Lima tahun berlalu.
Gadis kecil dengan rambut sepunggung itu memegang gaunnya dan mengibar-ibarkannya ke kiri dan kanan dengan riang. Senyum indah menghiasi bibir mungil di wajahnya.“Sayang, lihat!”Panggilan itu membuat si gadis kecil mengangkat kepala, memandang ke depan. Senyumnya makin lebar, dan sambil bertepuk tangan dia melihat ibunya datang membawa kue ulang tahun yang cantik, lengkap dengan lima lilin di atasnya.“Makasih, Ibu!” ujarnya girang.“Selamat ulang tahun, Felicia Lovelita. Sudah berapa sekarang umur kamu?” ucap ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan.“Lima! Aku udah gede!” sahut Felicia riang. Dia mengangkat tinggi lima jari tangan kanannya.“Iya! Udah gede. Makin cantik seperti Ibu Disti.” Seorang wanita kira-kira enam puluhan tahun menghampiri mereka berdua.“Bu Meity .…” Adisti menoleh pada wanita itu.“Ayo, Cia tiup lilinnya, lalu kita berdoa buat Cia,” kata Meity.Mereka duduk mengelilingi meja di ruangan itu. Adisti meletakkan kue di depan Felicia. Felicia meniup lilin dengan sepenh tenaga. Adisti dan Meity tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Lalu Meity memimpin berdoa untuk Felicia yang hari itu genap berusia lima tahun.Selesai itu, Adisti memotong kue dan memberikan pada Felicia. Dengan cepat Felicia menikmati kue ulang tahunnya.“Ibu, aku bagi kuenya. Kasih kakak-kakak.” Felicia melihat pada Adisti.“Iya, Ibu potong, lalu Cia antar ke kakak-kakak.” Adisti memotong semua kue ulang tahun dan memasukkan ke kotak-kotak kecil yang dia siapkan. Kemudian Felicia dengan semangat membawa kotak-kotak itu menuju kamar-kamar di rumah itu.“Lima tahun, Disti. Cia sudah lima tahun. Waktu cepat sekali berlalu.” Meity melihat pada Adisti yang sedang membereskan sisa kue ulang tahun yang dia potong.“Benar, Bu. Rasanya belum lama aku sampai di kota ini. Ternyata sudah lima tahun saja.” Ingatan Adisti kembali ke lima tahun yang lalu, saat pertama dia tiba di kota Malang.“Aku juga tidak mengira bisa bertemu kamu waktu itu. Aku hanya ingin menolong saja waktu melihat kamu tergeletak di pinggir jalan.” Meity pun kembali mengenang hari itu.Seorang wanita muda pingsan di pinggir jalan. Hati Meity tergerak ingin menolong. Meity baru saja datang dari luar kota, hendak pulang dengan taksi. Segera dia minta sopir taksi mengangkat Adisti ke dalam kendaraan dan membawa mereka ke sebuah klinik yang tak jauh dari terminal.Meity sangat terkejut saat tahu wanita muda itu hamil. Setelah Adisti sadar, segera dia bertanya apa yang terjadi, kenapa Adisti pergi sendirian. Bukan jawaban yang dia terima, tetapi tangisan deras Adisti yang tidak bisa ditahan lagi.“Setelah mendengar semua kisahmu, aku langsung memutuskan akan menolongmu. Kurasa itu keputusan tepat. Lihat Cia, dia bertumbuh dengan sangat baik.” Meity memandang Adisti.“Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih buat semuanya. Tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikan ibu. Kalau bukan pertolongan Bu Meity, aku tidak tahu seperti apa aku dan Cia hidup,” kata Adisti penuh haru.“Aku tidak mau kamu merasakan kepedihan dan keputusaaan lebih lama. Aku harus berbuat sesuatu. Aku senang, kamu dan Cia hidup dengan baik. Dia sudah mulai sekolah, senang sekali melihatnya.” Meity memegang kedua tangan Adisti."Ga bisa ngomong yang lain, Bu. Cuma bisa bilang terima kasih," ucap Adisti. Ujung matanya sudah mulai basah.“Semua karena tekadmu, Disti. Kamu mau berjuang memperbaiki hidupmu. Aku hanya tukang kompor saja, kasih semangat sama kamu.” Meity tersenyum. “Sudah, kalau diteruskan aku bisa makin mellow. Ini udah mau mewek. Aku lihat kamar atas, si Ambar sakit katanya. Apa dia belum baik? Sekalian lihat Cia, terdampar di kamar mana.”Meity berdiri dan meninggalkan Adisti sendirian. Adisti masih terbawa situasi haru.“Bu Meity … buatku kamu malaikat yang Tuhan kirim buat aku dan Cia,” bisik Adisti. “Tinggal di rumah kos-kosan gratis. Makan minum gratis. Hanya bantu-bantu ini itu. Kalau orang tanya, Ibu bilang aku pegawai di kos-kosan ini. Lucu saja rasanya.”*****Adisti memarkir motor di dekat pos satpam di depan sekolah itu. Lalu dia menuju gerbang sekolah. Dia menjemput Felicia seperti biasanya. Tampak Felicia berlari kecil keluar dari gerbang sekolah berjalan bersama beberapa temannya. Salah satu guru mengiringi mereka.Saat melihat Adisti sudah menunggu, Felicia dengan semangat segera berlari mendekat. Dia membawa tote bag di tangan dan dia acungkan pada Adisti.“Wina ulang tahun, Bu. Semua dapat ini!” kata Felicia dengan wajah cerah.“Oya? Asyik, dong!” Adisti tersenyum. “Yuk, pulang. Lalu Cia bisa makan kue di rumah.”“Oke.” Felicia mengangguk.Mereka naik ke motor dan meninggalkan area sekolah. Sambil menyusuri jalan, seperti biasa Felicia akan bercerita apa saja yang dia alami di sekolah. Adisti beberapa kali tertawa mendengar kata-kata Felicia yang lucu.“Ibu, aku mau ayah!” Tiba-tiba Felicia berkata dengan suara keras.“Apa?” Ucapan itu membuat Adisti kaget, hingga dia sedikit oleng memegang stang motor. Motornya sampai hampir terguling. Sedangkan botol minum yang Felicia pegang di tangannya pun terlempar. Botol itu jatuh dan menggelinding.“Ibu! Botolku!” teriak Felicia sambil menunjuk ke botol minumnya yang tergeletak di tengah jalan raya,Terpaksa Adisti menepi, menghentikan motor. Felicia turun dari motor dan memandangi botol minumnya. Botol minum dengan gambar princess kesukaannya.“Kamu bilang apa tadi? Ibu sampai kaget.” Adisti mendekati Felicia. Rasa terkejut Adisti belum lenyap.“Botolku …,” kata Felicia. Matanya masih memandang ke botolnya.“Kamu ga percaya sama aku?! Kita sudah bertunangan dan tidak lama lagi akan menikah! Jangan berpikiran aneh-aneh, Rima!”Adisti dan Felicia menoleh ke suara keras sedikit di belakang mereka. Seorang pria dan wanita sedang berhadapan. Wajah mereka tegang, seperti mau saling menyerang.“Kalau ga mau aku curiga, jaga kelakuan kamu! Pegawai dekat-dekat bukan disuruh menjauh!” Wanita dengan tubuh bak model itu menatap tajam pada pria tampan dengan wajah tegas di depannya.“Kamu berlebihan! Aku harus balik ke kantor. Banyak pekerjaan yang ga bisa kutunda. Aku hubungi nanti!” Pria itu berkata dengan nada kesal.Kemudian pria itu tampak gusar dan berbalik. Tepat saat itu mata pria itu bertatapan dengan Adisti dan Felicia yang memandang padanya. Bagus sekali, Adisti dan Felicia seperti sedang menonton adegan syuting sinetron di pinggir jalan.“Vernon!” Wanita itu memanggil.“Aku ga ada waktu sekarang, Rima!” tegas pria itu.Dengan kesal wanita itu juga menjauh, masuk ke dalam mobilnya. Segera mobil itu meluncur menjauh.“Botolku!” Felicia melihat lagi ke jalan. Ada mobil lewat dan hampir meremukkan botol minum kesayangannya.“Ya, sebentar!” Adisti menyahut.Tidak sabar, Felicia sedikit berlari menuju ke tengah jalan ingin mengambil botol minumnya. Saat itu dari arah kiri muncul motor yang melaju cukup kencang!“Cia!!” Dada Adisti berdegup kencang. Tubuhnya terasa gemetar tiba-tiba.Motor itu begitu dekat dengan Felicia. Hanya beberapa senti meter, tubuh mungil itu pasti akan terlindas!Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi. Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu. "Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu. Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. "Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya. Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect. "Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih. Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat i
"Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang. "Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti. "Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya. "Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani. "Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu. "Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti. "Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya. "Temui aku dua
Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi. "Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya. Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara. "Mbak, mau ke mana?" Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu. "Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruan
Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist
"Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A
Dengan tergesa Adisti berjalan, bahkan sedikit berlari keluar ruangannya. Ternyata di ruang sebelah, yang memang lebih luas, ada tiga karyawan lagi, dua laki-laki dan satu perempuan. Adisti mengangguk sambil tersenyum pada mereka, tapi kakinya terus berjalan menuju ke ruangan direktur. "Jadi Pak Vernon itu direktur di sini? Astaga. Aku harus tahu menjaga diri di depannya. Kalau sampai salah bertindak bisa didepak aku." Hati Adisti berbicara. Di depan kantor direktur, Adisti berhenti. Dia memperhatikan penampilannya. Pakaiannya rapi. Berkas di tangannya aman. "Oke, siap bergerak," ujar Adisti. Tangannya mengetuk pintu tiga kali. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Adisti membuka pintu dan melihat ke dalam ruangan. Kantor itu cukup luas jika dihitung yang menempati hanya satu orang. Di dekat pintu ada meja dan sofa kecil. Sedikit ke belakang terletak meja kerja lenglap dengan kursinya. Rak menempel di dinding paling ujung. Sebelah kanan ada satu pintu lagi. Adisti menduga itu