Share

Jiwa Petualang

Pernah suatu saat dalam pelajaran Bahasa Inggris, para siswa diminta membaca buku berbahasa Inggris yang bisa dipinjam dari perpustakaan atau bawa sendiri dari rumah. Di situ para siswa harus memilih sebuah buku dan menguasai satu bab sebelum kemudian memberikan penjelasan di depan kelas namun dalam Bahasa Inggris. Bukunya boleh fiksi atau non fiksi. Ini sudah dilakukan minggu lalu dan minggu ini, tepatnya hari ini, juga dilakukan pengajaran dengan cara yang sama. Apa yang dibaca siswa pada hari itu haruslah sama dengan yang dibaca minggu lalu.

Nah, di sinilah kreatifitas iseng Arjun bekerja. Ia melihat bahwa buku yang dipilih oleh Adri adalah sebuah buku dimana cover bukunya ada dua buah. Cover pertama yang menyatu dengan buku, dan cover kedua sebagai cover utama adalah yang full color dan bisa dilepas.

Hari itu, Arjun kembali mengerjai Adri. Ia rupanya sudah merancang sejak kemarin untuk melakukan aksi isengnya. Ketika guru keluar ruangan sesaat, dan semua siswa sudah mulai tekun membaca bagian bab mereka masing-masing, ia membuat Adri terdistraksi. Saat Adri teralihkan perhatiannya, Nathan diam-diam mengganti cover buku tanpa Adri sadari.

Tidak lama, pak Ian, guru Bahasa Inggris muncul dan memperhatikan siswa-siswa yang asyik menekuni bab mereka. Ia sudah meminta mereka agar membaca dengan posisi tubuh tegak sehingga ia bisa melihat cover buku yang mereka baca. Sampai tahap itu semua berjalan aman dan manis sesuai dengan yang diharapkan. Namun saat melihat cover buku yang dibaca Adri, matanya melotot.

“Adri!!!”

Semua orang langsung berhenti membaca dan menoleh ke sang guru. Semua kaget, terlebih Adri yang namanya dipanggil.

“Ada apa pak guru?”

“Kamu yang pilih buku itu?”

“Ya pak guru.”

“Kenapa pilih buku itu?”

Di sini Adri heran. Dia adalah penyuka anak anjing. Lantas kenapa koq gurunya seperti terkaget, pandang remeh, atau galak begitu? Dan sementara Adri ditanyai guru, yang lain tertawa cekikikan saat melihat dirinya.

“K-karena saya suka pak guru.”

“Suka?”

“Iya, apalagi yang kecil.”

Satu kelas terbahak. Sang guru pun demikian. Kecuali Adri tentu saja.

“Kenapa suka yang kecil?”

“Enak buat dibelai-belai pak Guru.”

Satu kelas makin heboh dan sang guru mencoba menguasai diri walau terlihat gagal menyembunyikan senyum. Adri makin heran dengan kejadian ini.

“Kamu nggak malu punya yang kecil?”

‘Ah, aneh sekali pak Ian ini’, pikirnya.

“Nyanda, eh tidak pak guru. Yang penting…”

“Yang penting apa?”

“Yang penting dia bisa bergerak lincah kesana-kemari.”

Langit-langit kelas bagai mau runtuh sepertinya ketika semua orang tertawa terbahak-bahak. Ada yang sampai menangis, ada yang sambil memukul-mukul meja. Pak Ian sendiri sudah tertawa sampai merah mukanya.

Keanehan ini terasa menjadi-jadi bagi Adri. Merasa bahwa jawabannya mungkin ada di cover buku yang ia baca, ia lantas memeriksa. Ternyata benar juga. Matanya seperti hendak copot dan jatuh menggelinding di lantai kelas. Ia kaget dan baru tersadar mengapa seisi kelas menertawai. Ia baru tahu bahwa cover bukunya telah diganti dan judulnya yang sekarang memang sangat provokatif.

Judulnya: “Living With A Small Penis.”

Di tengah deru tawa semua orang, ia bisa melihat Arjun melakukan high-five dengan Nathan, Dessy, dan yang lain-lain. Bagi mereka semua ini memang nampak lucu, tapi sebaliknya bagi Adri, momen ini membuat ia makin hidup dalam dunianya. Menyendiri dan tidak mengakrabi mereka semua, seperti jadi pilihan terbaik untuk bocah kampung nan malang seperti dirinya.

*

Itulah sebagian ulah dan pengalaman Adrianus yang biasa dipanggil Adri.

Sudah setengah tahun ia tinggal dan bersekolah di Jakarta setelah sebelumnya tinggal di sebuah pulau kecil bernama Bunaken di seberang kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara. Orangtuanya adalah petani aren yang cukup sukses yang seiring dengan kenaikan harga aren lantas bermaksud menyekolahkan puteranya ke ibukota Jakarta. Tanpa rasa takut berlebih, tawaran itu langsung disambut Adri dengan penuh antusiasme tinggi. Ia memiliki dua dan bahkan tiga alasan mengapa bersikap sedemikian.

Pertama, ada gen avonturir alias petualangan dalam dirinya. Keputusannya untuk berani merantau bukan hal yang dianggap nyeleneh karena mayoritas pemuda di sana memang suka sekali merantau.

Kedua, sebagai orangtua yang cukup memahami pentingnya pendidikan mereka berharap Adri tak tertinggal dengan pemuda lain. Baik Adri maupun orangtuanya bermimpi agar sekembalinya ke kampung ia bisa berkontribusi untuk mengembangkan pulau imut kampung halamannya yang hanya seluas 8 kilometer persegi itu menjadi tempat yang lebih baik.

Dan alasan terakhir sebetulnya merupakan alasan utama. Ya, Adri sudah muak karena harus bolak-balik dari pulau Bunaken ke kota Manado untuk bersekolah. Sepuluh tahun sudah ia mondar-mandir dan bersekolah mulai dari SD, SMP, dan hingga memasuki kelas 1 SMA.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status