Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi.
Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu."Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu.Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan."Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya.Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect."Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih.Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat itu.Adisti segera memeluk Felicia sambil menangis. Hampir saja dia kehilangan putrinya. Untung pria itu sigap bergerak menyelamatkan Felicia. Adisti bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih."Kenapa kamu lari ke tengah jalan? Ibu takut sekali. Kamu hampir tertabrak motor." Adisti mengusap kening Felicia dan menyibakkan poninya."Botolku, Bu," kata Felicia lirih."Kalau botol kamu rusak, Ibu bisa belikan. Kalau kamu yang celaka ...." Adisti tidak melanjutkan kalimatnya. Hati masih terasa tidak karuan."Omnya suka marah, tapi baik." Felicia memandang Adisti."Ya, Omnya baik. Dia menyelamatkan kamu." Adisti kembali memeluk Felicia karena rasa syukur yang melimpah di hatinya."Ibu, kenapa aku ga punya ayah? Aku mau seperti anak lain." Felicia bicara lagi. Kalimat yang kembali membuat Adisti terkejut.Adisti melepaskan pelukannya. Dia mengusap pipi gadis kecil itu, tidak tahu harus menjawab apa."Kita pulang, ya? Ibu tidak mau terlambat ke kampus." Adisti menuntun Felicia dan mengajaknya pulang.Felicia manut. Namun, dia heran, kenapa ibu tidak menjawab yang dia tanyakan.Kembali di atas motor, kembali menyusuri jalanan, menuju rumah. Hati Adisti masih belum bisa tenang. Degupan kuat sesekali dia rasakan. Ditambah lagi pertanyaan Felicia. Ayah? Dia bertanya tentang ayahnya. Apa yang Adisti akan katakan? Adisti bahkan menanam dalam di hatinya, pria yang membuat dia mengandung Felicia sudah dia anggap mati.*****Tiba di rumah, tidak ada keceriaan dari Felicia seperti biasanya. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi botol minum dan tote bag yang dia bawa dari sekolah. Adisti duduk di sebelah Felicia, mengelus rambutnya yang halus dan harum."Masih kaget?" tanya Adisti.Gadis kecil itu mendongak. "Kenapa aku ga punya ayah?"Oh, tidak. Kenapa Felicia masih bicara soal itu? Mata Adisti menatap dua bola bulat bening milik Felicia."Sayang ...." Adisti memeluk putrinya erat. Bagaimana dia akan menjelaskan yang terjadi pada Felicia? Itu terlalu pedih. Bahkan buat Adisti, masih perih jika mengingat Felicia lahir karena hubungan yang salah."Ibu, semua temanku punya ayah. Wina tadi foto sama mama dan papanya. Ega sama Lio, mereka bisa jalan-jalan sama ayah dan ibunya. Kenapa aku ga punya ayah?" Sekali lagi Felicia mendesak.Adisti harus menjawab. Atau Felicia akan terus bertanya sampai dia mendapat jawaban dari pertanyaannya."Ayah Cia tidak ada. Tidak bisa sama-sama kita." Akhirnya Adisti mengeluarkan jawaban juga."Dia udah mati?" Dengan pandangan polos, Felicia bertanya."Hai! Kalian sudah pulang?" Dari pintu kamar terdengar suara Meity.Wanita itu masuk dan mendekati Felicia. "Nenek punya kolak. Mau coba?""Hm. Mau." Felicia mengangguk."Baiklah. Ganti baju dulu, lalu ikut Nenek ke dapur." Senyum Meity melebar."Ayo, Ibu bantu. Setelah itu Ibu berangkat, ya?" Adisti berdiri, dia mengambil pakaian rumah buat Felicia.Felicia dan Meity beranjak ke dapur, Adisti berangkat menuju ke kampus. Adisti berjuang agar bisa meneruskan studi, demi masa depannya dan Felicia. Meskipun bukan hal mudah, akhirnya Adisti bisa mendapat bea siswa. Setidaknya prestasinya saat SMA menjadi salah satu jalan baginya.Hati Adisti masih belum tenang. Jika biasanya dia penuh semangat mengikuti kulih di hari Jumat, kali ini hati Adisti galau. Pertanyaan Felicia, lebih tepatnya juga permintaannya, membuat Adisti berpikir.Ayah. Felicia menginginkan seorang ayah. Sama sekali tak terpikirkan oleh Adisti jika pertanyaan dan permintaan itu muncul dari putrinya. Selama ini, kasih sayangnya dan kasih sayang Meity, juga anak-anak kos yang tinggal dengan mereka, sangat besar buat Felicia. Tapi memang semua perempuan. Hampir tidak ada sentuhan pria ataupun figur ayah dalam diri Felicia."Ehm, muka manyun gitu. Napa?" Teman akrab Adisti datang, duduk di sebelahnya."Ernita ...." Adisti menoleh sebentar, lalu membuka laptopnya."Ga biasanya muka asem," ujar Ernita. Dia cermati wajah ayu Adisti. Oval, dengan rambut hitam lurus. Menarik. Sendainya dia lebih tinggi sedikit, cocok jadi model.Adisti mendekatkan wajah ke dekat telinga Ernita. "Cia pengin ayah.""Apa?" Sekonyong-konyong Ernita melotot, hampir menjatuhkan ponselnya."Itulah. Bingung aku." Adisti kembali melihat ke laptopnya dan membuka file untuk mata kuliah yang akan dia ikuti."Sudah, cari bapak sana buat dia. Gampang, kan?" Santai Ernita menjawab."Sial. Kamu pikir kayak mau beli gorengan, semudah itu." Adisti cemberut."Dis, yang suka kamu ga cuma satu, beberapa orang. Dan bukan kaleng-kaleng. Pada berkualitas. Karena kamu juga cerdas, menonjol, dan banyak potensi. Kenapa ga terima satu dari mereka?" Ernita memandang Adisti. Bicaranya masih santai, tapi dia serius."Kamu pikir, kalau mereka tahu latar belakangku, akan tertawa gembira? Aku bayangkan mereka kabur, melihat aku jijik, dan habis sudah diriku di mata mereka." Adisti menjawab dengan rasa getir."Adis ... masa lalu itu masa lalu. Kalau ga berani melangkah, mau kapan? Aku tinggal tunggu hari mau married. Kelar wisuda, langsung. Tunanganku ga sabaran." Ernita tersenyum sedikit terkekeh."Ga taulah, masih takut aku. Aku sudah bahagia selama ini. Hidup apa adanya, tapi ga kekurangan. Itu sudah cukup." Adisti mengangkat kedua bahunya."Pikirkan yang Cia minta. Sebelum dia makin besar dan harus mengerti semua yang dia perlu tahu. Paling penting, anak itu butuh kasih sayang ayah juga." Ernita menegaskan.Di pintu kelas, dosen masuk. Seorang pria lebih lima puluh tahun. Profesor yang disegani. Perhatian Adisti dan Ernita beralih, pembicaraan mereka pun usai. Mereka mulai fokus dengan kuliah yang segera berjalan. Hingga dua jam berlalu, selesai sudah dosen memaparkan materi kepada orang-orang muda di kelas itu.Adisti dan Ernita keluar ruangan. Mereka rencana menuju ke perpustakaan, tapi di tengah jalan, Ernita dijemput kekasihnya."Sorry, aku harus duluan. Ga apa, ya? Minggu depan kita ketemu di kantin, seperti biasa." Ernita melambai, lalu segera dia mendekati kekasihnya.Adisti memperhatikan motor hitam itu perlahan meninggalkan kampus. Adisti meneruskan langkah, ke perpustakaan. Sesekali telinganya seolah mendengar Felicia meneriakkan kalimat yang membuta hatinya ciut."Aku mau ayah!""Cia ... kalau kamu minta boneka atau baju baru, aku cepat beli. Biar yang murah juga, bisa. Yang satu ini. Ah ...," gumam Adisti dengan hati resah.Sampai di perpustakaan. Di tembok depan dekat pintu, ada papan pengumuman. Adisti tertarik melihat ke sana. Siapa tahu ada berita menarik. Pengumuman kegiatan, lomba-lomba di kampus, dan lowongan pekerjaan."Wow, sepertinya pekerjaan ini bagus." Adisti lebih detil membaca syarat yang ada di lowongan itu."Kamu tertarik dengan pekerjaan itu?"Suara itu membuat Adisti menoleh cepat mencari siapa yang berbicara."Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang. "Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti. "Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya. "Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani. "Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu. "Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti. "Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya. "Temui aku dua
Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi. "Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya. Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara. "Mbak, mau ke mana?" Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu. "Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruan
Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist
"Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A
Dengan tergesa Adisti berjalan, bahkan sedikit berlari keluar ruangannya. Ternyata di ruang sebelah, yang memang lebih luas, ada tiga karyawan lagi, dua laki-laki dan satu perempuan. Adisti mengangguk sambil tersenyum pada mereka, tapi kakinya terus berjalan menuju ke ruangan direktur. "Jadi Pak Vernon itu direktur di sini? Astaga. Aku harus tahu menjaga diri di depannya. Kalau sampai salah bertindak bisa didepak aku." Hati Adisti berbicara. Di depan kantor direktur, Adisti berhenti. Dia memperhatikan penampilannya. Pakaiannya rapi. Berkas di tangannya aman. "Oke, siap bergerak," ujar Adisti. Tangannya mengetuk pintu tiga kali. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Adisti membuka pintu dan melihat ke dalam ruangan. Kantor itu cukup luas jika dihitung yang menempati hanya satu orang. Di dekat pintu ada meja dan sofa kecil. Sedikit ke belakang terletak meja kerja lenglap dengan kursinya. Rak menempel di dinding paling ujung. Sebelah kanan ada satu pintu lagi. Adisti menduga itu
"Maksud Kak Henny gimana, ya?" Dengan tatapan berubah kaget dan bingung Adisti melihat pada Hanny. "Haa ... haa ...." Hanny tidak menjawab malah ngakak selebar-lebarnya. "Cantik, jangan terlalu jauh mikirnya!" Adisti kembali duduk, sambil terus memperhatikan Hanny. "Pak Bos itu memang tampan, keren, mempesona, dan aduhai." Hanny melanjutkan. "Tapi bukan berarti dia itu pria mesum, kalau itu yang kamu pikir, Sayang." Mendengar ucapan Hanny, Adisti sedikit lega. Walaupun dalam hati dia berseru, "Woi, ga mesum tapi main seru-seruan terus kalau ketemu ceweknya!" "Dia itu tipe pria setia. Emang sih, kadang rada hot sama Bu Rima. Tapi ya sama pasangannya aja. Dia baik sama semua, super baik kadang. Makanya itu calon istrinya suka heboh kayak cacing kepanasan kalau Pak Vernon dikit perhatian sama karyawan wanita." Adisti menggembungkan pipinya dan sekaligus menaikkan alisnya. Seketika dia ingat saat pertama melihat Vernon dan Rima di tepi jalan kapan hari. Sangat mungkin pertengkaran me