Share

Keterlaluan

DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (3)

_________________________

 

"Menangislah, jika bisa membuat Mbak Hanin tenang." Aku mengusap punggungnya yang sedikit bergetar.

 

"Belum lagi ibu mertua yang sering sakit-sakitan, membuat suami saya harus mendahulukan kepentingan ibunya daripada istri dan anaknya, saudara Mas Handoko lepas tangan untuk biaya berobat ibu mereka, jadilah Mas Handoko yang menanggung semuanya, meskipun ibu mertua tinggal dengan adik perempuannya." Mbak Hanin bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Mendengar kisah pilu Mbak Hanin, membuatku tersadar, jika aku harus lebih banyak bersyukur karena hidup berkecukupan dan dikelilingi keluarga yang baik.

 

"Saya yakin semua masalah ada jalan keluarnya, jangan bersedih. Allah selalu bersama hamba-nya, Mbak! Semoga pabrik tempat suami Mbak Hanin bekerja segera pulih, agar gaji Pak Handoko bisa kembali seperti semula," ujarku ragu, bagaimana jika benar salah satu pabrik kami sedang mengalami kebangkrutan. Tentu akan berdampak pada pabrik yang lain, tapi mengapa Mas Danu nampak baik-baik saja. Dia bukan tipe lelaki yang suka menyembunyikan masalah dari istri. Atau Krisna yang menyalahgunakan kepercayaan kami?

 

Kepalaku mendadak pening setelah mendengar penuturan Mbak Hanin. Pikiran buruk berkeliaran di otak, mengingat pabrik itu salah satu aset terbesar kami, karena letaknya dekat perkampungan, sehingga membuka lapangan kerja baru bagi para warga di sini.

 

"Jadi curhat kan, nanti kue-kue kita keburu dingin," canda Mbak Hanin, sambil mengusap sisa air matanya. Aku terkekeh, untung saja dia ingatkan, kalau tidak, acara curhatan ini tidak akan berujung.

 

"Kalau begitu saya mau ke warung dulu, nanti bisa kita lanjut sesi curhat nya," godaku membuat Mbak Hanin tersenyum malu.

 

"Ikutlah! Aku bantuin. Daripada di rumah nggak ngapa-ngapain."

 

Aku mengangguk dan mempersilahkan Mbak Hanin membawa lima kotak kue sementara aku yang menyetir motor.

 

Sepanjang perjalanan menuju warung Yu Halimah, Mbak Hanin bercerita tentang para tetangga yang memang sok berkuasa di kampung kami. Bahkan Mbak Hanin bilang kalau aku bukan satu-satunya orang yang mereka hina, dirinya pun tidak luput dari hinaan Bu Hajjah Aminah dan para sekutu.

 

Aku menghela napas kasar. Apa sebegitu pentingnya di jaman sekarang untuk memamerkan perhiasan yang kita punya? Bukankah kekayaan tidak selalu bisa diukur dari apa yang kita pakai? Entahlah, aku tidak mengerti dengan jalan pikiran warga di kampung ini.

 

"Waduh, warung Yu Halimah tutup lagi," ucapku kecewa, melihat warung terakhir tujuan kami ternyata tutup.

 

"Sayang banget kalau dibawa pulang, apa kita taruh di warung yang tadi aja? Nggak masalah kan ada dua kotak?" saran Mbak Hanin.

 

"Bakal sisa banyak, aku yakin. Mending kita bawa pulang aja deh, kita bagiin aja ke tetangga, daripada nggak laku di warung nanti," usulku, tapi tak kunjung mendapat jawaban dari Mbak Hanin. Kulihat dari kaca spion, wanita muda itu nampak sedang berpikir.

 

"Kayaknya mending kita jual keliling aja deh, sayang kalau malah dibagi-bagikan," ucapnya cemberut. "Tau sendiri tetangga kita kayak gimana," ucapnya lagi.

 

Jadilah kita berdua menjajakan kue di depan sekolah SD tempat Karin menimba ilmu, bisa sekalian nungguin anak Mbak Hanin pulang. Beruntung hari masih belum siang, jadi terik matahari belum seberapa panas dan menyengat.

 

Kalau sampai Mas Danu tau aku bekerja seperti ini, mungkin dia akan membawaku pulang ke kota, rumah ibu dan bapak yang sudah kami beli beberapa tahun lalu, mengingat rumah masa kecilku habis di babat si jago merah karena letusan gas elpiji. Jadilah Mas Danu membuatkan rumah untuk kedua orang tuaku di kota, agar lebih dekat dengan anaknya, tapi ternyata sekarang aku malah harus tinggal di kampung karena Mas Danu harus memantau pabrik baru kami. Bukan aku gila harta, aku hanya ingin mengisi kekosongan waktu dengan hal yang bermanfaat. Mengasah kemampuanku membuat kue yang sudah lama tak pernah kulakukan semenjak menjadi istri Mas Danu. Baru kali ini aku mencoba lagi dengan bantuan Mbak Hanin. 

 

"Lihat deh, ibu-ibu, kasihan sekali sih tetangga kita ini. Rela berjualan kue panas-panasan begini."

 

Sebuah motor keluaran terbaru berhenti tepat di depanku dan Mbak Hanin menjajakan kue. Disusul beberapa motor yang lain di belakangnya.

 

"Ya ampun, kalian nggak takut gosong kulitnya berjualan di panasnya matahari gini?" ujar Bu Hajjah Aminah.

 

"Monggo ibu-ibu, kuenya. Insyaallah higienis dan enak." Aku mencoba mengalihkan cibiran mereka, panas juga hatiku kalau lama-lama berpura-pura miskin di depan para tetangga sombong ini.

 

"Idih! Ogah saya makan jajanan pinggir jalan. Asal kamu tau ya, Mbak Endang. Kita itu habis dari emoll, bisalah, ibu-ibu kece, makannya di resto," sahut Mbak Anggi dengan angkuh.

 

"Wah senangnya, lain kali ajak-ajak ya, Bu. Barangkali saya dan Mbak Hanin bisa ikut," kataku, sementara Mbak Hanin hanya tersenyum kecut.

 

"Ngaca dong, mbak Endang! Jangan mimpi bisa bergaul sama kami, lihat, perhiasan kami banyak, sedangkan kamu, kosong melompong. Kentara sekali kalau orang miskin," sahut Bu Hajjah Aminah, dengan memamerkan cincin emas di beberapa jarinya. 

 

Aku begidig ngeri, bagaimana jika sampai ada orang jahat dan merampas semua perhiasannya.

 

"Yok ah, jeng. Kita pulang, panas nih, takut wajahku gosong. Kalau orang miskin mah, udah biasa," ajak Bu Andin.

 

Mereka hendak pergi, syukurlah. Daripada harus ribut di pinggir jalan hanya karena perhiasan emas. Malu!

 

"Waduh, ini motor saya kenapa? Mbak Endang, coba tolong bantu saya cek bannya dong, apa mungkin kempes ya?" ucap Bu Andin gelisah.

 

Teman-temannya menunggu Bu Andin yang masih belum bisa menjalankan motornya. Aku berjalan ke arah motor Bu Andin dan berjongkok memencet ban motor merk supri itu.

 

Nggreeng ... Nggreeng ...

 

Dengan tanpa perasaan, Bu Andin memainkan gas motornya hingga membuat asap knalpot menerpa wajahku.

 

Dimasukkannya gigi satu dan tangannya melambai seiring dengan berjalannya motor miliknya.

 

Sekutunya tertawa lebar melihat kelakuan Bu Andin. Tanganku mengepal kuat, lihat saja pembalasanku nanti! Mereka benar-benar keterlaluan!

 

 

 

 

Bersambung

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
kisahnya sangat menarik sekali...
goodnovel comment avatar
Iren Rogate
ceritanya asyik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status