Share

Bab 2. Hancur, Habis, Lenyap

Bis melaju lebih lambat. Hujan cukup deras mengguyur jalanan. Adisti memperhatikan rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan yang dilalui bis itu. Tatapannya nanar. Sedih dan gelisah, itu yang dia rasakan. Semua hancur. Kehidupan yang menyenangkan yang dia miliki berantakan dalam sekejap. Dan itu karena ada bayi dalam kandungannya.

Pikiran Adisti berlari pada hari saat dia mengetahui dirinya berbadan dua, dan dia ungkapkan pada sahabatnya, Arin.

“Kamu hamil? Kok bisa?” Tatapan terkejut dari sahabatnya menghujam pada Adisti.

“Tapi itu benar, Rin.” Adisti dengan bingung melihat Arin.

“Kamu ga jaga? Ga minta itu Om pakai pengaman? Kamu bukannya juga biasa minum pil?” Arin menggeleng keras. Tidak percaya dengan yang Adisti katakan.

“Dia ga pernah mau pakai pengaman. Aku, seingatku aku ga lupa, tapi .…”

“Disti! Kenapa kamu seteledor ini?” Arin tampak menyesal mendengar kabar kehamilan Adisti. “Kamu tahu apa artinya itu? Kamu ga bisa kuliah dengan kondisi kayak gini. Kamu ga mungkin juga minta Om Ramon tanggung jawab. Disti … ini bencana!”

 Kata-kata Arin membuat Adisti makin kalang kabut.

“Gugurkan saja bayi itu. Kamu belum siap menjadi ibu, dan memang tidak mungkin!”

Itu kalimat terakhir yang Adisti dengar dari Arin. Sejak itu Adisti tidak lagi berkomunikasi dengan temannya itu.

Hujan masih turun, meskipun tidak sederas sebelumnya.

Adisti mengusap matanya yang sesekali basah. Jika bisa, ingin sekali dia lenyap dari muka bumi. Agar semua kekacauan yang terjadi di hidupnya berlalu.

“Arin .…” gumam Adisti lirih. Tangannya membuka ponsel dan melihat galeri foto. Wajah ceria sahabatnya muncul di sana.

Arin yang mengenalkan Adisti pada dunia malam. Arin yang menunjukkan nikmatnya menjadi kesayangan pria beristri yang rindu pelukan gadis belia. Awalnya Adisti takut melangkah. Arin memastikan yang mereka lakukan hanya ingin bersenang-senang. Dengan cara itu, mudah mendapat banyak uang tanpa harus menyusahkan orang tua lagi.

Entah kenapa, Adisti bisa terhanyut dan ikut dalam permainan itu. Mengenal pria tampan, mapan, dan penuh pesona rasanya seperti gadis hebat. Apalagi dia pria yang cukup dikenal dan berpengaruh di banyak kalangan. Adisti bisa minta apa saja yang dia mau, dengan gampang pria itu mengirim sejumlah uang. Hanya satu imbalannya, tubuh Adisti.

“Rasanya begitu luar biasa bisa berada di sisi pria hebat. Ternyata … semua kini habis sudah. Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kenapa aku begitu bodoh? Tidak sadar, hanya tubuhku saja yang dia butuhkan. Saat aku mengandung anaknya, dia menolakku.” Penyesalan semakin dalam menghujam di dada Adisti.

Bis terus melaju, malam makin dalam, hari hampir berganti. Tak sedetik pun mata Adisti terpejam. Meski kepala pening mata terasa mata berat, semua kejadian yang Adisti alami, hingga diusir sang ayah kembali terpampang di pikirannya. Tangisan ibu yang tak rela dia pergi pun muncul di sana. Senyum manis Adinda dan lambaian tangannya, tak ketinggalan.

“Maafkan aku … maafkan aku …,” ucap Adisti lirih.

Hujan perlahan reda. Malam semakin larut. Mata Adisti belum juga terpejam.

“Aku lebih baik menghilang dari semua orang. Aib ini tidak akan termaafkan. Aku harus pergi sejauh mungkin, agar semua orang lupa ada wanita jalang bernama Adisti Kayshilla Dewina.”

*****

Malang.

Adisti sampai di tujuan. Bis berhenti di terminal. Satu per satu penumpang turun meninggalkan kendaraan besar itu, menuju keluar terminal. Hari masih gelap, subuh belum berakhir.

Adisti berhenti di dekat gerbang keluar, melihat ke sekeliling. Tidak ada maksud dia datang ke kota itu. Dia seperti orang linglung yang berkata iya, saat ditanya salah satu pria di depan terminal di kota Semarang, kota asalnya, dia akan ke mana. Saat pria itu menyebut Malang, entah kenapa Adisti mengangguk.

Dan sampailah Adisti di kota kecil yang sedang berkembang itu. Adisti pernah datang ke kota Malang untuk darma wisata dengan kelasnya saat lulus SMP. Itu sudah sekian tahun yang lalu. Tidak banyak yang dia tahu. Tapi hidup barunya akan dia di mulai di kota itu.

“Aku harus ke mana sekarang?” Adisti sekali lagi memandang sekeliling. Suasana di terminal tidak begitu ramai. Setidaknya Adisti harus mencari tempat tinggal. Lalu dia akan mencari pekerjaan, apapun, asal dia bisa bertahan hidup.

“Mbak, mau ke mana?” Seorang pria muda menghampiri dan bertanya. Mungkin dia melihat Adisti tampak bingung.

“Eh, ke … pusat kota, Mas.” Adisti menjawab sambil memperhatikan pria itu.

“Pusat kota? Ke alun-alun? Jam segini, Mbak?” Pria itu tampak heran dengan jawaban Adisti.

“Iya." Adisti berharap pria ini akan memberi informasi yang dia perlukan. “Kalau mencari tempat menginap, seperti kos begitu, paling dekat dengan pusat kota ada, ya?”

Pria itu menjelaskan ini dan itu kepada Adisti. Adisti memperhatikan dan menyimak baik-baik. Ternyata boleh juga. Pria itu memang baik. Itu yang Adisti pikirkan.

Sementara masih bicara, tiba-tiba ada yang menabrak Adisti hingga Adisti hampir terjungkal.

“Maaf, Mbak, nggak sengaja.” Seorang bapak, masih relatif muda juga. Dia sedikit membungkuk lalu dengan cepat berlalu dari situ.

“Ada yang mau ditanya lagi, Mbak?” Pria itu masih di tempatnya.

“Eh, cukup kayaknya. Terima kasih,” ujar Adisti.

“Oke, Mbak. Hati-hati, banyak orang jahat di sekitar sini.” Pria itu tersenyum, lalu berjalan menjauh.

Adisti memegang dadanya mendengar itu. Ah, benar juga. Dia harus hati-hati, dia tidak kenal siapapun di kota itu.

Adisti membuka tas dan mencari ponselnya. Lebih baik dia browsing saja tempat yang sempat diinformasikan pria itu. Mata Adisti terbelalak, Tasnya bolong, cukup lebar. Robek, seperti kena pisau atau silet.

Ponsel tidak ada. Dompet pun lenyap. Adisti mulai gemetar. Apa yang terjadi? Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Pria yang tadi bicara dengannya juga lenyap.

Terngiang kalimat terakhir pria itu. “Hati-hati, banyak orang jahat di sekitar sini.”

“Tidak … Tidak mungkin.” Adisti terpana. Pria itu, dan pria yang menabraknya. Adisti yakin, mereka yang melakukannya.

Adisti seketika merasa lemas. Apa yang bisa dia lakukan? Dia tidak punya uang di tangan. Ada sekian juta yang tersimpan di bank, tapi tidak mungkin dia bisa ambil dengan mudah.  Adisti terduduk di pinggir jalan, kembali menangis.

Lengkap sudah penderitaannya. Diusir ayah, ditolak kekasih gelapnya, dan pergi jauh dari semuanya, membawa dia pada kesialan yang baru.

“Tuhan, aku ingin mati saja … Aku ga bisa hidup seperti ini ….” Dalam hati Adisti berseru, tapi yang keluar di bibirnya hanya isakan. Dadanya terasa sesak. Tubuhnya seakan limbung dan hampir jatuh.

Hingga hari semakin terang, Adisti masih di tempatnya. Kendaraan mulai lebih banyak yang berlalu lalang. Seperti yang lalu, saat Adisti duduk di pinggir jalan tak jauh dari kantor megah kekasih gelapnya, tak satupun yang peduli.

“Aku lapar sekali.” Adisti membuka tasnya. Hanya ada air mineral di sana. Tidak ada pilihan, Adisti meneguknya hingga habis.

Dengan rasa lunglai, Adisti bangun, mengangkat ranselnya, dan mulai berjalan. Tidak tahu akan ke mana, hanya berjalan saja, menjauh dari terminal.

Hampir setengah jam memaksa kakinya melangkah, Adisti merasa makin lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Tidak mampu lagi menahan tubuhnya, Adisti terguling dan jatuh di pinggir jalan. Pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status