Share

Bab 4. Seperti Anak yang Lain

Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi.

Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu.

"Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu.

Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan.

"Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya.

Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect.

"Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih.

Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat itu.

Adisti segera memeluk Felicia sambil menangis. Hampir saja dia kehilangan putrinya. Untung pria itu sigap bergerak menyelamatkan Felicia. Adisti bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.

"Kenapa kamu lari ke tengah jalan? Ibu takut sekali. Kamu hampir tertabrak motor." Adisti mengusap kening Felicia dan menyibakkan poninya.

"Botolku, Bu," kata Felicia lirih.

"Kalau botol kamu rusak, Ibu bisa belikan. Kalau kamu yang celaka ...." Adisti tidak melanjutkan kalimatnya. Hati masih terasa tidak karuan.

"Omnya suka marah, tapi baik." Felicia memandang Adisti.

"Ya, Omnya baik. Dia menyelamatkan kamu." Adisti kembali memeluk Felicia karena rasa syukur yang melimpah di hatinya.

"Ibu, kenapa aku ga punya ayah? Aku mau seperti anak lain." Felicia bicara lagi. Kalimat yang kembali membuat Adisti terkejut.

Adisti melepaskan pelukannya. Dia mengusap pipi gadis kecil itu, tidak tahu harus menjawab apa.

"Kita pulang, ya? Ibu tidak mau terlambat ke kampus." Adisti menuntun Felicia dan mengajaknya pulang.

Felicia manut. Namun, dia heran, kenapa ibu tidak menjawab yang dia tanyakan.

Kembali di atas motor, kembali menyusuri jalanan, menuju rumah. Hati Adisti masih belum bisa tenang. Degupan kuat sesekali dia rasakan. Ditambah lagi pertanyaan Felicia. Ayah? Dia bertanya tentang ayahnya. Apa yang Adisti akan katakan? Adisti bahkan menanam dalam di hatinya, pria yang membuat dia mengandung Felicia sudah dia anggap mati.

*****

Tiba di rumah, tidak ada keceriaan dari Felicia seperti biasanya. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi botol minum dan tote bag yang dia bawa dari sekolah. Adisti duduk di sebelah Felicia, mengelus rambutnya yang halus dan harum.

"Masih kaget?" tanya Adisti.

Gadis kecil itu mendongak. "Kenapa aku ga punya ayah?"

Oh, tidak. Kenapa Felicia masih bicara soal itu? Mata Adisti menatap dua bola bulat bening milik Felicia.

"Sayang ...." Adisti memeluk putrinya erat. Bagaimana dia akan menjelaskan yang terjadi pada Felicia? Itu terlalu pedih. Bahkan buat Adisti, masih perih jika mengingat Felicia lahir karena hubungan yang salah.

"Ibu, semua temanku punya ayah. Wina tadi foto sama mama dan papanya. Ega sama Lio, mereka bisa jalan-jalan sama ayah dan ibunya. Kenapa aku ga punya ayah?" Sekali lagi Felicia mendesak.

Adisti harus menjawab. Atau Felicia akan terus bertanya sampai dia mendapat jawaban dari pertanyaannya.

"Ayah Cia tidak ada. Tidak bisa sama-sama kita." Akhirnya Adisti mengeluarkan jawaban juga.

"Dia udah mati?" Dengan pandangan polos, Felicia bertanya.

"Hai! Kalian sudah pulang?" Dari pintu kamar terdengar suara Meity.

Wanita itu masuk dan mendekati Felicia. "Nenek punya kolak. Mau coba?"

"Hm. Mau." Felicia mengangguk.

"Baiklah. Ganti baju dulu, lalu ikut Nenek ke dapur." Senyum Meity melebar.

"Ayo, Ibu bantu. Setelah itu Ibu berangkat, ya?" Adisti berdiri, dia mengambil pakaian rumah buat Felicia.

Felicia dan Meity beranjak ke dapur, Adisti berangkat menuju ke kampus. Adisti berjuang agar bisa meneruskan studi, demi masa depannya dan Felicia. Meskipun bukan hal mudah, akhirnya Adisti bisa mendapat bea siswa. Setidaknya prestasinya saat SMA menjadi salah satu jalan baginya.

Hati Adisti masih belum tenang. Jika biasanya dia penuh semangat mengikuti kulih di hari Jumat, kali ini hati Adisti galau. Pertanyaan Felicia, lebih tepatnya juga permintaannya, membuat Adisti berpikir.

Ayah. Felicia menginginkan seorang ayah. Sama sekali tak terpikirkan oleh Adisti jika pertanyaan dan permintaan itu muncul dari putrinya. Selama ini, kasih sayangnya dan kasih sayang Meity, juga anak-anak kos yang tinggal dengan mereka, sangat besar buat Felicia. Tapi memang semua perempuan. Hampir tidak ada sentuhan pria ataupun figur ayah dalam diri Felicia.

"Ehm, muka manyun gitu. Napa?" Teman akrab Adisti datang, duduk di sebelahnya.

"Ernita ...." Adisti menoleh sebentar, lalu membuka laptopnya.

"Ga biasanya muka asem," ujar Ernita. Dia cermati wajah ayu Adisti. Oval, dengan rambut hitam lurus. Menarik. Sendainya dia lebih tinggi sedikit, cocok jadi model.

Adisti mendekatkan wajah ke dekat telinga Ernita. "Cia pengin ayah."

"Apa?" Sekonyong-konyong Ernita melotot, hampir menjatuhkan ponselnya.

"Itulah. Bingung aku." Adisti kembali melihat ke laptopnya dan membuka file untuk mata kuliah yang akan dia ikuti.

"Sudah, cari bapak sana buat dia. Gampang, kan?" Santai Ernita menjawab.

"Sial. Kamu pikir kayak mau beli gorengan, semudah itu." Adisti cemberut.

"Dis, yang suka kamu ga cuma satu, beberapa orang. Dan bukan kaleng-kaleng. Pada berkualitas. Karena kamu juga cerdas, menonjol, dan banyak potensi. Kenapa ga terima satu dari mereka?" Ernita memandang Adisti. Bicaranya masih santai, tapi dia serius.

"Kamu pikir, kalau mereka tahu latar belakangku, akan tertawa gembira? Aku bayangkan mereka kabur, melihat aku jijik, dan habis sudah diriku di mata mereka." Adisti menjawab dengan rasa getir.

"Adis ... masa lalu itu masa lalu. Kalau ga berani melangkah, mau kapan? Aku tinggal tunggu hari mau married. Kelar wisuda, langsung. Tunanganku ga sabaran." Ernita tersenyum sedikit terkekeh.

"Ga taulah, masih takut aku. Aku sudah bahagia selama ini. Hidup apa adanya, tapi ga kekurangan. Itu sudah cukup." Adisti mengangkat kedua bahunya.

"Pikirkan yang Cia minta. Sebelum dia makin besar dan harus mengerti semua yang dia perlu tahu. Paling penting, anak itu butuh kasih sayang ayah juga." Ernita menegaskan.

Di pintu kelas, dosen masuk. Seorang pria lebih lima puluh tahun. Profesor yang disegani. Perhatian Adisti dan Ernita beralih, pembicaraan mereka pun usai. Mereka mulai fokus dengan kuliah yang segera berjalan. Hingga dua jam berlalu, selesai sudah dosen memaparkan materi kepada orang-orang muda di kelas itu.

Adisti dan Ernita keluar ruangan. Mereka rencana menuju ke perpustakaan, tapi di tengah jalan, Ernita dijemput kekasihnya.

"Sorry, aku harus duluan. Ga apa, ya? Minggu depan kita ketemu di kantin, seperti biasa." Ernita melambai, lalu segera dia mendekati kekasihnya.

Adisti memperhatikan motor hitam itu perlahan meninggalkan kampus. Adisti meneruskan langkah, ke perpustakaan. Sesekali telinganya seolah mendengar Felicia meneriakkan kalimat yang membuta hatinya ciut.

"Aku mau ayah!"

"Cia ... kalau kamu minta boneka atau baju baru, aku cepat beli. Biar yang murah juga, bisa. Yang satu ini. Ah ...," gumam Adisti dengan hati resah.

Sampai di perpustakaan. Di tembok depan dekat pintu, ada papan pengumuman. Adisti tertarik melihat ke sana. Siapa tahu ada berita menarik. Pengumuman kegiatan, lomba-lomba di kampus, dan lowongan pekerjaan.

"Wow, sepertinya pekerjaan ini bagus." Adisti lebih detil membaca syarat yang ada di lowongan itu.

"Kamu tertarik dengan pekerjaan itu?"

Suara itu membuat Adisti menoleh cepat mencari siapa yang berbicara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status