Bis melaju lebih lambat. Hujan cukup deras mengguyur jalanan. Adisti memperhatikan rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan yang dilalui bis itu. Tatapannya nanar. Sedih dan gelisah, itu yang dia rasakan. Semua hancur. Kehidupan yang menyenangkan yang dia miliki berantakan dalam sekejap. Dan itu karena ada bayi dalam kandungannya.
Pikiran Adisti berlari pada hari saat dia mengetahui dirinya berbadan dua, dan dia ungkapkan pada sahabatnya, Arin.
“Kamu hamil? Kok bisa?” Tatapan terkejut dari sahabatnya menghujam pada Adisti.
“Tapi itu benar, Rin.” Adisti dengan bingung melihat Arin.
“Kamu ga jaga? Ga minta itu Om pakai pengaman? Kamu bukannya juga biasa minum pil?” Arin menggeleng keras. Tidak percaya dengan yang Adisti katakan.
“Dia ga pernah mau pakai pengaman. Aku, seingatku aku ga lupa, tapi .…”
“Disti! Kenapa kamu seteledor ini?” Arin tampak menyesal mendengar kabar kehamilan Adisti. “Kamu tahu apa artinya itu? Kamu ga bisa kuliah dengan kondisi kayak gini. Kamu ga mungkin juga minta Om Ramon tanggung jawab. Disti … ini bencana!”
Kata-kata Arin membuat Adisti makin kalang kabut.
“Gugurkan saja bayi itu. Kamu belum siap menjadi ibu, dan memang tidak mungkin!”
Itu kalimat terakhir yang Adisti dengar dari Arin. Sejak itu Adisti tidak lagi berkomunikasi dengan temannya itu.
Hujan masih turun, meskipun tidak sederas sebelumnya.
Adisti mengusap matanya yang sesekali basah. Jika bisa, ingin sekali dia lenyap dari muka bumi. Agar semua kekacauan yang terjadi di hidupnya berlalu.
“Arin .…” gumam Adisti lirih. Tangannya membuka ponsel dan melihat galeri foto. Wajah ceria sahabatnya muncul di sana.
Arin yang mengenalkan Adisti pada dunia malam. Arin yang menunjukkan nikmatnya menjadi kesayangan pria beristri yang rindu pelukan gadis belia. Awalnya Adisti takut melangkah. Arin memastikan yang mereka lakukan hanya ingin bersenang-senang. Dengan cara itu, mudah mendapat banyak uang tanpa harus menyusahkan orang tua lagi.
Entah kenapa, Adisti bisa terhanyut dan ikut dalam permainan itu. Mengenal pria tampan, mapan, dan penuh pesona rasanya seperti gadis hebat. Apalagi dia pria yang cukup dikenal dan berpengaruh di banyak kalangan. Adisti bisa minta apa saja yang dia mau, dengan gampang pria itu mengirim sejumlah uang. Hanya satu imbalannya, tubuh Adisti.
“Rasanya begitu luar biasa bisa berada di sisi pria hebat. Ternyata … semua kini habis sudah. Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Kenapa aku begitu bodoh? Tidak sadar, hanya tubuhku saja yang dia butuhkan. Saat aku mengandung anaknya, dia menolakku.” Penyesalan semakin dalam menghujam di dada Adisti.
Bis terus melaju, malam makin dalam, hari hampir berganti. Tak sedetik pun mata Adisti terpejam. Meski kepala pening mata terasa mata berat, semua kejadian yang Adisti alami, hingga diusir sang ayah kembali terpampang di pikirannya. Tangisan ibu yang tak rela dia pergi pun muncul di sana. Senyum manis Adinda dan lambaian tangannya, tak ketinggalan.
“Maafkan aku … maafkan aku …,” ucap Adisti lirih.
Hujan perlahan reda. Malam semakin larut. Mata Adisti belum juga terpejam.
“Aku lebih baik menghilang dari semua orang. Aib ini tidak akan termaafkan. Aku harus pergi sejauh mungkin, agar semua orang lupa ada wanita jalang bernama Adisti Kayshilla Dewina.”
*****
Malang.
Adisti sampai di tujuan. Bis berhenti di terminal. Satu per satu penumpang turun meninggalkan kendaraan besar itu, menuju keluar terminal. Hari masih gelap, subuh belum berakhir.
Adisti berhenti di dekat gerbang keluar, melihat ke sekeliling. Tidak ada maksud dia datang ke kota itu. Dia seperti orang linglung yang berkata iya, saat ditanya salah satu pria di depan terminal di kota Semarang, kota asalnya, dia akan ke mana. Saat pria itu menyebut Malang, entah kenapa Adisti mengangguk.
Dan sampailah Adisti di kota kecil yang sedang berkembang itu. Adisti pernah datang ke kota Malang untuk darma wisata dengan kelasnya saat lulus SMP. Itu sudah sekian tahun yang lalu. Tidak banyak yang dia tahu. Tapi hidup barunya akan dia di mulai di kota itu.
“Aku harus ke mana sekarang?” Adisti sekali lagi memandang sekeliling. Suasana di terminal tidak begitu ramai. Setidaknya Adisti harus mencari tempat tinggal. Lalu dia akan mencari pekerjaan, apapun, asal dia bisa bertahan hidup.
“Mbak, mau ke mana?” Seorang pria muda menghampiri dan bertanya. Mungkin dia melihat Adisti tampak bingung.
“Eh, ke … pusat kota, Mas.” Adisti menjawab sambil memperhatikan pria itu.
“Pusat kota? Ke alun-alun? Jam segini, Mbak?” Pria itu tampak heran dengan jawaban Adisti.
“Iya." Adisti berharap pria ini akan memberi informasi yang dia perlukan. “Kalau mencari tempat menginap, seperti kos begitu, paling dekat dengan pusat kota ada, ya?”
Pria itu menjelaskan ini dan itu kepada Adisti. Adisti memperhatikan dan menyimak baik-baik. Ternyata boleh juga. Pria itu memang baik. Itu yang Adisti pikirkan.
Sementara masih bicara, tiba-tiba ada yang menabrak Adisti hingga Adisti hampir terjungkal.
“Maaf, Mbak, nggak sengaja.” Seorang bapak, masih relatif muda juga. Dia sedikit membungkuk lalu dengan cepat berlalu dari situ.
“Ada yang mau ditanya lagi, Mbak?” Pria itu masih di tempatnya.
“Eh, cukup kayaknya. Terima kasih,” ujar Adisti.
“Oke, Mbak. Hati-hati, banyak orang jahat di sekitar sini.” Pria itu tersenyum, lalu berjalan menjauh.
Adisti memegang dadanya mendengar itu. Ah, benar juga. Dia harus hati-hati, dia tidak kenal siapapun di kota itu.
Adisti membuka tas dan mencari ponselnya. Lebih baik dia browsing saja tempat yang sempat diinformasikan pria itu. Mata Adisti terbelalak, Tasnya bolong, cukup lebar. Robek, seperti kena pisau atau silet.
Ponsel tidak ada. Dompet pun lenyap. Adisti mulai gemetar. Apa yang terjadi? Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Pria yang tadi bicara dengannya juga lenyap.
Terngiang kalimat terakhir pria itu. “Hati-hati, banyak orang jahat di sekitar sini.”
“Tidak … Tidak mungkin.” Adisti terpana. Pria itu, dan pria yang menabraknya. Adisti yakin, mereka yang melakukannya.
Adisti seketika merasa lemas. Apa yang bisa dia lakukan? Dia tidak punya uang di tangan. Ada sekian juta yang tersimpan di bank, tapi tidak mungkin dia bisa ambil dengan mudah. Adisti terduduk di pinggir jalan, kembali menangis.
Lengkap sudah penderitaannya. Diusir ayah, ditolak kekasih gelapnya, dan pergi jauh dari semuanya, membawa dia pada kesialan yang baru.
“Tuhan, aku ingin mati saja … Aku ga bisa hidup seperti ini ….” Dalam hati Adisti berseru, tapi yang keluar di bibirnya hanya isakan. Dadanya terasa sesak. Tubuhnya seakan limbung dan hampir jatuh.
Hingga hari semakin terang, Adisti masih di tempatnya. Kendaraan mulai lebih banyak yang berlalu lalang. Seperti yang lalu, saat Adisti duduk di pinggir jalan tak jauh dari kantor megah kekasih gelapnya, tak satupun yang peduli.
“Aku lapar sekali.” Adisti membuka tasnya. Hanya ada air mineral di sana. Tidak ada pilihan, Adisti meneguknya hingga habis.
Dengan rasa lunglai, Adisti bangun, mengangkat ranselnya, dan mulai berjalan. Tidak tahu akan ke mana, hanya berjalan saja, menjauh dari terminal.
Hampir setengah jam memaksa kakinya melangkah, Adisti merasa makin lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Tidak mampu lagi menahan tubuhnya, Adisti terguling dan jatuh di pinggir jalan. Pingsan.
Lima tahun berlalu. Gadis kecil dengan rambut sepunggung itu memegang gaunnya dan mengibar-ibarkannya ke kiri dan kanan dengan riang. Senyum indah menghiasi bibir mungil di wajahnya. “Sayang, lihat!” Panggilan itu membuat si gadis kecil mengangkat kepala, memandang ke depan. Senyumnya makin lebar, dan sambil bertepuk tangan dia melihat ibunya datang membawa kue ulang tahun yang cantik, lengkap dengan lima lilin di atasnya. “Makasih, Ibu!” ujarnya girang. “Selamat ulang tahun, Felicia Lovelita. Sudah berapa sekarang umur kamu?” ucap ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan. “Lima! Aku udah gede!” sahut Felicia riang. Dia mengangkat tinggi lima jari tangan kanannya. “Iya! Udah gede. Makin cantik seperti Ibu Disti.” Seorang wanita kira-kira enam puluhan tahun menghampiri mereka berdua. “Bu Meity .…” Adisti menoleh pada wanita itu. “Ayo, Cia tiup lilinnya, lalu kita berdoa buat Cia,” kata Meity. Mereka duduk mengelilingi meja di ruangan itu. Adisti meletakkan kue di depan Felicia.
Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi. Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu. "Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu. Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. "Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya. Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect. "Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih. Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat i
"Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang. "Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti. "Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya. "Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani. "Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu. "Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti. "Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya. "Temui aku dua
Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi. "Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya. Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara. "Mbak, mau ke mana?" Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu. "Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruan
Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist
"Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A