Share

Bab 8. Tentang Ayah

Mata Adisti terbelalak. Dia mendapat pesan jika dia diterima sebagai pegawai di perusahaan besar itu. Holding Company. Perusahaan yang bukan saja bergerak di satu bidang usaha. Ada setidaknya empat sekaligus bidang usaha yang ditangani perusahaan PT. Pertiwi Merdeka. Adisti tersenyum lebar, tetapi juga berdebar-debar tidak karuan di hatinya.

"Kenapa?" Ernita menatap Adisti. 

"Aku diterima. Senin aku mulai kerja." Adisti membalas tatapan Ernita dengan wajah memerah.

"Tuh, kan? Pasti kamu diterima. Mantap juga, mereka bisa mengerti kondisi kamu sebagai mahasiswa. Kuharap benar-benar tidak masalah jika nanti kamu harus cukup sering ke kampus. Apalagi kalau sudah mendekati sidang skripsi." Ernita mengutarakan yang dia pikirkan.

"Ya, kamu benar. Aku harus memikirkan itu. Jangan sampai, nanti malah aku keteteran." Adisti mengangguk. "Ah, Erni, aku ga sabar, jadi pegawai kantor akhirnya. Beneran, aku degdegan tapi pingin cepat mulai."

"Good luck, Dis. Semangat. Masa depan di depan mata." Ernita menepuk-nepuk pundak Adisti sambil tersenyum.

Dengan hati masih dag dig dug, Adisti membalas pesan yang dia terima. Dia bertanya beberapa hal agar lebih jelas bagaimana dia akan mulai bekerja.

Tidak lama kemudian, Adisti meninggalkan kampus. Dia ingin segera memberi kabar pada Meity dan Cia, dia akan mulai pekerjaan baru. Sampai di rumah, ternyata Meity sedang ada arisan kampung. Cia masih tidur siang. Adisti memilih menyiapkan keperluannya sendiri.

"Pakaian. Baju kantor," ujar Adisti cepat.

Adisti segera membuka lemari pakaiannya. Dia perhatikan semua pakaian yang tergantung dan terlipat rapi di sana.

"Astaga ... ini pakaian semua ala kadarnya. Casual banget. Yang bisa buat ngantor juga cuma berapa biji." Adisti merasa malang sekali dirinya.

"Kalau Ibu ada ...." Tiba-tiba saja dia ingat ibunya. Dengan senyum yang lembut, ibu akan mengusap kepalanya, lalu dengan tenang memberikan saran apa yang Adisti bisa lakukan.

"Ibu ...," gumam Adisti. Dia biarkan lemari terbuka, dia duduk di tepi kasur. Matanya masih memandang ke lemari pakaian.

Dia bayangkan kira-kira apa yang ibu akan katakan padanya. "Dis, kamu itu cantik. Mau pakai apa juga tetap cantik. Tidak harus pakaian mewah, tidak juga yang mahal. Asal sesuai, rapi, tidak masalah. Percaya sama Ibu."

"Ibu, aku kangen. Banget." Adisti mengeluarkan ponselnya dan membuka foto-foto kenangan di akun sosmed. Dia memang tidak menggunakan akun yang lama. Dia tidak mau siapapun akan bertanya dia di mana, kenapa tidak pernah tampak. 

Foto ibu bersama dengannya, di pinggir pantai. Wajahnya ceria, memeluk Adisti erat, terlihat bahagia.

"Apa Ayah masih marah sama aku, Bu? Anakku sudah besar. Sudah sekolah." Adisti menghela napas. Setiap ingat ayahnya, hati kembali pedih. Dia masih merasa begitu berdosa melukai kedua orang tuanya karena kelakuannya.

"Kalau Ibu ketemu Cia, Ibu akan senang atau tidak? Aku masih takut menghubungi Ibu. HP-ku yang lama hilang, dijambret. Aku ga ingat pasti juga nomor Ibu. Dan ga yakin Ibu masih pakai nomor yang sama. Lalu, Dinda? Apa dia baik-baik? Apa dia ga bikin Ibu repot?" 

Air mata Adisti menitik. Ingin sekali dia pulang. Tapi rasa takut di hatinya lebih besar. Apa yang orang-orang akan katakan? Apa yang orang tuanya jawab pada para tetangga? Adisti tidak pernah tahu sama sekali yang terjadi dengan keluarganya.

"Maafkan aku, Bu. Maafkan, karena aku masih belum berani pulang. Aku masih harus berjuang buat Cia. Aku harap Ibu, Ayah, dan juga Dinda, kalian semua baik-baik selalu." Butiran bening sudah membasahi kedua pipi Adisti. 

Dia menunduk dalam-dalam, melepas semua penat yang kembali menekan dirinya. Seolah-olah dosa yang dia lakukan belum termaafkan. Sebab ayah membuangnya. Entah sampai kapan dia akan berani muncul di depan orang tuanya.

"Ibu ...." Suara mungil itu memanggil.

Cepat-cepat Adisti mengeringkan lagi pipinya, lalu menoleh ke belakang. Felicia terbangun. Dia duduk sambil mengusap-usap kedua matanya.

"Anak Ibu, udah bangun." Adisti tersenyum.

"Aku lapar," kata Felicia dengan wajah lugu dan polos.

"Oke. Ibu akan masak. Cia mau apa? Telur dadar, atau roti dengan selai ...."

"Mau mi aja." Felicia merangkak mendekati Adisti.

"Ih, kok mi lagi. Baru tiga hari lalu." Adisti mengerutkan kening.

"Dikitttt aja. Ya? Boleh, Bu." Felicia membujuk Adisti. Matanya menatap memohon.

"Hmm ... Gimana, ya? Kalau Nenek Mei tahu, ntar Ibu yang kena marah. Mau Nenek marah sama Ibu?" Adisti pura-pura cemberut.

"Nggak! Aku makan sama telur aja!" Dengan cepat Felicia menyahut.

"Haa ... haa ...." Adisti ngakak melihat ekspresi Felicia yang lucu.

"Baiklah, ayo kita ke dapur." Adisti turun dari kasur. Dia membantu Felicia turun, lalu keduanya keluar kamar.

Tidak berapa lama, telur dadar siap. Adisti mengambil nasi di piring, dia taruh telur, dan dia tuangkan sedikit kecap di atas telur dan nasi.

"Ini. Makan yang banyak, harus habis. Biar cepat besar." Adisti meletakkan piring di depan Cia.

"Oke. Makasih. Kalau aku besar, aku cari Ayah. Aku mau ajak dia pulang." Felicia mulai menyendok nasi di piringnya.

Adisti tertegun. Lagi-lagi Felicia bicara tentang ayah. Adisti masih belum bicara pada Felicia mengenai ayahnya. Adisti yang belum siap. Dia harus punya kata-kata yang tepat, yang membuat Felicia mengerti mengapa ayahnya tidak akan pernah ada untuknya.

"Cia, gimana di sekolah hari ini?" Adisti memandang Felicia yang lahap makan.

"Aman. Aku ga diganggu, kok." Felicia menjawab sambil mengunyah makanan di mulutnya.

"Bagus." Adisti mengangguk-angguk.

"Bu, Ayah ga pulang kenapa? Ayahku namanya siapa?" tanya Felicia.

Adisti menarik napas panjang. Tidak bisa dia diam lebih lama. Adisti harus bicara.

"Ayah kamu ...." Adisti menggantung kata-katanya. Ternyata seketika ada debaran halus di ujung hati Adisti, membuat dia merasa tidak nyaman.

"Dia tidak bisa di sini sama kita. Dia tinggal di tempat yang jauh sekali. Jadi, hanya ada Cia dan Ibu." Adisti menjawab hati-hati.

"Jauh sekali itu, ga bisa kita ke sana pakai pesawat? Ibu ga bisa telpon Ayah?" Pertanyaan berikutnya muncul.

Tidak. Kalau Adisti mengatakan sesuatu yang tidak tepat, Felicia akan bertanya lagi, dan bisa semakin panjang ceritanya.

"Ehm, gimana, ya ... Ayah itu ...." Adisti masih mencari kalimat yang bisa dimengerti oleh Felicia.

"Sayang, Nenek boleh cerita?" Tiba-tiba Meity muncul dan duduk di sisi Felicia.

"Soal Ayah?" Felicia menoleh pada Meity.

"Ya, soal Ayah." Meity mengangguk.

Mata Adisti melebar ke arah Meity. Meity memandang Adisti dan tersenyum. Dia mengacungkan jempol, seakan ingin meyakinkan Adisti untuk tetap tenang.

"Ayo, Nek, kasih tahu aku." Felicia memegang lengan Meity.

"Kamu tahu, 'kan, orang dewasa itu kadang punya masalah. Mereka bertengkar, lalu akhirnya tidak bisa berteman lagi." Meity memandang Felicia.

"Maksud Nenek, Ayah dan Ibu bertengkar? Ga bisa berteman lagi?" Felicia mengulang kata-kata Meity.

"Iya, begitu." Meity mengangguk.

"Ibu bilang kita ga boleh bertengkar sama teman. Kita harus baik sama semua. Kenapa Ibu dan Ayah ga mau baikan?" Felicia tampak bingung.

Adisti menutup wajah dengan dua tangannya. Dia juga bingung mau menjawab apa pertanyaan itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ayunina Sharlyn
hehehe...iya kak, uang lelah buat yang nulis ...
goodnovel comment avatar
Widia Wati
free tpinujung2bya paki koin jg...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status