DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (5)___________________________Para pengendara banyak yang berhenti dan mulai mengerumuni tubuh Dea yang tergeletak di jalan. Beberapa pengendara lain, berusaha mengejar dua orang lelaki yang kuduga pelaku yang menyebabkan Dea terpelanting hingga ke tengah jalan.Aku memutar motor dan berhenti tepat di depan tubuh Dea, segera kutelepon ambulans dan membawa Dea ke rumah sakit terdekat.Kami berdua mengikuti laju ambulans yang terkesan berkejar-kejaran dengan pengendara lain. Suara sirine menggema di jalanan membuat para pengendara lain menyingkir dengan sigap.Sesampainya di Rumah Sakit, Dea segera dilarikan ke UGD, dan kami menunggu sambil menanti kedatangan Mbak Anggi kesini.Tangan Mbak
"Assalamualaikum, Dek," ujar Mas Danu, setelah aku mengangkat telepon darinya."Waalaikumsalam, kenapa, Mas.Tumben belum pulang?" jawabku, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, tapi Mas Danu tak kunjung sampai di rumah."Mungkin Mas pulang terlambat, ada sedikit masalah di pabrik, Krisna dan aku sedang menyelidiki beberapa hal," kata Mas Danu membuatku seketika teringat dengan perkataan Mbak Hanin tadi."Ada masalah apa?" tanyaku penasaran."Ada banyak sekali dana pabrik yang 'missed', laporan penjualan kain setahun belakangan laku keras, bahkan laporannya sedang mas selidiki ini, tapi sayang, uang penjualan tidak masuk ke dalam laporan keuangan," jelas Mas Danu, membuatku memiliki pikiran
"Pak Krisna," sapa suami mbak Anggi pada adik lelakiku.Aku menggigit bibir bawah, sepertinya harapan untuk menyembunyikan siapa sebenarnya diriku sebentar lagi terbongkar."Loh, Pak Adi kenapa di sini? Pantas saja dari tadi saya mencari anda tapi tidak ketemu," jawab Krisna."Maaf, Pak. Saya sudah meninggalkan pesan pada asisten HRD kalau sedang ada urusan mendadak," jawab pria yang bernama Adi pada Krisna."Kalau begitu, bisa Pak Adi ikut saya sebentar, ada urusan genting di pabrik yang harus kita selesaikan," ajak Krisna dengan menatap tajam ke arah suami mbak Anggi.Sesaat lelaki itu menoleh ke arah istrinya, dan mendapat anggukan mantap, me
Mbak Anggi merebut paksa gawai milikku dari tangan polisi, dan melihat dengan seksama bukti yang sudah kukantongi."Ini pasti rekayasa, Pak. Saya yakin, dia yang telah mencuri kalung anak saya!" ucap mbak Anggi sinis."Untuk apa saya merekayasa bukti? Rekaman CCTV itu saya dapat dari penjaga sekolah Dea, kebetulan di dekat sekolah Dea terdapat CCTV yang memang diletakkan dekat tempat penyeberangan," jelasku pada mbak Anggi."Alasan! Pokoknya saya mau wanita ini dipenjara, Pak. Saya berani bayar mahal untuk itu," ujar mbak Anggi dengan tersenyum menyeringai."Maaf, Bu. Tapi kami harus bekerja sesuai prosedur. Karena bukti sudah kami kantongi, dan pelajaran sedang dalam pelacakan," s
"Eh, si pencuri kok bisa bebas? Jangan-jangan punya orang dalam ya! Duh, kasihan banget Jeng Anggi, udah anaknya celaka, kalung 10 gram Dea hilang, eh pencurinya malah bebas berkeliaran," seloroh Bu Hajjah Aminah, ketika aku sedang berbelanja. Kalung seberat 10 gram? Apa benar kalung Dea yang di jambret sebesar 10 gram, tapi kenapa kemarin ketika Mas Danu mengejek dengan mengatakan kalung Dea hanya sekitar 3 gram saja, Mbak Anggi tidak menyangkalnya?Aku masih diam, enggan menanggapi ocehan Bu Hajjah Aminah, selagi tidak menyebut namaku, kurasa aku tidak perlu menjawab cemoohannya."Iya ya, Bu Hajjah. Heran deh, Mbak Anggi kemarin bilang katanya ada yang memanipolusi bukti," sahut Bu Andin, hampir saja aku tertawa mendengar ucapan sok tahunya."Manipulasi kali, Bu! Mana ada manipolu
"Katanya belanja, kok nggak bawa apa-apa?" tanya mas Danu, ketika melihatku masuk ke dalam rumah dengan tanpa membawa apa-apa."Bentar lagi dianterin sama tukang sayurnya," jawabku sedikit cuek."Kok tumben? Emang ada apa?" selidik mas Yoga."Mas! Bisa nggak sih kita nunjukin diri ke semua orang kalo sebenernya kita adalah pemilik pabrik itu! Aku kadang kesel banget sama para tetangga yang sombongnya minta ampun!" ujarku kesal. Mas Danu mengerutkan keningnya, mungkin merasa bingung mengapa tiba-tiba aku meminta untuk menunjukkan jati diri kami sebenarnya, padahal dulu, akulah yang kekeuh untuk menyembunyikan siapa kita sebenarnya, hanya karena ingin mencoba hidup seperti orang-orang pada umumnya, tanpa disanjung-sanjung hanya karena kami adalah orang kaya.
"Kenapa, Ma? Jangan halangi papa buat menghajar lelaki sial*n itu!" geram Pak Adi."Pa! Ingat, kita di kantor polisi," bisik Mbak Anggi pada suaminya."Argh!"Pak Adi memukul tembok ruangan dengan tangan yang mengepal. Aku masih belum memahami, siapa Faisal ini sebenarnya."Kenapa kamu tega membuat anak saya celaka?" tanya Pak Adi frustasi.Lelaki yang kuduga bernama Faisal tersebut menunduk, tanpa berani menjawab satu katapun pertanyaan dari Pak Adi."Jawab!" bentak suami Mbak Anggi dengan marah.Petugas aparat mendekat ke arah Pak Adi dan mene
Pa, aku mohon. Cabut tuntutan untuk Faisal, Pa," pinta Mbak Anggi.Culas sekali, wanita ini. Menuduhku mencuri dan menyebabkan Dea celaka, hingga rela merogoh kocek agar aku bisa mendekam di penjara. Giliran pelaku aslinya sudah tertangkap, dia mengiba pada suaminya dan meminta Pak Adi untuk mencabut laporannya dengan dalih pelakunya adalah Faisal, adiknya sendiri."Tidak akan! Sudah cukup aku memberi jantung pada keluargamu! Keluarga miskin yang tidak tahu berterima kasih!" cibir Pak Adi sengit."Tutup mulutmu, Adi! Berhenti mengatakan keluargaku miskin dan tidak tahu malu! Kami hidup dengan jerih payah kami sendiri, uang pemberian darimu, sudah aku kembalikan pada istrimu, tanyakan saja pada istrimu yang lupa pada ibunya itu! Bahkan ibunya sakit hampir sekarat saja dia enggan menengok, lebih mementingkan suami gila penghormatan seperti dirimu!" ujar Faisal geram. Terlihat sekali rahangnya mengeras.Mendapa