Share

Ada yang Tidak Beres

DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (2)

__________________________

 

Aku pulang dengan perasaan dongkol. Andai saja sejak awal Mas Danu sudah mengijinkan untuk memperkenalkan siapa kami sebenarnya, kupastikan mereka tidak mungkin berani menghinaku seperti tadi. 

Gegas kusiapkan sarapan untuk Mas Danu karena pagi ini dia harus datang lebih awal. Lagipula nanti setelah Mas Danu berangkat, aku dan Mbak Hanin sudah sepakat untuk membuat kue-kue lagi seperti biasanya.

Tanpa memperdulikan lagi cemoohan para tetangga tadi, aku mulai mengeksekusi bahan belanja di atas meja dapur. Udang asam manis menjadi pilihan pagi ini, menu favorit Mas Danu.

Setelah kupastikan Mas Danu berangkat, aku menelpon Mbak Hani untuk segera datang ke rumah, agar tidak terlalu siang kami menutup kue-kue itu di warung-warung terdekat.

"Hari ini kita mau buat jajanan apa, Mbak?" tanya Mbak Hanin, ketika sudah memasuki rumahku.

Rumah minimalis yang sengaja suami beli karena memiliki halaman yang luas. Kebetulan kami berdua memang suka sekali mengoleksi tanaman. Dari luar rumah kami memang terlihat sederhana, tapi setelah masuk ke dalam, perabotan disini rata-rata berkualitas premium, Mas Danu sendiri yang memilihnya. Jika saja para tetangga sombong itu masuk ke dalam rumahku, kupastikan mereka pasti menganga tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Tapi sayang, mana mau Bu Hajjah Aminah dan sekutunya mampir kemari, bagi mereka kami tidak selevel. 

"Gimana kalau putu ayu, sama pisang selimut? Kalau menunya ganti-ganti kan pembeli jadi nggak bosan tuh," sahutku dan dibalas anggukan antusias oleh Mbak Hanin.

Setelahnya, kami berdua sibuk membuat adonan untuk putu ayu. Setelah Mas Danu berangkat, Mbak Hanin baru datang ke rumah karena memang aku yang memintanya begitu. Aku tidak ingin Mas Danu tau jika istrinya ini menjual aneka kue untuk mengurangi rasa bosan. Mungkin bagi Mas Danu, aku cukup di rumah dan menghandle pekerjaan rumah tangga, tapi bagi wanita yang memang suka sekali bergerak, aku cukup kesulitan kalau hanya duduk berdiam sambil menyaksikan acara televisi yang semakin tidak berbobot. Membosankan. Itu sebabnya, saat sudah mengenal Mbak Hanin dengan baik, aku mengatakan kalau ingin menjual kue-kue tradisional dan sengaja meminta bantuannya. Beruntung karena keinginanku itu mendapat sambutan antusias oleh Mbak Hanin.

 

"Akhirnya, selesai!" senyum sumringah terbit di bibir Mbak Hanin ketika kami berdua berhasil menyelesaikan pekerjaan membuat dua macam jajanan untuk dititipkan pada warung-warung di sekitar.

 

Aku menata semua kue ke dalam wadah plastik berbentuk kotak, masing-masing kotak kuisi sekitar 20 kue. Ada sekitar 5 buah kotak yang akan aku titipkan hari ini, tentu saja di warung yang berbeda, tidak di satu tempat. Bisa nggak laku nanti.

 

"Ini upah Mbak Hanin, hari ini," ucapku sambil menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan. Memang sudah menjadi kebiasaan, aku akan memberikan upah Mbak Hanin bahkan sebelum kue-kue kutitipkan di warung-warung. Bagiku, bisa meringankan beban orang lain membuat rasa bangga dan haru tersendiri di dalam hati. Apalagi kami sudah seperti saudara, Mbak Hanin baik sekali padaku. Mungkin karena dia pun mendapat perlakuan buruk dari para tetangga yang lain.

Kening Mbak Hanin berkerut, "Tiap hari Mbak Endang ngasih aku gaji sebesar ini, padahal aku tahu, laba menjual kue itu nggak besar. Ini terlalu banyak, Mbak," ujarnya dengan kembali menyerahkan satu lembar uang berwarna merah ke tanganku. "Sehari seratus ribu kurasa cukup. Karena aku hanya bantu-bantu di sini," ucapnya lagi. Membuatku semakin kagum pada kesederhanaan Mbak Hanin. Suaminya bekerja sebagai satpam di pabrik milik Mas Danu, itu sebabnya Mbak Hanin ikut dikucilkan para tetangga karena dianggap tidak sederajat, mengingat suami para tetangga sombong adalah para atasan di pabrik tempat mereka bekerja.

"Jangan menolak rejeki, Mbak. Terima saja, saya malah yang seharusnya berterima kasih karena sudah bersedia membantu. Anggap itu untuk jajan Karin," kataku. Karin adalah anak Mbak Hanin, masih berusia 7 tahun, dan kini menempati sekolah dasar.

 

"Tapi tetap saja saya nggak enak, Mbak Endang. Ini terlalu banyak--"

"Saya akan kecewa kalau Mbak Hanin mengembalikan uang itu."

Mbak Hanin menyeka sudut matanya. Ada rasa nyeri di ulu hati melihat Mbak Hanin tiba-tiba menangis di depanku. Pasalnya, selama aku tinggal di sini, dia selalu bersikap ceria. 

"Terima kasih, Mbak Endang. Kalau saja tidak membantu Mbak Endang, entah dari mana saya bisa mencukupi uang belanja selama ini," tutur Mbak Hanin membuat kedua alisku menyatu. Kenapa bisa? Bukankah gaji suaminya menjadi satpam di pabrik lumayan besar.

"Ceritalah jika Mbak Hanin sudah siap, insyaallah saya siaga mendengarnya," ucapku dengan mengelus pundak Mbak Hanin.

"Sudah satu tahun belakangan, gaji Mas Handoko di pangkas, Mbak. Suami saya bilang, pabrik tempatnya bekerja sedang mengalami kebangkrutan karena banyak pelanggan yang mengembalikan pesanan mereka, dan itu berdampak pada gaji semua karyawan termasuk suami saya. Yang awalnya tiap bulan mendapat gaji sebesar 4 juta, kini harus disunat menjadi 2,5 juta. Jujur, saya harus kelimpungan hidup dengan uang segitu, mengingat semua serba mahal. Belum biaya untuk sekolah Karin, biaya listrik dan tetek bengeknya."

Pernyataan Mbak Hanin membuat mataku membeliak lebar. Benarkah pabrik tekstil yang Krisna pegang sedang pailit? Kenapa dia tidak memberi tahuku atau Mas Danu, atau jangan-jangan Mas Danu sudah tau tapi menyembunyikan semuanya padaku. 

Aku harus menyelidikinya terlebih dahulu.

 

 

 

 

Bersambung

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Entin C Kartini
rame ceritanya lanjutkannn
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
ceritanya sangat menarik sekali...
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Perlu dicurigai tu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status