Share

Bab 7. Aku Nggak Nakal, Bu

Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti.

"Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk.

Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah.

"Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu?

Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya.

"Permisi, Bu. Minta maaf, apa yang Cia lakukan, Bu?" Dengan masih cemas, Adisti duduk di sisi Felicia, sementara dia memandang ibu kepala dengan tatapan penuh tanya.

"Aku nggak nakal, Bu. Aku nggak nakal." Felicia langsung memegang lengan Adisti sambil menangis. 

Wajah bocah itu tampak melas dengan pipi sudah basah karena air mata. Adisti yang ingin marah seketika luluh. Dia peluk Felicia yang menangis, menempelkan kepala di dada Adisti.

Ibu kepala memandang Adisti. Wajahnya tenang, tidak ada marah di sana. "Cia bertengkar dengan teman. Karena dia kesal, dia mendorong temannya. Tidak sengaja, temannya menabrak lemari di kelas, dan kepalanya sedikit berdarah."

"Dia bilang aku nakal. Makanya ayah pergi dan ga mau jadi ayahku. Aku marah. Aku tidak nakal. Aku ga pernah buat ayah marah ...." Dengan mata masih penuh air, pipi kembali basah, Felicia menatap Adisti.

Mendengar ucapan putrinya, hati Adisti seperti dirobek-robek. Jadi Felicia bertengkar karena masalah ayah? Sedangkan Felicia tidak pernah tahu ayahnya. Adisti pun tidak pernah ingin memberitahu Felicia siapa ayahnya. Tidak akan.

"Iya, Cia tidak nakal. Teman Cia tidak tahu saja. Tidak usah marah lagi. Oke?" Dengan leher terasa tercekat, Adisti mencoba menenangkan putrinya.

"Ibu ga marah sama aku?" ujar Felicia dengan suara sedikit serak.

"Nggak, Sayang. Ibu nggak marah. Lain kali Cia harus bisa sabar sama teman. Mengerti?" ucap Adisti.

"Hm-mm ... Maaf, Bu. Maafkan aku ...." Felicia kembali memeluk Adisti. Tapi hati gadis kecil itu lega, ibunya tidak marah padanya.

Ibu Kepala tersenyum manis pada Adisti dan Felicia.

"Cia, ingat yang Ibu pesan tadi?" Ibu Kepala memandang Felicia.

"Iya, Bu. Aku ingat." Felicia mengangguk.

"Bisa Cia kembali ke kelas, ya? Ibu mau bicara dengan ibu Cia," kata Ibu Kepala.

"Iya." Felicia berdiri lalu berjalan meninggalkan ruangan itu. Guru kelas Felicia sudah menunggu di depan pintu.

Di dalam ruangan Ibu Kepala suasana masih serius dan sedikit sendu.

"Ibu Adisti, Cia mengatakan dia tidak pernah tahu ayahnya. Dia bertanya, Ibu tidak memberitahu dengan jelas kepadanya. Saya minta maaf, bukan ingin terlalu jauh ikut campur masalah keluarga, tetapi setiap anak perlu mendapat penjelasan sehingga dia tidak akan menduga-duga lalu menyimpulkan sendiri. Sangat mungkin yang ada di pikiran anak kita menjadi keliru." Ibu Kepala bicara dengan lembut pada Adisti.

Perih kembali mengiris hatinya. Adisti tidak pernah menyesal punya Felicia. Baginya, Felicia Tuhan kirim untuk melengkapi hidupnya. Namun, cerita bagaimana Felicia hadir, itu yang masih membuat luka. Sayangnya, kisah itu tidak mungkin diperbaiki. Adisti belum siap memberitahu kenyataan pada putrinya.

"Ibu, mungkin tidak harus segala hal diberitahukan kepadanya, tetapi setidaknya ada yang membuat dia lega dan memahami yang terjadi. Tentu bukan dengan mengarang cerita atau menutupi dengan kebohongan. Anak akan terus bertanya sampai dia mendapatkan jawabannya." Ibu Kepala melanjutkan.

Adisti merasa makin penuh dadanya. Tapi dia bisa mengerti yang Ibu Kepala maksudkan. 

"Iya, Bu. Terima kasih buat nasihatnya." Mata Adisti mulai berair saat mengucapkan itu. Cepat-cepat dia usap dengan jari-jarinya.

"Saya minta maaf, bukan ingin sok tahu, bukan mau kepo, istilah anak sekarang. Jika tidak keberatan, boleh Ibu informasikan tentang situasi ayah dan ibu Felicia? Maksud saya, agar saya lebih memahami kondisi Cia." 

Adisti kaget dengan pertanyaan itu. Apakah dia perlu cerita bagaimana bisa Felicia hadir di bumi? Oh, tidak!

"Saya minta maaf, Bu. Mungkin ini tidak nyaman, tetapi ini demi kebaikan Cia. Saya selaku kepala sekolah dapat membantu dia lebih maksimal. Sebab di sekolah, dia bukan hanya belajar hal akademik, tapi juga bersosialisasi, mengasah emosionalnya, dan hal yang lain." Ibu Kepala menjelaskan maksud permintaannya.

Adisti menelan ludahnya. Dia menghela nafas dalam dan memandang Ibu Kepala. "Saya melakukan kesalahan dalam hubungan dengan seorang pria. Lalu Cia hadir buat saya. Tetapi, saya dan pria itu tidak  mungkin bersama."

Adisti merasa kepala, telinga, wajah, dan dadanya panas saat mengatakan semua itu.

Ibu Kepala mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya sangat menghargai keberanian Ibu Adisti menyampaikan ini. Saya akan membantu Cia bisa menghadapi situasi yang dia miliki."

"Iya. Terima kasih, Bu," ucap Adisti berusaha lebih tenang.

"Terima kasih kembali. Jika ada apa-apa, jangan sungkan datang dan menyampaikan kepada saya, Bu. Siapa tahu saya bisa membantu." Ibu Kepala tersenyum.

"Sekali lagi, terima kasih." Adisti mengangguk. "Bisakah saya minta nomor orang tua teman Cia? Saya perlu bicara dengannya dan menyampaikan maaf."

"Oya, tentu." Ibu Kepala mengambil ponsel di meja. Dia mencari kontak orang yang Adisti maksud dan mengirimkan nomor itu ke nomor Adisti.

Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Adisti meninggalkan ruangan kepala sekolah. Adisti segera menuju ke kamar kecil. Bagus, tidak ada yang datang ke sana. Adisti menangis di dalam kamar mandi. 

Pedih, perih, dan sakit. Kenyataan tak bisa diubah. Felicia tidak punya ayah. Lahir dari hubungan gelap. Bagaimana Adisti bisa menghadapi ini? Semakin putrinya besar, kenyataan itu semakin harus dia buka.

"Tuhan, ampuni aku ... Andai aku tidak bodoh, andai aku tidak jadi perempuan gila ... demi uang, ya Tuhan ...." Adisti kembali merasa jijik dengan dirinya sendiri. 

Beberapa lama akhirnya dia bisa menenangkan diri. Apapun yang terjadi, semua harus dia hadapi. Tidak mungkin kembali ke masa lalu. Ada Felicia yang harus dia perjuangkan. Adisti tidak boleh tenggelam lebih lama dengan kesenduan hatinya. 

"Ayah ... Ayah buat Cia. Tuhan, apa mungkin aku bisa menemukan pria yang baik, yang bisa menerima aku dan Cia sekaligus?" batin Adisti.

Mulai merajai pikirannya soal ayah yang diharapkan Felicia. Jika dia menemukan pendamping hidup, sekalipun bukan ayah kandung Felicia, gadis kecil itu akan bisa memandang temannya dan tidak akan diolok-olok. Putri Adisti yang cantik, tidak akan merasa dirinya berbeda karena tidak ayah di dalam rumahnya.

"Tetapi di mana aku bisa menemukan ayah buat Cia? Yang kupikirkan sekarang hanya tuntas kuliah, lalu kerja yang baik dan menata buat masa depan Cia. Kalau saja pria itu ada di sekitarku." Adisti memandang wajahnya di cermin.

Cantik, dia cukup cantik. Tubuhnya juga bagus. Secara fisik, dia cukup percaya diri jika berhadapan dengan pria. Namun, kisah kelamnya, tentu saja, penghalang utama Adisti berani berkata iya pada seorang pria.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status