Share

Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan
Dihina Karena Tidak Memakai Perhiasan
Penulis: Maulina Fikriyah

Cibiran Tetangga

DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (1)

 

Jangan lupa sertakan komentarnya ya, terima kasih dan selamat membaca!

 

____________________

 

"Eh, ada Mbak Endang, mau belanja apa nih? Pasti tempe sama tahu, ya?" celetuk Bu Andini, tetangga sebelah rumahku.

 

Aku hanya tersenyum menanggapi cibirannya. 

 

"Ya pasti tempe sama tahu lah, Bu Andin. Mana mampu mbak Endang beli ayam atau ikan," sahut Mbak Anggi dengan senyuman mengejek.

 

"Iya ya, ngapain juga aku tanya, buang-buang suara aja," ujar Bu Andin dengan tawa khas-nya.

 

Aku masih diam, enggan menanggapi ucapan para ibu-ibu julid di kampungku. Hanya karena aku tidak pernah membeli ikan atau ayam di tukang sayur, mereka selalu mencibir dan menghinaku. Padahal setiap hari Minggu, aku selalu ke pasar gede untuk membeli kebutuhan lauk seminggu ke depan. Lebih enak stok bahan dari pasar, dan sisanya membeli di tukang sayur langganan.

 

"Tempe juga ada vitaminnya kok, Bu. Yang penting belinya pakai uang, nggak utang," seloroh Mbak Hanin, tetangga depan rumah. Dia melirik ke arahku dan memainkan kedua alisnya. 

 

Sejak pindah ke kampung ini, aku memang lebih dekat dengan Mbak Hanin, karena usia kami yang tidak terpaut jauh. Apalagi aku yang belum di beri momongan, membuatku begitu bosan ketika hanya berdiam diri di rumah. Jadilah, aku membuat kue-kue dan kutitip di beberapa warung dengan mematok harga dua ribu lima ratus per bijinya. Dengan bantuan Mbak Hanin, aku menjalankan bisnis kecil-kecilanku itu di kampung ini. Meskipun aku dan suami sudah memiliki bisnis yang lebih besar, tentu saja para tetangga tidak tau, termasuk Mbak Hanin sekalipun, yang mereka tahu, Mas Danu-- suamiku hanyalah pekerja di sebuah pabrik di pusat kota.

 

"Sesama miskin saling membela sih, udah biasa," cibir Bu Hajjah Aminah, tetangga yang terkenal paling kaya di kampung ini.

 

Mereka tertawa nyaring hingga membuat ulu hatiku sedikit nyeri. Andai saja mereka tau jika pemilik pabrik tempat suami mereka bekerja adalah suamiku, tentu tawa itu tidak akan berani mereka lontarkan.

 

Sayang, Mas Danu lebih banyak menghandle pabrik tekstil yang terletak di kota S, sementara pabrik baru tempat suami para tetanggaku bekerja, lebih dominan di pegang alih oleh Krisna-- adik kandungku. Kami sengaja mempercayakan salah satu pabrik  yang sudah mempunyai tiga cabang itu pada Krisna. Mas Danu sudah cukup kelimpungan mengatur bisnis kami sendirian.

 

Aku mempercepat aktifitas belanja, agar tidak lagi mendengar kalimat-kalimat sumbang para tetangga sombong. 

 

"Buru-buru amat sih, Mbak Endang, kayak yang suaminya kerja kantoran aja, ini kan masih pagi. Ngobrol-ngobrol dikit lah, biar kamu itu sedikit berwawasan seperti kami," tukas Bu Hajjah Aminah dengan memamerkan gelang di tangannya.

 

"Maaf, Bu. Mungkin lain kali, suami saya harus berangkat lebih pagi kali ini," tolakku halus. 

 

"Wajar lah, Bu Hajjah, kan babu, berangkatnya harus pagi dong, beda sama suami kita-kita ini, mereka kan orang kepercayaan bos, iya nggak?" jawab Mbak Anggi dan dibalas anggukan setuju oleh para sekutunya.

 

Dadaku kembang kempis mendengar cemoohan Mbak Anggi. Sabar Endang!

 

"Iya, lihat! Di tubuhnya nggak ada perhiasan sama sekali. Kamu harus tau Mbak Endang, perhiasan itu menjadi tolok ukur kekayaan di kampung kita ini," tegur Bu Hajjah, kini mulai menyingkap jilbabnya dan memamerkan kalung besar di depanku.

 

Aku hanya tersenyum kecut, aku bahkan punya yang berlian, Bu!

 

"Tolong di total, Mang," aku menyerahkan barang belanjaan pada tukang sayur. 

 

Setelahnya, aku berpamitan pada ibu-ibu yang lebih asyik bergunjing daripada bergegas berbelanja itu.

 

"Oh ya, Mbak Endang. Besok-besok kalau suaminya sudah gajian, beli perhiasan dong, nanti kita masukin ke grup kampung mevvah," tutur Bu Hajjah Aminah, aku hanya mengangguk samar dan berlalu meninggalkan mereka.

 

"Kasihan banget ya, belum punya anak tapi perhiasan aja nggak punya, anting pun dia tak pakai."

 

"Gimana mau punya perhiasan, suaminya aja cuma buruh pabrik."

 

"Duh, sayang sekali, hari gini emang kudu seleksi calon suami yang ketat. Jangan mau anak-anak kita nanti dipersunting lelaki kere. Yang ada malah kayak Mbak Endang itu, tiap hari makannya tempeee, mulu."

 

Hingga langkah kakiku semakin menjauh, samar-samar masih kudengar cibiran demi cibiran yang mereka lontarkan untukku.

 

 

 

 

Bersambung

 

 

 

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
ceritanya sangat menarik sekali...
goodnovel comment avatar
Rahadian Rasyid
bagus mungkin bisa sedikit diperjelas karakternya pemainnya... seperti ibu ini agak gemuk/ kurus dg riasan menor atau rambut warna ijo atau pakai rok sedengkul dsb nya .ok good
goodnovel comment avatar
Adriana Lim
punya pabrik 3 masak tinggal di kampung, ga msk akal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status