menanggalkan segala atribut dunia untuk mempertahankan anaknya. Jaka jadi merasa demikian berharga di mata orang tuanya.

Erlangga rela kehilangan anak demi harta yang diterima, walau Fredy menginginkan hal itu. Ia pasti sudah mengindoktrinasi anaknya sejak kecil dengan dongeng tentang puteri kerajaan yang cantik jelita sehingga muncul obsesi menjelang dewasa.

Jadi Erlangga tidak perlu memaksa anaknya untuk memenuhi perjanjian leluhur dan tidak merasa dikorbankan. Keinginan bercinta dengan makhluk lain adalah fenomena baru dari kids jaman now.

"Antar aku pulang dulu," kata Jaka. "Baru kembali ke kota."

"Kau tidak tertarik untuk pergi bersamaku ke dunia lain? Siapa tahu ada dua puteri kerajaan. Menurut Papi, aku dikasih satu permintaan sebelum pergi dari alam manusia, dan permintaan itu adalah agar diperbolehkan membawamu."

"Bagaimana kamu begitu percaya padaku padahal kita baru pertama kali bertemu?"

"Kamu teman perjalanan yang mengasyikkan."

"Teman mengasyikkan belum tentu dapat dipercaya. Aku bisa berkhianat dengan mencintai sang puteri."

"Kalau cuma ada satu puteri, ya kamu tidak diajak."

Lagi pula siapa yang mau? Jaka justru ingin menghindari pertemuan dengan para utusan itu, sebelum mereka menyadari kekeliruannya. Ia bersyukur pria berwajah kaku itu tidak percaya dengan penjelasannya sehingga terhindar dari perjanjian leluhur.

"Aku sudah terlanjur bilang ke orang tua untuk segera pulang kalau acara sudah selesai."

"Acara belum selesai."

"Bagiku sudah selesai."

"Ya sudah aku antar pulang."

Fredy menjalankan taksi lagi. Beberapa meter kemudian mereka merasa ada kelainan. Taksi berhenti kembali. Mereka segera turun untuk memeriksa. Ban depan sebelah kiri kempes.

"Sialan," maki Fredy jengkel sambil menendang ban itu. "Susah banget diajak senangnya."

"Makian tidak membuat ban kembung kembali." Jaka segera membuka bagasi, cuma ada dongkrak. "Ban cadangan disimpan di mana?"

"Tidak ada di situ?"

"Kalau ada, buat apa aku tanya?"

Fredy membungkukkan badan dan menyorotkan senter ponsel ke bawah taksi.

"Brengsek," umpatnya. "Bagian mekanik kayaknya lupa menaruh ban cadangan."

"Kamu ceroboh, harusnya periksa dulu sebelum dipakai."

"Bagaimana kita sekarang?" tanya Fredy bingung.

"Kok tanya aku? Ingat, saat ini kamu sopir, bukan anak pemilik taksi."

"Aku heran bagaimana ban itu bisa kempes mendadak?"

Fredy penasaran memeriksa kondisi ban. Ia tidak menemukan paku atau benda tajam lain yang menancap. Dahinya mengerut dan bergumam, "Jangan-jangan ada bunian iseng mengempeskan ban."

"Bunian tidak pernah jail, kecuali ia membenci kamu."

Fredy berusaha menghubungi mekanik, kemudian memaki, "Sompret! Tidak diangkat!"

"Sekarang begini saja, aku pulang jalan kaki, orang tuaku pasti gelisah menunggu. Kau mau ikut tidak?"

Fredy tersenyum masam. "Jarak ke perkampungan terdekat lumayan jauh, bisa melar kakiku. Aku tidur di taksi saja, sekalian menunggu utusan kerajaan datang."

Mereka adalah dua orang pemuda pemberani sehingga tidak masalah dengan situasi sekitar yang sebenarnya sangat menyeramkan. Pohon-pohon liar dan sinar rembulan yang membentuk kisi-kisi menembus kegelapan hutan dapat menciptakan halusinasi yang membuat orang lari terbirit-birit.

"Bantu aku mendorong mobil," pinta Fredy. "Terlalu tengah."

Jaka membantu pemuda itu mendorong taksi. Mobil bergerak pelan menuju ke sisi jalan.

Malam beranjak menuju puncak. Purnama secara perlahan tertutup awan hitam. Angin bersemilir bisu....

Saat waktu menunjukkan tepat jam dua belas malam, gerbang gaib terbuka secara tiba-tiba. Mereka tidak tahu kalau sudah mendorong taksi memasuki gerbang gaib.

Taksi terus bergerak ke pinggir jalan....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status