Share

Bab 5. Pria Tampan Itu

"Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang.

"Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti.

"Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya.

"Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani.

"Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu.

"Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti.

"Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya.

"Temui aku dua hari lagi. Surat rekomendasi buat kamu siap." Prof. Hamdani kembali tersenyum, lalu melangkah masuk ke dalam perpustakaan.

"Ah, hari mujur banget buat aku. Bekerja di perusahaan lumayan besar, yang terus berkembang. Seandainya aku diterima ...." Adisti membayangkan yang akan dia lakukan. Membeli pakaian dan sepatu buat Felicia. Membelikan makanan yang selama ini gadis kecil itu inginkan. Juga, menabung persiapan dia nanti akan ke SD.

Adisti jadi bersemangat. Segera dia masuk ke dalam perpustakaan, mengambil beberapa buku dan memulai mengerjakan tugasnya. Tidak bisa dia tunda-tunda. Ada sesuatu yang baru yang menunggu di depan.

*****

"Mengangguk-angguk sambil berseru .... tri lili ... lili ... lili ... lili ...."

"Heiii!!" Meity bertepuk tangan senang sambil memandang Felicia yang baru menyelsaikan lagu yang dia nyanyikan.

"Pintarnya cucu Nenek. Suaranya pun merdu. Hmm ... anak hebat!" Meity memeluk Felicia dengan senyum lebar.

"Halo!" Adisti menyapa dari pintu rumah. Dia memperhatikan Meity dan Felicia yang asyik di ruang tengah.

"Ibu! Bawa apa?" tanya Felicia. Selalu, pasti Felicia akan bertanya oleh-oleh.

"Hmm, Ibu bawa sesuatu tidak, ya?" Adisti menurunkan tasnya.

"Ada, dong. Ayo! Aku mau, Bu!" Dengan semangat Felicia berdiri di depan ibunya.

Adisti mengeluarkan mangkuk plastik dari dalam tasnya. Dia sodorkan di depan Felicia.

"Puding coklat vanila." Adisti tersenyum.

"Asyik!!" Dengan riang Felicia menerimanya. Lalu dia berlari menuju ke kamar di lantai atas.

"Pasti dia mau bagi sama Kiki." Meity memperhatikan gadis kecil itu naik di tangga.

Adisti menutup lagi resleting tasnya, tapi tidak beranjak. Dia duduk di sebelah Meity.

"Bu, aku ada tawaran pekerjaan bagus. Dosen seniorku mau kasih rekomendasi." Adisti bercerita pada Meity. Sebab bagaimanapun jika dia semakin sibuk, Felicia akan lebih sering dia tinggal. Meity yang akan menemani putrinya di rumah.

"Oya? Bagus itu, Disti." Meity tersenyum.

"Nanti aku akan lebih sibuk, Bu. Lebih sering tidak di rumah ...."

"Jangan khawatir soal Cia. Dia aman di rumah," sahut Meity. "Sudah waktunya kamu meluaskan kapasitasmu. Masak bantu jaga kos-kosan, bantu bikin kue buat pesanan yang ga seberapa itu, dan sesekali menggambar buat orang? Kamu bisa lakukan yang lebih dari itu, Nak," ucap Meity.

"Ibu ...." Adisti memeluk pinggang Meity. "Aku terlalu banyak berutang dan merepotkan Ibu. Maafkan aku."

"Hei, bicara apa? Bosan aku dengar itu. Bertemu kamu dan Cia justru aku yang dapat berkat. Andai putriku masih hidup, usianya ga jauh beda denganmu." Meity mengelus pundak Adisti.

"Aku memang kemudian bertemu pria baik, lalu menikah ...." Meity melanjutkan. "... ternyata Tuhan ga nitipin seorang anakpun sama aku. Sampai suamiku meninggal, aku kembali sendirian. Kamu tahu yang kupikir, mungkin saja Tuhan menghukum aku, menutup rahimku karena dosaku di masa lalu."

"Ah, Ibu ... mana bisa begitu?" ujar Adisti dengan kepala menempel di pundak Meity.

"Ya, aku tahu pikiranku salah. Aku bersyukur akhirnya Tuhan kirim kamu dan Cia di hidupku," tambah Meity.

"Cuma ...." Adisti ingat permintaan Felicia. "... Cia ingin punya ayah, Bu."

"Hmm ...," gumam Meity. "Itu wajar. Dan dia nanti akan bertanya lagi. Kenapa kamu siapkan dirimu untuk seorang pria?"

"Ibu ... Mana ada yang mau sama wanita kayak aku? Kalau mereka tahu aku punya anak tanpa suami ...."

"Itu pikiranmu saja, Disti. Semua orang punya kekurangan, pernah gagal dan melakukan kesalahan. Tapi yang kita jalani itu hari ini menuju masa depan. Masa lalu sudah jauh, makin jauh di belakang." Meity menasihati Adisti.

"Entahlah, Bu. Aku masih takut," kata Adisti.

"Pikirkan kata-kataku. Sekarang mandi sana, lalu ajak Cia makan," ucap Meity dan melepas pelukannya.

"Baiklah." Adisti berjalan menuju ke kamarnya. Hatinya kembali bergelut. Tentang semua yang dia hadapi.

*****

Adisti masuk ke kantor besar di depannya. Kantor dengan tujuh lantai yang megah dan indah. Dia sudah mengirimkan berkas untuk melamar pekerjaan via email. Tidak diduga belum satu minggu Adisti dipanggil untuk melakukan wawancara. Antara senang tapi juga gugup, Adisti masuk menemui pegawai front office dan menyampaikan tujuannya datang.

Pegawai yang lumayan cantik itu memberitahu di ruangan mana Adisti akan melakukan wawancara. Setelah mengucapkan terima kasih, Adisti menuju ke lift, dia harus ke lantai lima. Ruangan yang dia tuju ada di sebelah ruangan direktur.

Makin ke atas, makin dag dig dug dada Adisti. Apa yang akan ditanyakan nanti? Jika ternyata dia mengacaukan wawancara, lalu tidak diterima, bagaimana? Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Namun, Adisti mencoba menenangkan diri. Dia menarik nafas panjang beberapa kali, mengembuskan nafas juga beberapa kali, berharap ketegangan yang dia rasa segera berlalu.

Cling! Pintu lift terbuka.

"Finally," gumam Adisti. Dia melangkah keluar lift dan mencari ruangan yang dimaksud pegawai front office itu.

Ruangan pertama yang dia temui ruangan besar. Ada tulisan terpampang di atas pintu. Meeting Room. Adisti melangkah lagi dan tampak ruangan direktur. Ah, dia hampir sampai. Ruangan untuk wawancara ada di sebelahnya lagi.

Tapi bukan ruangan yang ada. Jalan menuju ruangan lain. Lalu, di mana ruangan yang harus Adisti datangi? Apa dia salah lantai? Rasanya tidak.

Tidak ada orang juga di kantor sebesar ini. Adisti bukan juga salah hari untuk datang, kan? Adisti memutuskan berbelok di lorong, mencari ruangan yang dia tuju. Terdengar suara tawa kecil dari seorang wanita di sana. Cepat-cepat Adisti berjalan, ingin bertanya ruangan mana yang harus dia datangi.

"Ahh, haa ...." Terdengar lagi tawa itu. "It is nice, Honey."

Seketika Adisti tercengang. Matanya terbelalak, tangannya refleks menutup mulutnya karena terkejut melihat pemandangan di depannya. Wanita yang dia dengar tawanya itu, sedang memeluk seorang pria. Dan pria itu ... Pria tampan itu ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status