Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi.
"Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya.Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara."Mbak, mau ke mana?"Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu."Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruangannya." Adisti menjelaskan."Oh, ayo ikut aku. Kupikir kamu tidak jadi datang." Pria itu berjalan mendahului Adisti."Baik, Pak." Adisti mengikuti pria itu. Dadanya kembali berdetak cepat. Dia kuatir akan bertemu lagi dengan pria dan wanita tadi.Pikiran Adisti berputar. Pria itu ada di kantor megah yang Adisti tuju. Berarti dia juga bekerja di sini. Wanita itu juga? Kenapa mereka bisa tidak sengaja bertemu lagi? Dunia ternyata memang tidak seluas kelihatannya.Pria berkacamata itu berbelok ke sisi lain, bukan ke lorong yang Adisti ikuti. Adisti lega. Rupanya memang dia salah arah."Masuklah. Dan silakan duduk." Pria berkacamata itu bicara dengan nada datar."Baik, terima kasih." Adisti maju beberapa langkah dan duduk di kursi yang ditunjuk pria itu. Sedang pria itu menempati kursi di balik meja di depan Adisti."Namaku Cahyo. Aku kepala HRD di kantor ini. Aku sudah mempelajari dokumen yangg kamu kirimkan. Cukup menarik, meskipun pengalaman kamu sangat minim di dalam dunia kerja." Tanpa basa basi pria itu bicara. Terasa kaku suasana di ruang itu.Adisti tidak tahu harus bersikap seperti apa dan memberi respon bagaimana. Dia memandang lurus pada Cahyo."Siapa namamu? Nama lengkap kamu?" Cahyo bertanya dengan mata tajam pada Adisti.Debaran jantung Adisti makin meraja. Rasanya dia seperti akan dihakimi saja. Adisti menelan ludahnya, menguatkan diri agar tidak makin gugup."Namaku Adisti Kayshilla Dewina, Pak.""Nama yang cantik." Cahyo berkata tetap dengan nada datar."Terima kasih." Adisti mengangguk."Dengan pengalaman minim, kamu berani melamar di kantor ini. Apa karena mengandalkan rekomendasi profesor kamu?" Pertanyaan berikutnya langsung seperti membanting Adisti."Saya akan bekerja dengan sangat baik, Pak. Saya bisa belajar dengan cepat, dan memenuhi target yang diberikan." Meskipun dalam hati tidak karuan, Adisti berusaha tetap tenang menjawab Cahyo.Cahyo melirik Adisti."Duh, baru juga wawancara, sudah ga nyaman banget. Ini bapak kayak mau nelan orang. Seperti apa suasana kerja nanti, ya?" batin Adisti.Cahyo mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang kemampuan Adisti. Untungnya, Adisti pernah beberapa kali menjadi panitia event besar kampus. Lalu dia magangg juga di sebuah kantor yang relatif kecil tetapi yang dia kerjakan masih selaras dengan yang akan dia lakukan di kantor itu.Tatapan tajam Cahyo belum berkurang. Dia sudah menyimpan semua jawaban Adisti. Namun, masih ada satu yang harus dilakukan."Ikut aku. Ini bagian terakhir dari sesi wawancara. Dan cukup menentukan menjadi pertimbangan kamu diterima atau tidak." Cahyo berdiri.Dengan gaya kaku, yang tampaknya jadi ciri khas pria itu, dia melangkah. Baru beberapa langkah, dia menabrak pinggir meja."Auhh!" Refleks Cahyo setengah berteriak.Adisti cepat-cepat menutup mulut. Dia bisa membayangkan sakit yang Cahyo rasakan. Ingin tertawa, tapi takut dosa.Cahyo dengan cepat menegakkan badan dan kembali meneruskan langkahnya. Adisti mengikuti pria itu. Sesekali tersenyum mengingat kejadian tadi. Biarpun sok jaim, ternyata Cahyo bisa bertingkah lucu juga.Cahyo membawa Adisti ke ruang yang luas di lantai empat. Di sana banyak pegawai sedang sibuk dengan pekerjaan mereka."Nona Adisti, kemarilah." Cahyo memanggil.Pria itu berdiri di sebelah pegawai wanita yang Adisti perkiraan berusia tiga puluhan tahun. Dia memandang pada Adisti dengan wajah tersenyum. Ramah. Ah, akhirnya ada yang sedikit bisa mencairkan ketegangan hari itu."Ini Syeilla. Dia akan memberimu pekerjaan sebagai test terakhir. Dan kamu wajib berkomunikasi dengannya dalam bahasa Inggris. Understand?" Tatapan kaku dan datar lagi, menghujam mata Adisti."Yes, ready, Sir." Cepat Adisti menyahut.Cahyo meninggalkan Adisti bersama Syeilla. Wanita dengan postur agak gemuk, tetapi penampilannya modis dan manis itu memang ramah. Jauh berbeda dengan Cahyo. Adisti dengan segera merasa nyaman bersama Syeilla.Hingga hampir satu jam, selesai sudah dengan Syeilla. Wanita itu menghubungi Cahyo menyampaikan hasil kerja Adisti. Adisti tidak tahu apa yang akan diputuskan."Pak Cahyo ada meeting dengan jajaran pimpinan. Dia bilang kamu bisa pulang saja. Nanti dia akan hubungi kamu." Syeilla menjelaskan."Baik, Bu. Terima kasih banyak. Saya permisi." Adisti pamitan."Sampai ketemu lagi, Adisti." Senyum ramah Syeilla kembali muncul.Adisti meninggalkan kantor itu. Sampai di lobby bawah, Adisti melihat wanita yang bersama pria tampan itu. Tapi tidak terlihat kekasihnya ada di sekitar situ."Ah, yeah, Honey. Aku segera meluncur. Ga sabar ketemu kamu. Miss you too." Terdengar wanita itu bicara di telpon. Cukup keras hingga tertangkap jelas di telinga Adisti.Wanita itu cantik dan modis. Bak model ibukota. Tapi Adisti merasa dia arogan dan cuek dengan sekitarnya. Benar saja, tanpa melihat kiri dan kanan, wanita itu segera berlalu dari lobby, keluar kantor."Itu perempuan, saking aja anak horang kaya. Kalau nggak, mana bisa bertingkah."Adisti menoleh mendengar suara itu. Dua pegawai di front office tampaknya sedang bicara."Iya. Aku heran, Pak Vernon bisa cinta sama dia. Ngeliat apa, sih? Cantik juga polesan. Masih mending aku, kan? Kalau aku anak sultan, kali Pak Vernon ngelirik aku, ya," ujar yang satu."Ngehalu! Kejauhan lagi, haa ...." Temannya tertawa lebar mendengar kata-kata itu.Adisti beranjak perlahan keluar kantor itu. Nama itu, Vernon, Adisti masih ingat, nama yang disebut wanita cantik itu saat bertengkar di pinggir jalan. Nama yang bagus dan jarang terdengar. Bahkan Adisti yakin, baru kali itu dia bertemu pria dengan nama Vernon. Tampan, tampak berkelas, dan keren."Tapi kelakuan, astaga ...." batin Adisti. Kembali ingatannya melaju saat menemukan Vernon dengan kekasihnya. "Di kantor, masih sempat kayak gitu. Ga bisa tunggu sampai pulang kerja? Terlalu."Di depan kantor. Adisti menuju motornya. Di seberang, di tempat parkir, Adisti melihat wanita yang sama lagi. Dia masih memegang ponsel sambil tertawa lebar, sedang tangannya membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya.Adisti terus memperhatikan hingga mobil wanita itu berlalu dari halaman parkir. Baru Adisti naik ke atas motornya. Belum sampai dia menjalankan motor, telpon masuk di ponsel."Dari sekolah?" Adisti terkejut. Tumben guru Felicia menghubungi. Masih dua jam lagi sekolah Felicia berakhir."Selamat pagi, Bu." Adisti menyapa ramah."Ibu, bisa ke sekolah? Adisti bertengkar dengan teman hingga temannya terluka," jawab guru itu."Oh, tidak ...," ujar Adisti terkejut bukan kepalang mendengar itu!Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist
"Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A
Dengan tergesa Adisti berjalan, bahkan sedikit berlari keluar ruangannya. Ternyata di ruang sebelah, yang memang lebih luas, ada tiga karyawan lagi, dua laki-laki dan satu perempuan. Adisti mengangguk sambil tersenyum pada mereka, tapi kakinya terus berjalan menuju ke ruangan direktur. "Jadi Pak Vernon itu direktur di sini? Astaga. Aku harus tahu menjaga diri di depannya. Kalau sampai salah bertindak bisa didepak aku." Hati Adisti berbicara. Di depan kantor direktur, Adisti berhenti. Dia memperhatikan penampilannya. Pakaiannya rapi. Berkas di tangannya aman. "Oke, siap bergerak," ujar Adisti. Tangannya mengetuk pintu tiga kali. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Adisti membuka pintu dan melihat ke dalam ruangan. Kantor itu cukup luas jika dihitung yang menempati hanya satu orang. Di dekat pintu ada meja dan sofa kecil. Sedikit ke belakang terletak meja kerja lenglap dengan kursinya. Rak menempel di dinding paling ujung. Sebelah kanan ada satu pintu lagi. Adisti menduga itu
"Maksud Kak Henny gimana, ya?" Dengan tatapan berubah kaget dan bingung Adisti melihat pada Hanny. "Haa ... haa ...." Hanny tidak menjawab malah ngakak selebar-lebarnya. "Cantik, jangan terlalu jauh mikirnya!" Adisti kembali duduk, sambil terus memperhatikan Hanny. "Pak Bos itu memang tampan, keren, mempesona, dan aduhai." Hanny melanjutkan. "Tapi bukan berarti dia itu pria mesum, kalau itu yang kamu pikir, Sayang." Mendengar ucapan Hanny, Adisti sedikit lega. Walaupun dalam hati dia berseru, "Woi, ga mesum tapi main seru-seruan terus kalau ketemu ceweknya!" "Dia itu tipe pria setia. Emang sih, kadang rada hot sama Bu Rima. Tapi ya sama pasangannya aja. Dia baik sama semua, super baik kadang. Makanya itu calon istrinya suka heboh kayak cacing kepanasan kalau Pak Vernon dikit perhatian sama karyawan wanita." Adisti menggembungkan pipinya dan sekaligus menaikkan alisnya. Seketika dia ingat saat pertama melihat Vernon dan Rima di tepi jalan kapan hari. Sangat mungkin pertengkaran me
Adisti hanya melongo, tidak percaya yang dia dengar. "Adisti cahaya matahari!" Panggilan itu terdengar keras. Adisti mengerjap-erjap lalu mengembalikan kesadaran. "Tidak apa, Pak. Saya pesan ojek online saja." Adisti segera mengeluarkan ponsel dan mencari aplikasi transportasi online yang dia simpan. "Yakin?" Vernon menatap Adisti. "Iya, terima kasih." Adisti melebarkan bibirnya. Lalu kembali sibuk dengan ponsel di tangan. Vernon memperhatikan Adisti, lalu melihat ke atas, ke langit melalui kaca jendela mobilnya. "Adis, hujan turun. Sampai kampus basah ga lucu, kali." Vernon bicara dengan tenangnya. "Ah, itu ...." Adisti mengangkat kepalanya. Aneh juga langit tiba-tiba mulai gelap. "Mendung tidak berarti hujan, Pak." Dada Adisti berdebaran tiba-tiba. "Haa ...!! Kamu malah berpuisi! Baiklah, terserah kalau menolak sebuah pertolongan." Vernon mengangkat bahu. Kaca jendela mobil kembali naik dan tertutup. Adisti balik memelototi ponsel. Belum sampai dia benar-benar memes
Kelas segera senyap. Mahasiswa tidak punya pilihan kecuali ikut maunya dosen. Seperti yang lain, Adisti pun mengeluarkan secarik kertas dan bersiap memberikan jawaban untuk lima pertanyaan yang akan diajukan sang dosen. "Sial, semalam ga baca buku sama sekali," ucap Ernita lirih. "Drakor atau Dracin?" balas Adisti setengah berbisik. Kesukaan Ernita nonton drama dari mancanegera. "Nanggung, Dis, sisa empat episode doang. Daripada kebayang-bayang ending ceritanya." Mulut Ernita manyun. Adisti tertawa sambil menutup mulut dengan tangan. "Nomor satu!" Suara menggelegar sang dosen memaksa semua kelas memasang telinga. Soal mulai diperdengarkan. Adisti menarik napas panjang. Untung, yang dosen tanyakan sempat dia baca dari buku panduan kelas. Mudah-mudahan soal yang berikut pun sama, bisa Adisti jawab. Tidak sampai sepuluh menit selesai sudah kuis digelar. Dosen meminta mereka saling menukarkan jawaban dan di-cross check bersama. Kembali terdengar suara. Awalnya gemerisik kecil, makin