Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti.
"Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk.
Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah.
"Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu?
Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya.
"Permisi, Bu. Minta maaf, apa yang Cia lakukan, Bu?" Dengan masih cemas, Adisti duduk di sisi Felicia, sementara dia memandang ibu kepala dengan tatapan penuh tanya.
"Aku nggak nakal, Bu. Aku nggak nakal." Felicia langsung memegang lengan Adisti sambil menangis.
Wajah bocah itu tampak melas dengan pipi sudah basah karena air mata. Adisti yang ingin marah seketika luluh. Dia peluk Felicia yang menangis, menempelkan kepala di dada Adisti.
Ibu kepala memandang Adisti. Wajahnya tenang, tidak ada marah di sana. "Cia bertengkar dengan teman. Karena dia kesal, dia mendorong temannya. Tidak sengaja, temannya menabrak lemari di kelas, dan kepalanya sedikit berdarah."
"Dia bilang aku nakal. Makanya ayah pergi dan ga mau jadi ayahku. Aku marah. Aku tidak nakal. Aku ga pernah buat ayah marah ...." Dengan mata masih penuh air, pipi kembali basah, Felicia menatap Adisti.
Mendengar ucapan putrinya, hati Adisti seperti dirobek-robek. Jadi Felicia bertengkar karena masalah ayah? Sedangkan Felicia tidak pernah tahu ayahnya. Adisti pun tidak pernah ingin memberitahu Felicia siapa ayahnya. Tidak akan.
"Iya, Cia tidak nakal. Teman Cia tidak tahu saja. Tidak usah marah lagi. Oke?" Dengan leher terasa tercekat, Adisti mencoba menenangkan putrinya.
"Ibu ga marah sama aku?" ujar Felicia dengan suara sedikit serak.
"Nggak, Sayang. Ibu nggak marah. Lain kali Cia harus bisa sabar sama teman. Mengerti?" ucap Adisti.
"Hm-mm ... Maaf, Bu. Maafkan aku ...." Felicia kembali memeluk Adisti. Tapi hati gadis kecil itu lega, ibunya tidak marah padanya.
Ibu Kepala tersenyum manis pada Adisti dan Felicia.
"Cia, ingat yang Ibu pesan tadi?" Ibu Kepala memandang Felicia.
"Iya, Bu. Aku ingat." Felicia mengangguk.
"Bisa Cia kembali ke kelas, ya? Ibu mau bicara dengan ibu Cia," kata Ibu Kepala.
"Iya." Felicia berdiri lalu berjalan meninggalkan ruangan itu. Guru kelas Felicia sudah menunggu di depan pintu.
Di dalam ruangan Ibu Kepala suasana masih serius dan sedikit sendu.
"Ibu Adisti, Cia mengatakan dia tidak pernah tahu ayahnya. Dia bertanya, Ibu tidak memberitahu dengan jelas kepadanya. Saya minta maaf, bukan ingin terlalu jauh ikut campur masalah keluarga, tetapi setiap anak perlu mendapat penjelasan sehingga dia tidak akan menduga-duga lalu menyimpulkan sendiri. Sangat mungkin yang ada di pikiran anak kita menjadi keliru." Ibu Kepala bicara dengan lembut pada Adisti.
Perih kembali mengiris hatinya. Adisti tidak pernah menyesal punya Felicia. Baginya, Felicia Tuhan kirim untuk melengkapi hidupnya. Namun, cerita bagaimana Felicia hadir, itu yang masih membuat luka. Sayangnya, kisah itu tidak mungkin diperbaiki. Adisti belum siap memberitahu kenyataan pada putrinya.
"Ibu, mungkin tidak harus segala hal diberitahukan kepadanya, tetapi setidaknya ada yang membuat dia lega dan memahami yang terjadi. Tentu bukan dengan mengarang cerita atau menutupi dengan kebohongan. Anak akan terus bertanya sampai dia mendapatkan jawabannya." Ibu Kepala melanjutkan.
Adisti merasa makin penuh dadanya. Tapi dia bisa mengerti yang Ibu Kepala maksudkan.
"Iya, Bu. Terima kasih buat nasihatnya." Mata Adisti mulai berair saat mengucapkan itu. Cepat-cepat dia usap dengan jari-jarinya.
"Saya minta maaf, bukan ingin sok tahu, bukan mau kepo, istilah anak sekarang. Jika tidak keberatan, boleh Ibu informasikan tentang situasi ayah dan ibu Felicia? Maksud saya, agar saya lebih memahami kondisi Cia."
Adisti kaget dengan pertanyaan itu. Apakah dia perlu cerita bagaimana bisa Felicia hadir di bumi? Oh, tidak!
"Saya minta maaf, Bu. Mungkin ini tidak nyaman, tetapi ini demi kebaikan Cia. Saya selaku kepala sekolah dapat membantu dia lebih maksimal. Sebab di sekolah, dia bukan hanya belajar hal akademik, tapi juga bersosialisasi, mengasah emosionalnya, dan hal yang lain." Ibu Kepala menjelaskan maksud permintaannya.
Adisti menelan ludahnya. Dia menghela nafas dalam dan memandang Ibu Kepala. "Saya melakukan kesalahan dalam hubungan dengan seorang pria. Lalu Cia hadir buat saya. Tetapi, saya dan pria itu tidak mungkin bersama."
Adisti merasa kepala, telinga, wajah, dan dadanya panas saat mengatakan semua itu.
Ibu Kepala mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya sangat menghargai keberanian Ibu Adisti menyampaikan ini. Saya akan membantu Cia bisa menghadapi situasi yang dia miliki."
"Iya. Terima kasih, Bu," ucap Adisti berusaha lebih tenang.
"Terima kasih kembali. Jika ada apa-apa, jangan sungkan datang dan menyampaikan kepada saya, Bu. Siapa tahu saya bisa membantu." Ibu Kepala tersenyum.
"Sekali lagi, terima kasih." Adisti mengangguk. "Bisakah saya minta nomor orang tua teman Cia? Saya perlu bicara dengannya dan menyampaikan maaf."
"Oya, tentu." Ibu Kepala mengambil ponsel di meja. Dia mencari kontak orang yang Adisti maksud dan mengirimkan nomor itu ke nomor Adisti.
Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Adisti meninggalkan ruangan kepala sekolah. Adisti segera menuju ke kamar kecil. Bagus, tidak ada yang datang ke sana. Adisti menangis di dalam kamar mandi.
Pedih, perih, dan sakit. Kenyataan tak bisa diubah. Felicia tidak punya ayah. Lahir dari hubungan gelap. Bagaimana Adisti bisa menghadapi ini? Semakin putrinya besar, kenyataan itu semakin harus dia buka.
"Tuhan, ampuni aku ... Andai aku tidak bodoh, andai aku tidak jadi perempuan gila ... demi uang, ya Tuhan ...." Adisti kembali merasa jijik dengan dirinya sendiri.
Beberapa lama akhirnya dia bisa menenangkan diri. Apapun yang terjadi, semua harus dia hadapi. Tidak mungkin kembali ke masa lalu. Ada Felicia yang harus dia perjuangkan. Adisti tidak boleh tenggelam lebih lama dengan kesenduan hatinya.
"Ayah ... Ayah buat Cia. Tuhan, apa mungkin aku bisa menemukan pria yang baik, yang bisa menerima aku dan Cia sekaligus?" batin Adisti.
Mulai merajai pikirannya soal ayah yang diharapkan Felicia. Jika dia menemukan pendamping hidup, sekalipun bukan ayah kandung Felicia, gadis kecil itu akan bisa memandang temannya dan tidak akan diolok-olok. Putri Adisti yang cantik, tidak akan merasa dirinya berbeda karena tidak ayah di dalam rumahnya.
"Tetapi di mana aku bisa menemukan ayah buat Cia? Yang kupikirkan sekarang hanya tuntas kuliah, lalu kerja yang baik dan menata buat masa depan Cia. Kalau saja pria itu ada di sekitarku." Adisti memandang wajahnya di cermin.
Cantik, dia cukup cantik. Tubuhnya juga bagus. Secara fisik, dia cukup percaya diri jika berhadapan dengan pria. Namun, kisah kelamnya, tentu saja, penghalang utama Adisti berani berkata iya pada seorang pria.
Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya. "Kenapa?" Ernita menatap Adisti. "Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah. "Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan. "Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai." "Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata."
Meity memegang kedua tangan Felicia. Dia tersenyum manis, menatap bola bening dan jernih gadis kecil yang cantik itu. "Sayang, orang dewasa itu beda dengan anak-anak. Mereka punya masalah itu lebih macam-macam. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang tidak. Kalaupun mereka sudah selesai masalahnya, belum tentu bisa berteman lagi. Kalau bisa berteman, belum tentu bisa bertemu lagi." Felicia memicingkan matanya. Wajahnya lucu sekali. Terlihat serius memikirkan yang Meity ucapkan. "Itu, berarti ... ayah dan ibuku, udah baikan, tapi ga bisa berteman? Ga bisa bertemu?" Felicia mencoba menyimpulkan yang Meity katakan. "Hm-mm. Seperti itu. Tapi, Cia tetap bisa hidup baik. Ada Ibu yang sayang Cia, ada Nenek juga sayang Cia. Ga usah sedih." Meity mengusap pipi Felicia dengan lembut. Adisti lega mendengar yang Meity tuturkan pada putrinya. "Jadi, aku memang ga bisa ketemu Ayah?" tanya Felicia. Dia mencoba memahami, tapi rasa sedih mendarat lagi di ujung hatinya. "Iya, Cia. Ga bisa." Adist
"Selamat pagi, Pak Vernon." Bersamaan Cahyo dan Lestia menyapa pria gagah dan tampan itu. Adisti memperhatikannya. Dengan kaos putih tanpa kerah, lalu jas biru gelap, pria itu memang tampan sekali. Dagunya, matanya, hidung dan juga bibirnya. Perfect. Sepertinya pria ini yang dibicarakan pegawai di front office. Ya, pria yang menolong Felicia hari itu. Pria yang Adisti lihat dengan wanita seksi di lorong. Vernon tidak menjawab sapaan kedua pegawainya. Dia masih menatap Adisti yang berdiri mematung melihat padanya. "Kamu kerja di sini?" Pertanyaan itu ditujukan pada Adisti. "Iya, Pak. Saya baru masuk hari ini." Adisti menjawab masih dengan sedikit bingung. Apakah memang pria itu ingat dengannya? Vernon maju beberapa langkah. Dia masih memperhatikan Adisti. "Apa kabar adikmu?" Ah, Adisti yakin, Vernon ingat padanya. Karena Vernon memang mengira Felicia adalah adik Adisti. "Dia baik, Pak. Terima kasih hari itu Bapak sudah menolong Cia. Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih." A
Dengan tergesa Adisti berjalan, bahkan sedikit berlari keluar ruangannya. Ternyata di ruang sebelah, yang memang lebih luas, ada tiga karyawan lagi, dua laki-laki dan satu perempuan. Adisti mengangguk sambil tersenyum pada mereka, tapi kakinya terus berjalan menuju ke ruangan direktur. "Jadi Pak Vernon itu direktur di sini? Astaga. Aku harus tahu menjaga diri di depannya. Kalau sampai salah bertindak bisa didepak aku." Hati Adisti berbicara. Di depan kantor direktur, Adisti berhenti. Dia memperhatikan penampilannya. Pakaiannya rapi. Berkas di tangannya aman. "Oke, siap bergerak," ujar Adisti. Tangannya mengetuk pintu tiga kali. "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Adisti membuka pintu dan melihat ke dalam ruangan. Kantor itu cukup luas jika dihitung yang menempati hanya satu orang. Di dekat pintu ada meja dan sofa kecil. Sedikit ke belakang terletak meja kerja lenglap dengan kursinya. Rak menempel di dinding paling ujung. Sebelah kanan ada satu pintu lagi. Adisti menduga itu
"Maksud Kak Henny gimana, ya?" Dengan tatapan berubah kaget dan bingung Adisti melihat pada Hanny. "Haa ... haa ...." Hanny tidak menjawab malah ngakak selebar-lebarnya. "Cantik, jangan terlalu jauh mikirnya!" Adisti kembali duduk, sambil terus memperhatikan Hanny. "Pak Bos itu memang tampan, keren, mempesona, dan aduhai." Hanny melanjutkan. "Tapi bukan berarti dia itu pria mesum, kalau itu yang kamu pikir, Sayang." Mendengar ucapan Hanny, Adisti sedikit lega. Walaupun dalam hati dia berseru, "Woi, ga mesum tapi main seru-seruan terus kalau ketemu ceweknya!" "Dia itu tipe pria setia. Emang sih, kadang rada hot sama Bu Rima. Tapi ya sama pasangannya aja. Dia baik sama semua, super baik kadang. Makanya itu calon istrinya suka heboh kayak cacing kepanasan kalau Pak Vernon dikit perhatian sama karyawan wanita." Adisti menggembungkan pipinya dan sekaligus menaikkan alisnya. Seketika dia ingat saat pertama melihat Vernon dan Rima di tepi jalan kapan hari. Sangat mungkin pertengkaran me
Adisti hanya melongo, tidak percaya yang dia dengar. "Adisti cahaya matahari!" Panggilan itu terdengar keras. Adisti mengerjap-erjap lalu mengembalikan kesadaran. "Tidak apa, Pak. Saya pesan ojek online saja." Adisti segera mengeluarkan ponsel dan mencari aplikasi transportasi online yang dia simpan. "Yakin?" Vernon menatap Adisti. "Iya, terima kasih." Adisti melebarkan bibirnya. Lalu kembali sibuk dengan ponsel di tangan. Vernon memperhatikan Adisti, lalu melihat ke atas, ke langit melalui kaca jendela mobilnya. "Adis, hujan turun. Sampai kampus basah ga lucu, kali." Vernon bicara dengan tenangnya. "Ah, itu ...." Adisti mengangkat kepalanya. Aneh juga langit tiba-tiba mulai gelap. "Mendung tidak berarti hujan, Pak." Dada Adisti berdebaran tiba-tiba. "Haa ...!! Kamu malah berpuisi! Baiklah, terserah kalau menolak sebuah pertolongan." Vernon mengangkat bahu. Kaca jendela mobil kembali naik dan tertutup. Adisti balik memelototi ponsel. Belum sampai dia benar-benar memes
Kelas segera senyap. Mahasiswa tidak punya pilihan kecuali ikut maunya dosen. Seperti yang lain, Adisti pun mengeluarkan secarik kertas dan bersiap memberikan jawaban untuk lima pertanyaan yang akan diajukan sang dosen. "Sial, semalam ga baca buku sama sekali," ucap Ernita lirih. "Drakor atau Dracin?" balas Adisti setengah berbisik. Kesukaan Ernita nonton drama dari mancanegera. "Nanggung, Dis, sisa empat episode doang. Daripada kebayang-bayang ending ceritanya." Mulut Ernita manyun. Adisti tertawa sambil menutup mulut dengan tangan. "Nomor satu!" Suara menggelegar sang dosen memaksa semua kelas memasang telinga. Soal mulai diperdengarkan. Adisti menarik napas panjang. Untung, yang dosen tanyakan sempat dia baca dari buku panduan kelas. Mudah-mudahan soal yang berikut pun sama, bisa Adisti jawab. Tidak sampai sepuluh menit selesai sudah kuis digelar. Dosen meminta mereka saling menukarkan jawaban dan di-cross check bersama. Kembali terdengar suara. Awalnya gemerisik kecil, makin
Adisti belum beralih menatap pada deretan huruf yang terpasang di dada kiri petugas keamanan di depannya. Nama itu, 'Prawira Sanjaya', seketika mengingatkan Adisti pada pria yang selama ini dia rindukan, yang kepadanya Adisti telah berdosa besar. Nama itu mirip sekali dengan nama ayahnya, Prawira Sukmajaya'. "Jadi gitu, Mbak. Nanti kalau sudah selesai di-service, saya akan informasikan," tegas Prawira meyakinkan Adisti dia akan menolong mengurus motor itu. "Eh, iya, Pak Prawira. Terima kasih banyak." Adisti kembali tersadar dan segera menjawab. "Boleh kunci motornya, Mbak?" ujar Prawira. "Baik, eh ...." Adisti membuka tasnya mencari kunci motor. Setelah mendapatkannya, dia serahkan pada Prawira. "Siap. Mbak bisa lanjut, silakan." Tangan Prawira teracung menuju ke arah kantor. "Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih." Adisti mengangguk, lalu melangkah menuju ke gedung megah di depannya. Masuk ke dalam gedung itu, menuju lantai tempat dia bekerja, Adisti bukan langsung ke ruangannya.