Share

Bab 3. Ibu, Aku Mau Ayah

Lima tahun berlalu.

Gadis kecil dengan rambut sepunggung itu memegang gaunnya dan mengibar-ibarkannya ke kiri dan kanan dengan riang. Senyum indah menghiasi bibir mungil di wajahnya.

“Sayang, lihat!”

Panggilan itu membuat si gadis kecil mengangkat kepala, memandang ke depan. Senyumnya makin lebar, dan sambil bertepuk tangan dia melihat ibunya datang membawa kue ulang tahun yang cantik, lengkap dengan lima lilin di atasnya.

“Makasih, Ibu!” ujarnya girang.

“Selamat ulang tahun, Felicia Lovelita. Sudah berapa sekarang umur kamu?” ucap ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan.

“Lima! Aku udah gede!” sahut Felicia riang. Dia mengangkat tinggi lima jari tangan kanannya.

“Iya! Udah gede. Makin cantik seperti Ibu Disti.” Seorang wanita kira-kira enam puluhan tahun menghampiri mereka berdua.

“Bu Meity .…” Adisti menoleh pada wanita itu.

“Ayo, Cia tiup lilinnya, lalu kita berdoa buat Cia,” kata Meity.

Mereka duduk mengelilingi meja di ruangan itu. Adisti meletakkan kue di depan Felicia. Felicia meniup lilin dengan sepenh tenaga. Adisti dan Meity tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Lalu Meity memimpin berdoa untuk Felicia yang hari itu genap berusia lima tahun.

Selesai itu, Adisti memotong kue dan memberikan pada Felicia. Dengan cepat Felicia menikmati kue ulang tahunnya.

“Ibu, aku bagi kuenya. Kasih kakak-kakak.” Felicia melihat pada Adisti.

“Iya, Ibu potong, lalu Cia antar ke kakak-kakak.” Adisti memotong semua kue ulang tahun dan memasukkan ke kotak-kotak kecil yang dia siapkan. Kemudian Felicia dengan semangat membawa kotak-kotak itu menuju kamar-kamar di rumah itu.

“Lima tahun, Disti. Cia sudah lima tahun. Waktu cepat sekali berlalu.” Meity melihat pada Adisti yang sedang membereskan sisa kue ulang tahun yang dia potong.

“Benar, Bu. Rasanya belum lama aku sampai di kota ini. Ternyata sudah lima tahun saja.” Ingatan Adisti kembali ke lima tahun yang lalu, saat pertama dia tiba di kota Malang.

“Aku juga tidak mengira bisa bertemu kamu waktu itu. Aku hanya ingin menolong saja waktu melihat kamu tergeletak di pinggir jalan.” Meity pun kembali mengenang hari itu.

Seorang wanita muda pingsan di pinggir jalan. Hati Meity tergerak ingin menolong. Meity baru saja datang dari luar kota, hendak pulang dengan taksi. Segera dia minta sopir taksi mengangkat Adisti ke dalam kendaraan dan membawa mereka ke sebuah klinik yang tak jauh dari terminal.

Meity sangat terkejut saat tahu wanita muda itu hamil. Setelah Adisti sadar, segera dia bertanya apa yang terjadi, kenapa Adisti pergi sendirian. Bukan jawaban yang dia terima, tetapi tangisan deras Adisti yang tidak bisa ditahan lagi.

“Setelah mendengar semua kisahmu, aku langsung memutuskan akan menolongmu. Kurasa itu keputusan tepat. Lihat Cia, dia bertumbuh dengan sangat baik.” Meity memandang Adisti.

“Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih buat semuanya. Tidak tahu bagaimana aku bisa membalas kebaikan ibu. Kalau bukan pertolongan Bu Meity, aku tidak tahu seperti apa aku dan Cia hidup,” kata Adisti penuh haru.

“Aku tidak mau kamu merasakan kepedihan dan keputusaaan lebih lama. Aku harus berbuat sesuatu. Aku senang, kamu dan Cia hidup dengan baik. Dia sudah mulai sekolah, senang sekali melihatnya.” Meity memegang kedua tangan Adisti.

"Ga bisa ngomong yang lain, Bu. Cuma bisa bilang terima kasih," ucap Adisti. Ujung matanya sudah mulai basah.

“Semua karena tekadmu, Disti. Kamu mau berjuang memperbaiki hidupmu. Aku hanya tukang kompor saja, kasih semangat sama kamu.” Meity tersenyum. “Sudah, kalau diteruskan aku bisa makin mellow. Ini udah mau mewek. Aku lihat kamar atas, si Ambar sakit katanya. Apa dia belum baik? Sekalian lihat Cia, terdampar di kamar mana.”

Meity berdiri dan meninggalkan Adisti sendirian. Adisti masih terbawa situasi haru.

“Bu Meity … buatku kamu malaikat yang Tuhan kirim buat aku dan Cia,” bisik Adisti. “Tinggal di rumah kos-kosan gratis. Makan minum gratis. Hanya bantu-bantu ini itu. Kalau orang tanya, Ibu bilang aku pegawai di kos-kosan ini. Lucu saja rasanya.”

*****

Adisti memarkir motor di dekat pos satpam di depan sekolah itu. Lalu dia menuju gerbang sekolah. Dia menjemput Felicia seperti biasanya. Tampak Felicia berlari kecil keluar dari gerbang sekolah berjalan bersama beberapa temannya. Salah satu guru mengiringi mereka.

Saat melihat Adisti sudah menunggu, Felicia dengan semangat segera berlari mendekat. Dia membawa tote bag di tangan dan dia acungkan pada Adisti.

“Wina ulang tahun, Bu. Semua dapat ini!” kata Felicia dengan wajah cerah.

“Oya? Asyik, dong!” Adisti tersenyum. “Yuk, pulang. Lalu Cia bisa makan kue di rumah.”

“Oke.” Felicia mengangguk.

Mereka naik ke motor dan meninggalkan area sekolah. Sambil menyusuri jalan, seperti biasa Felicia akan bercerita apa saja yang dia alami di sekolah. Adisti beberapa kali tertawa mendengar kata-kata Felicia yang lucu.

“Ibu, aku mau ayah!” Tiba-tiba Felicia berkata dengan suara keras.

“Apa?” Ucapan itu membuat Adisti kaget, hingga dia sedikit oleng memegang stang motor. Motornya sampai hampir terguling. Sedangkan botol minum yang Felicia pegang di tangannya pun terlempar. Botol itu jatuh dan menggelinding.

“Ibu! Botolku!” teriak Felicia sambil menunjuk ke botol minumnya yang tergeletak di tengah jalan raya,

Terpaksa Adisti menepi, menghentikan motor. Felicia turun dari motor dan memandangi botol minumnya. Botol minum dengan gambar princess kesukaannya.

“Kamu bilang apa tadi? Ibu sampai kaget.” Adisti mendekati Felicia. Rasa terkejut Adisti belum lenyap.

“Botolku …,” kata Felicia. Matanya masih memandang ke botolnya.

“Kamu ga percaya sama aku?! Kita sudah bertunangan dan tidak lama lagi akan menikah! Jangan berpikiran aneh-aneh, Rima!”

Adisti dan Felicia menoleh ke suara keras sedikit di belakang mereka. Seorang pria dan wanita sedang berhadapan. Wajah mereka tegang, seperti mau saling menyerang.

“Kalau ga mau aku curiga, jaga kelakuan kamu! Pegawai dekat-dekat bukan disuruh menjauh!” Wanita dengan tubuh bak model itu menatap tajam pada pria tampan dengan wajah tegas di depannya.

“Kamu berlebihan! Aku harus balik ke kantor. Banyak pekerjaan yang ga bisa kutunda. Aku hubungi nanti!” Pria itu berkata dengan nada kesal.

Kemudian pria itu tampak gusar dan berbalik. Tepat saat itu mata pria itu bertatapan dengan Adisti dan Felicia yang memandang padanya. Bagus sekali, Adisti dan Felicia seperti sedang menonton adegan syuting sinetron di pinggir jalan.

“Vernon!” Wanita itu memanggil.

“Aku ga ada waktu sekarang, Rima!” tegas pria itu.

Dengan kesal wanita itu juga menjauh, masuk ke dalam mobilnya. Segera mobil itu meluncur menjauh.

“Botolku!” Felicia melihat lagi ke jalan. Ada mobil lewat dan hampir meremukkan botol minum kesayangannya.

“Ya, sebentar!” Adisti menyahut.

Tidak sabar, Felicia sedikit berlari menuju ke tengah jalan ingin mengambil botol minumnya. Saat itu dari arah kiri muncul motor yang melaju cukup kencang!

“Cia!!” Dada Adisti berdegup kencang. Tubuhnya terasa gemetar tiba-tiba.

Motor itu begitu dekat dengan Felicia. Hanya beberapa senti meter, tubuh mungil itu pasti akan terlindas!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status