Share

Aku Harus Terima

Makan malam ini terasa sangat kaku karena aku dan Zainab sama-sama diam. Entah masakan apa ini, tapi cukup enak dan nyaman di lidahku. Aku juga tidak tahu kapan dia memasak. 

Ah, sudahlah! Aku tidak ingin lagi memedulikan apa yang dilakukannya setelah ucapannya yang menganggapku bukan siapa-siapa. 

Selesai makan malam, aku mulai mengemasi barang-barangku di kamar utama dan memindahkannya ke kamar sebelah. Lebih baik aku dan Zainab tidur terpisah. Aku tidak ingin jika cinta ini malah menyiksaku lahir dan batin. 

Aku harus mengakui kalau sudah ada rasa cinta di hati ini, tapi aku juga tahu diri. Mana mungkin Zainab mau mencintai pembunuh ayahnya. 

"Barang-barang Bapak mau dibawa ke mana?" tanyanya, tapi enggan kujawab. 

Zainab mengekorku hingga masuk ke kamar yang akan kutempati.

"Bapak kenapa? Sejak dari Mal tadi, Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Bapak ada masalah?" tanyanya lugu. 

Dasar Zainab! Apa dia tidak tahu kalau ucapannya tadi membuatku menjadi merasa tidak dianggap. 

"Mulai sekarang, aku tidur di sini. Kamar itu boleh buat kamu," jawabku tanpa melihat ke arah Zainab. Sementara tangan ini masih sibuk menata buku dan barang-barangku di atas meja di kamar baru ini. 

"Bapak kenapa? Apa saya membuat kesalahan? Kalau yang di kamar mandi tadi, saya minta maaf. Saya--."

"Keluarlah dari kamarku! Mulai sekarang, kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau. Berteman dengan siapa saja atau kamu mau menjalin hubungan dengan laki-laki seusiamu. Aku tidak akan membuka rahasia pernikahan kita. Dan kalau kamu sudah mendapatkan pasangan yang tepat, aku akan menceraikanmu." Kusela ucapan Zainab. Meskipun aku juga merasakan sakit, tapi ini akan lebih baik. 

"Apa maksud Bapak?" Suara Zainab melemah diiringi isakan kecil. 

"Aku bukan siapa-siapa yang perlu tahu semua tentangmu, 'kan? Jadi, aku akan membatasi diri dari sekarang."

Tangisan Zainab semakin keras. "Bapak marah dengan ucapan saya saat pulang dari kampus tadi? Saya minta maaf, Pak. Saya--."

"Tidak perlu minta maaf. Selamanya, aku memang pembunuh yang tidak akan pernah mendapat maaf. Aku mengerti posisiku. Keluarlah, aku mau istirahat!"

***

Aku terbangun dengan sedikit lelah pagi ini. Aku kesulitan tidur semalam karena terus memikirkan Zainab. Apalagi, hujan mengguyur bumi semalam meskipun tidak terlalu deras. Aku takut jika traumanya kembali menguasai jiwanya. Namun, tidak ada suara teriakan atau tangisan Zainab semalam. 

Selepas salat Subuh dan mandi pagi, badanku lebih segar. Aku pun keluar dari kamar untuk membuat sarapan. Namun, aku melihat beberapa menu masakan sudah terhilang di meja makan. 

Apa mungkin Zainab yang memasak? Jam berapa dia bangun? Padahal ini masih pukul enam pagi dan masakan-masakan itu sudah siap dengan asap tipis mengepul di atasnya. 

"Ayo, sarapan dulu, Pak!" 

Zainab berjalan menghampiri. Mata ini kembali terpesona dengan gadis belia itu. Dress selutut warna putih dan sedikit transparan dikenakannya dan sangat cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Bahkan, rambut yang biasanya dikuncir, kini tergerai dan masih basah. 

Astaga! Apa-apaan dia? Aku sudah susah payah menghindarinya semalam, tapi pagi ini dia malah menggoda imanku dengan pakaian seperti itu. 

"Dari mana kamu dapat pakaian seperti itu?" tanyaku membuang gugup. 

"Ini kan, pakaian yang Bapak belikan lewat online shop," jawabnya santai. 

Apa iya aku membelikan pakaian seperti itu?

Ah, sial! Belanja online memang tidak bisa ditebak. 

Zainab semakin mendekat. Sedangkan aku semakin dilanda gugup. Dia menarikkan kursi untukku, lalu dia duduk di kursi yang berhadapan denganku. 

"Duduk, Pak!" ucapnya dengan senyuman yang sangat manis. 

Aku masih belum bisa mengontrol detak jantung yang memompa darah kian cepat. 

"Ganti pakaianmu, Za! Aku tidak suka," ucapku berbohong. Padahal, aku sangat menyukainya. Namun, aku takut jika akan lepas kendali meskipun dia sudah halal untukku. 

"Gerah, Pak. Lagian, hari ini gak ada kelas pagi. Bapak juga, 'kan."

"Za, aku ini laki-laki normal. Sedangkan kamu tidak menganggapku sebagai seorang suami. Jadi, lebih baik kita menjaga jarak daripada terjadi sesuatu yang lebih."

"Bukannya Bapak bilang kalau saat hujan itu ...."

"Aku belum melakukannya, Za. Aku hanya ingin membuat Ibu yakin jika aku akan bahagia denganmu." Aku kembali bangkit dari duduk tanpa menyentuh makanan di atas meja. 

Aku kembali ke kamar dan menutup pintu dengan kasar. Mungkin yang kulakukan ini akan membuat Zainab takut. Namun, aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana dengannya. 

Pukul setengah sepuluh, aku keluar dari kamar untuk berangkat ke kampus karena jadwal mengajar sekitar satu jam lagi. Kulihat Zainab sudah duduk di sofa ruang tamu dengan pakaian tertutup. Dia memang berhijab saat di luar rumah. 

Tanpa bicara, Zainab mengikutiku yang melangkah ke luar rumah. Kami tetap saling diam di dalam mobil hingga sampai di kampus. 

"Saya sudah memaafkan Bapak tentang kecelakaan yang menimpa Ayah. Semua sudah takdir, Pak. Saya sudah ikhlas. Dan saya juga ikhlas menjadi istri Bapak. Tolong jangan diamkan saya seperti ini! Saya sudah tidak punya siapa-siapa." Zainab menghela napas sejenak. "Saya duluan ke kelas, Pak."

Aku hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. 

***

"Kamu itu kenapa, Dan? Dari datang sampai sekarang, muka ditekuk terus." Handoko--dosen fakultas teknik--menepuk bahuku. 

"Punya istri, tapi gak bisa menyentuh itu bikin tersiksa, Han."

What! Aku keceplosan. 

"Kamu udah nikah, Dan? Kapan? Kenapa gak ada undangan?" cecar Handoko. 

"Emangnya aku tadi bilang apa, Han?" 

"Jangan ngeles, Dan! Aku juga denger, kok," sahut Bagas-salah satu dekan kampus. 

Mati aku! Mau bilang apa sama mereka? Dua orang ini yang paling dekat denganku sejak masa kuliah. Mereka sudah hapal betul perangaiku.

"Kamu mau jujur atau kita akan cari tahu sendiri?" Handoko memberikan pilihan yang keduanya tidak menguntungkan untukku.

Aku terdiam, memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan mereka. Namun, bagaimana jika berita ini menyebar? Hubunganku dengan Zainab yang sudah dingin ini akan semakin membeku pastinya. 

"Dan! Woi, malah ngelamun!" Bagas menepuk tangannya di depan wajahku. 

"Aku udah nikah dan sudah hampir dua bulan," jawabku.

Sontak membuat dua orang sahabatku itu memekik bersamaan. 

"Apa?!"

"Gak usah pura-pura kaget." Aku memutar bola mata malas. 

"Dan hampir dua bulan kamu belum melakukan malam pertama?" Suara Handoko naik tiga oktaf. 

Namun, Bagas justru tertawa terbahak-bahak. "Bisa kuat gitu, Dan?"

"Gak usah ngejek! Kalian gak tahu gimana jalan pernikahanku."

"Bukannya kamu sama Maira saling cinta? Masa dia gak mau kamu sentuh?" cicit Handoko. 

"Bukan sama Maira, tapi sama bocah karena aku gak sengaja nabrak ayahnya sampai meninggal."

"Bocah?!"

Lagi, Handoko dan Bagas tampak tidak percaya. 

"Kenapa gak ditolak? Kasihan Maira." Bagas terlihat sedikit emosi.

"Kalian gak tahu posisiku. Ayahnya mengiba saat lagi sekarat. Aku gak bisa nolak karena dikepung sama warga sekitar yang siap membawaku ke jalur hukum."

"Memangnya umurnya berapa? Kok, kamu bilang dia bocah." Handoko kembali bertanya. 

"Delapan belas. Baru lulus SMA."

"Beneran gila kamu, Dan. Dapet perawan kinyis-kinyis, tapi gak bisa dipake," goda Bagas sambil tersenyum mengejek. 

"Ah, terserah kalian saja. Aku sudah pusing sama hidupku." Aku bangkit dari duduk dan meninggalkan ruang dosen. 

Aku berjalan cepat menuju parkiran dan menunggu Zainab di mobil. Namun, pemandangan tidak enak kembali harus kulihat. Zainab sedang bersenda gurau dengan mahasiswa yang kemarin kulihat bersamanya di perpustakaan. 

Akhirnya, aku memutar badan untuk mencari jalan lain. Malas kalau harus menyapa mereka. Hanya sakit hati yang akan kudapat. 

Argh! Aku bisa gila kalau selalu makan hati setiap hari. Sedangkan Zainab tidak peduli dengan perasaanku. 

"Tunggu, Pak!" 

Aku hapal betul suara itu, tapi kenapa Zainab menghentikan langkahku? 

"Ayo, pulang!" Zainab menggamit lengan kiriku dan bergelayut manja. 

Ya Allah! Aku harus bagaimana? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status