"Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang.
"Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti."Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya."Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani."Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu."Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti."Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya."Temui aku dua hari lagi. Surat rekomendasi buat kamu siap." Prof. Hamdani kembali tersenyum, lalu melangkah masuk ke dalam perpustakaan."Ah, hari mujur banget buat aku. Bekerja di perusahaan lumayan besar, yang terus berkembang. Seandainya aku diterima ...." Adisti membayangkan yang akan dia lakukan. Membeli pakaian dan sepatu buat Felicia. Membelikan makanan yang selama ini gadis kecil itu inginkan. Juga, menabung persiapan dia nanti akan ke SD.Adisti jadi bersemangat. Segera dia masuk ke dalam perpustakaan, mengambil beberapa buku dan memulai mengerjakan tugasnya. Tidak bisa dia tunda-tunda. Ada sesuatu yang baru yang menunggu di depan.*****"Mengangguk-angguk sambil berseru .... tri lili ... lili ... lili ... lili ....""Heiii!!" Meity bertepuk tangan senang sambil memandang Felicia yang baru menyelsaikan lagu yang dia nyanyikan."Pintarnya cucu Nenek. Suaranya pun merdu. Hmm ... anak hebat!" Meity memeluk Felicia dengan senyum lebar."Halo!" Adisti menyapa dari pintu rumah. Dia memperhatikan Meity dan Felicia yang asyik di ruang tengah."Ibu! Bawa apa?" tanya Felicia. Selalu, pasti Felicia akan bertanya oleh-oleh."Hmm, Ibu bawa sesuatu tidak, ya?" Adisti menurunkan tasnya."Ada, dong. Ayo! Aku mau, Bu!" Dengan semangat Felicia berdiri di depan ibunya.Adisti mengeluarkan mangkuk plastik dari dalam tasnya. Dia sodorkan di depan Felicia."Puding coklat vanila." Adisti tersenyum."Asyik!!" Dengan riang Felicia menerimanya. Lalu dia berlari menuju ke kamar di lantai atas."Pasti dia mau bagi sama Kiki." Meity memperhatikan gadis kecil itu naik di tangga.Adisti menutup lagi resleting tasnya, tapi tidak beranjak. Dia duduk di sebelah Meity."Bu, aku ada tawaran pekerjaan bagus. Dosen seniorku mau kasih rekomendasi." Adisti bercerita pada Meity. Sebab bagaimanapun jika dia semakin sibuk, Felicia akan lebih sering dia tinggal. Meity yang akan menemani putrinya di rumah."Oya? Bagus itu, Disti." Meity tersenyum."Nanti aku akan lebih sibuk, Bu. Lebih sering tidak di rumah ....""Jangan khawatir soal Cia. Dia aman di rumah," sahut Meity. "Sudah waktunya kamu meluaskan kapasitasmu. Masak bantu jaga kos-kosan, bantu bikin kue buat pesanan yang ga seberapa itu, dan sesekali menggambar buat orang? Kamu bisa lakukan yang lebih dari itu, Nak," ucap Meity."Ibu ...." Adisti memeluk pinggang Meity. "Aku terlalu banyak berutang dan merepotkan Ibu. Maafkan aku.""Hei, bicara apa? Bosan aku dengar itu. Bertemu kamu dan Cia justru aku yang dapat berkat. Andai putriku masih hidup, usianya ga jauh beda denganmu." Meity mengelus pundak Adisti."Aku memang kemudian bertemu pria baik, lalu menikah ...." Meity melanjutkan. "... ternyata Tuhan ga nitipin seorang anakpun sama aku. Sampai suamiku meninggal, aku kembali sendirian. Kamu tahu yang kupikir, mungkin saja Tuhan menghukum aku, menutup rahimku karena dosaku di masa lalu.""Ah, Ibu ... mana bisa begitu?" ujar Adisti dengan kepala menempel di pundak Meity."Ya, aku tahu pikiranku salah. Aku bersyukur akhirnya Tuhan kirim kamu dan Cia di hidupku," tambah Meity."Cuma ...." Adisti ingat permintaan Felicia. "... Cia ingin punya ayah, Bu.""Hmm ...," gumam Meity. "Itu wajar. Dan dia nanti akan bertanya lagi. Kenapa kamu siapkan dirimu untuk seorang pria?""Ibu ... Mana ada yang mau sama wanita kayak aku? Kalau mereka tahu aku punya anak tanpa suami ....""Itu pikiranmu saja, Disti. Semua orang punya kekurangan, pernah gagal dan melakukan kesalahan. Tapi yang kita jalani itu hari ini menuju masa depan. Masa lalu sudah jauh, makin jauh di belakang." Meity menasihati Adisti."Entahlah, Bu. Aku masih takut," kata Adisti."Pikirkan kata-kataku. Sekarang mandi sana, lalu ajak Cia makan," ucap Meity dan melepas pelukannya."Baiklah." Adisti berjalan menuju ke kamarnya. Hatinya kembali bergelut. Tentang semua yang dia hadapi.*****Adisti masuk ke kantor besar di depannya. Kantor dengan tujuh lantai yang megah dan indah. Dia sudah mengirimkan berkas untuk melamar pekerjaan via email. Tidak diduga belum satu minggu Adisti dipanggil untuk melakukan wawancara. Antara senang tapi juga gugup, Adisti masuk menemui pegawai front office dan menyampaikan tujuannya datang.Pegawai yang lumayan cantik itu memberitahu di ruangan mana Adisti akan melakukan wawancara. Setelah mengucapkan terima kasih, Adisti menuju ke lift, dia harus ke lantai lima. Ruangan yang dia tuju ada di sebelah ruangan direktur.Makin ke atas, makin dag dig dug dada Adisti. Apa yang akan ditanyakan nanti? Jika ternyata dia mengacaukan wawancara, lalu tidak diterima, bagaimana? Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Namun, Adisti mencoba menenangkan diri. Dia menarik nafas panjang beberapa kali, mengembuskan nafas juga beberapa kali, berharap ketegangan yang dia rasa segera berlalu.Cling! Pintu lift terbuka."Finally," gumam Adisti. Dia melangkah keluar lift dan mencari ruangan yang dimaksud pegawai front office itu.Ruangan pertama yang dia temui ruangan besar. Ada tulisan terpampang di atas pintu. Meeting Room. Adisti melangkah lagi dan tampak ruangan direktur. Ah, dia hampir sampai. Ruangan untuk wawancara ada di sebelahnya lagi.Tapi bukan ruangan yang ada. Jalan menuju ruangan lain. Lalu, di mana ruangan yang harus Adisti datangi? Apa dia salah lantai? Rasanya tidak.Tidak ada orang juga di kantor sebesar ini. Adisti bukan juga salah hari untuk datang, kan? Adisti memutuskan berbelok di lorong, mencari ruangan yang dia tuju. Terdengar suara tawa kecil dari seorang wanita di sana. Cepat-cepat Adisti berjalan, ingin bertanya ruangan mana yang harus dia datangi."Ahh, haa ...." Terdengar lagi tawa itu. "It is nice, Honey."Seketika Adisti tercengang. Matanya terbelalak, tangannya refleks menutup mulutnya karena terkejut melihat pemandangan di depannya. Wanita yang dia dengar tawanya itu, sedang memeluk seorang pria. Dan pria itu ... Pria tampan itu ....Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi. "Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya. Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara. "Mbak, mau ke mana?" Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu. "Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruan
Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist
"Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A
Dengan tergesa Adisti berjalan, bahkan sedikit berlari keluar ruangannya. Ternyata di ruang sebelah, yang memang lebih luas, ada tiga karyawan lagi, dua laki-laki dan satu perempuan. Adisti mengangguk sambil tersenyum pada mereka, tapi kakinya terus berjalan menuju ke ruangan direktur. "Jadi Pak Vernon itu direktur di sini? Astaga. Aku harus tahu menjaga diri di depannya. Kalau sampai salah bertindak bisa didepak aku." Hati Adisti berbicara. Di depan kantor direktur, Adisti berhenti. Dia memperhatikan penampilannya. Pakaiannya rapi. Berkas di tangannya aman. "Oke, siap bergerak," ujar Adisti. Tangannya mengetuk pintu tiga kali. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Adisti membuka pintu dan melihat ke dalam ruangan. Kantor itu cukup luas jika dihitung yang menempati hanya satu orang. Di dekat pintu ada meja dan sofa kecil. Sedikit ke belakang terletak meja kerja lenglap dengan kursinya. Rak menempel di dinding paling ujung. Sebelah kanan ada satu pintu lagi. Adisti menduga itu
"Maksud Kak Henny gimana, ya?" Dengan tatapan berubah kaget dan bingung Adisti melihat pada Hanny. "Haa ... haa ...." Hanny tidak menjawab malah ngakak selebar-lebarnya. "Cantik, jangan terlalu jauh mikirnya!" Adisti kembali duduk, sambil terus memperhatikan Hanny. "Pak Bos itu memang tampan, keren, mempesona, dan aduhai." Hanny melanjutkan. "Tapi bukan berarti dia itu pria mesum, kalau itu yang kamu pikir, Sayang." Mendengar ucapan Hanny, Adisti sedikit lega. Walaupun dalam hati dia berseru, "Woi, ga mesum tapi main seru-seruan terus kalau ketemu ceweknya!" "Dia itu tipe pria setia. Emang sih, kadang rada hot sama Bu Rima. Tapi ya sama pasangannya aja. Dia baik sama semua, super baik kadang. Makanya itu calon istrinya suka heboh kayak cacing kepanasan kalau Pak Vernon dikit perhatian sama karyawan wanita." Adisti menggembungkan pipinya dan sekaligus menaikkan alisnya. Seketika dia ingat saat pertama melihat Vernon dan Rima di tepi jalan kapan hari. Sangat mungkin pertengkaran me
Adisti hanya melongo, tidak percaya yang dia dengar. "Adisti cahaya matahari!" Panggilan itu terdengar keras. Adisti mengerjap-erjap lalu mengembalikan kesadaran. "Tidak apa, Pak. Saya pesan ojek online saja." Adisti segera mengeluarkan ponsel dan mencari aplikasi transportasi online yang dia simpan. "Yakin?" Vernon menatap Adisti. "Iya, terima kasih." Adisti melebarkan bibirnya. Lalu kembali sibuk dengan ponsel di tangan. Vernon memperhatikan Adisti, lalu melihat ke atas, ke langit melalui kaca jendela mobilnya. "Adis, hujan turun. Sampai kampus basah ga lucu, kali." Vernon bicara dengan tenangnya. "Ah, itu ...." Adisti mengangkat kepalanya. Aneh juga langit tiba-tiba mulai gelap. "Mendung tidak berarti hujan, Pak." Dada Adisti berdebaran tiba-tiba. "Haa ...!! Kamu malah berpuisi! Baiklah, terserah kalau menolak sebuah pertolongan." Vernon mengangkat bahu. Kaca jendela mobil kembali naik dan tertutup. Adisti balik memelototi ponsel. Belum sampai dia benar-benar memes