Share

Kecelakaan Anak Anggi

DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (4)

___________________________

 

Aku terbatuk-batuk akibat debu kenalpot motor milik Bu Andin. Mereka benar-benar keterlaluan kali ini!

 

Mbak Hanin menghampiriku dengan raut muka cemas. Ditatapnya para tetangga yang semakin menjauh mengendarai motor.

 

"Kamu nggak papa, Mbak En?" tanya Mbak Hanin seraya menepuk-nepuk punggungku lembut.

 

Aku menggelengkan kepala samar dan mencoba menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. 

 

"Benar-benar orang kaya yang sombong," celetuk Mbak Hanin gemas. 

 

"Suatu saat mereka akan dapat balasannya," gumamku lirih dengan menatap punggung milik Bu Andin dari kejauhan.

 

"Apa, Mbak? Maaf, saya nggak dengar, celingukan nyari Karin, tuh temen-temennya udah keluar semua," kata Mbak Hanin sambil menunjuk pada murid sekolah yang mulai berhamburan ke luar.

 

Aku menggeleng pelan, lalu tersenyum. Mataku pun turut celingukan mencari sosok Karin.

 

"Mama ...," teriak Karin lantang, dia berlari menghambur di pelukan mamanya.

 

Gadis kecil itu menangis sesenggukan, membuat kami berdua saling berpandangan dan mengerutkan kening. 

 

Mbak Hanin mengusap kepala putrinya lembut dan memeluk Karin erat. Tanpa terasa, sudut mataku ikut mencair, mungkin begini rasanya jika punya anak. Ketika anak sedih, kita juga ikut merasakannya. Semoga Allah segera menitipkan benih di rahimku, Amin!

 

"Kenapa, Sayang, kok nangis?" tanya Mbak Hanin lembut pada Karin yang sudah sedikit reda tangisannya.

 

"Teman-teman jahat, Ma. Masa nggak ada yang mau berteman sama Karin gara-gara ayah cuma seorang satpam," celetuk Karim sendu.

 

Deg!

 

Hatiku teriris mendengar anak sekecil Karin harus mengalami sangsi sosial. Strata di kampung ini begitu ditentukan oleh pekerjaan penduduknya. Padahal belum tentu yang memiliki pekerjaan mapan, kehidupannya juga ikut mapan. Banyak sekali yang mempunyai pekerjaan mapan, justru banyak cicilan menunggu untuk dibayarkan.

 

"Memang siapa yang bilang, Nak?" tanya Mbak Hanin lagi.

 

"Dea, Ma. Anaknya Tante Anggi, dia bilang ke teman-teman kalau nggak boleh mainan sama aku," jawab Karin sedih.

 

"Mbak Anggi tetangga kita?" bisikku pada Mbak Hanin, wanita muda itu mengangguk lemas.

 

"Astaghfirullah," gumamku lirih. Tidak menyangka jika anak Mbak Anggi memiliki mulut yang tidak jauh berbeda dengan ibunya. Benar-benar didikan yang ekstrim.

 

"Emang kenapa kalau ayah Karin hanya seorang satpam, kan pekerjaan satpam itu halal," kataku mencoba menghibur Karin yang masih cemberut.

 

"Kata Dea, pekerjaan satpam itu memalukan, Tante. Nggak kayak papa Dea yang bekerja sebagai bos," sahut Karin.

 

"Sayang, semua pekerjaan itu nggak ada yang memalukan asal dicapai dengan cara yang halal. Satpam itu termasuk pekerjaan mulia loh, mereka bekerja menjaga keamanan tempat," jawabku panjang lebar.

 

Mata Karin berbinar mendengar aku memuji pekerjaan ayahnya. Kulihat Mbak Hanin menyeka sudut matanya.

 

"Jadi pekerjaan ayah Karin itu nggak memalukan ya, Tante," tanya gadis kelas 1 SD itu dengan polosnya.

 

Aku mengangguk mantap, "Tentu saja, kalau teman-teman Karin bilang pekerjaan satpam itu memalukan, berarti mereka itu salah. Tanpa satpam, mungkin suatu tempat tidak bisa aman," kataku.

 

Senyum lebar terbit di wajah Karin. Mbak Hanin memeluk putrinya erat dan mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut.

 

"Itu yang namanya Dea, Tante," Karin menunjuk gadis kecil seusianya yang berjalan menuju ke luar gerbang sekolah.

 

Aku memperhatikan penampilan anak berusia 7 tahunan itu. Dandanannya tidak pantas disematkan pada anak sekecil Dea. Rambutnya tergerai lurus, aku yakin hasil dari smoothing, karena lurusnya nampak tidak natural. Di lehernya tergantung kalung panjang dengan bandul huruf 'D', dan satu gelang melingkar di masing-masing pergelangan tangannya. Belum lagi cincin yang tersemat di jari tengah dan manisnya. Berlebihan sekali, bagaimana jika ada orang jahat yang mengincar?

 

Dea melengos ketika matanya bersiborok dengan Karin. Mulutnya mencebik, dan rambutnya dia kibaskan dengan satu tangan.

 

Cukup lama kami berdiri di depan sekolahan Karin, karena ternyata banyak para wali murid yang membeli dagangan kue kami. Bersyukur rejeki hari ini lumayan banyak. Kue-kue kami habis tak bersisa. 

 

Kami bersiap untuk pulang, kulihat Karin sudah terlihat lelah karena menunggu kami berjualan. Suasana sekolahan sudah sedikit lenggang, hanya ada beberapa siswa yang masih menunggu jemputan, termasuk Dea. Anak kecil itu berdiri dengan pongahnya, mungkin menunggu Mbak Anggi, entahlah!

 

Satu per satu siswa mulai pergi dengan jemputan mereka, tapi tidak dengan Dea. Anak kecil itu masih menunggu di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup.

 

Aku menghampirinya hendak menawarkan tumpangan. Kasihan, anak sekecil Dea harus menunggu sendirian di sini.

 

"Mau bareng sama Tante aja nggak? Sekolahan udah mulai sepi, daripada nunggu mama kamu kelamaan," tawarku pada gadis ayu yang menatapku dari atas hingga bawah. Tatapan matanya begitu mengintimidasi.

 

Memang, selama bertetangga dengan mbak Anggi, aku belum sempat bertemu dengan Dea. Ini kali pertama kami berjumpa, mungkin respon yang dia berikan hanya kekhawatiran semata karena menganggap aku orang asing. Tapi bukankah dia lihat di ujung sana ada Karin?

 

"Nggak mau! Tante pasti saudaranya Karin. Orang miskin!" cibir Dea, membuatku memegang erat dada dan mengusapnya perlahan.

 

Pantaskah anak seusia Dea mengatakan hal demikian?

 

"Ya sudah kalau nggak mau, Tante pergi dulu ya, hati-hati," kataku sambil berlalu membawa luka dari ucapan anak sekecil Dea.

 

Saat motor kami melaju, kudengar suara teriakan dari arah belakang dan disusul sebuah motor yang jalannya ngebut sedang ditumpangi dua orang lelaki bertubuh kekar.

 

Aku menghentikan motor dan melihat ke arah dimana Dea berada.

 

"Astaghfirullah'," ucapku dengan mata membeliak.

 

Beberapa orang yang sedang lewat menghentikan kendaraan mereka dan mendekat ke arah gadis kecil yang kini tergeletak di samping jalan dengan kepala berceceran darah.

 

"Dea," gumamku lirih. Membuat Mbak Hanin ikut menoleh ke belakang.

 

Mbak Hanin menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membelalak melihat pemandangan di depannya.

 

 

Bersambung

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
ceritanya sangat menarik sekali...
goodnovel comment avatar
Henney Pebruaida
hatiĀ² Dea. belajar jadi orang baik. yang jahat jangan di tiru ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status