Adisti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ernita juga datang bersama dengan Felicia. "Kamu yang antar Cia ke sini? Ah, Mas Vey!" Adisti memutar badan menoleh ke arah Vernon. Pasti semua sudah Vernon atur diam-diam. "Apa? Aku? Aku kenapa?" Vernon berpura-pura bingung tak mengerti. "Makasih banyak kejutannya. Ini benar-benar hari penuh keajaiban buat aku. Makasih banyak, Mas." Adisti tersenyum lebar. Dia memeluk Ernita. Hati Adisti meluap dengan syukur. "Erni, kenalkan ibuku." Masih memeluk Ernita, Adisti mengenalkan Adistya pada sahabatnya. "Erni ini teman paling baik buat aku, Bu. Dia yang setia bantu aku." "Nak Erni. Aku Adistya. Panggil saja Ibu." Adistya tersenyum ramah. "Terima kasih banyak sudah jadi teman buat anak Ibu." "Iya, Ibu. Senang bisa kenal Ibu Adisti. Ibu sama Adis mirip banget, hee ..." Ernita tersenyum lebar. "Cia, kasih salam buat Eyang Putri," kata Vernon pada Cia. "Eyang ..." Gadis kecil itu memegang tangan Adistya dan mencium punggung tangan Adistya
Adisti refleks mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Kenapa si ibu jadi mirip sama Si Bos tampan, bisa gini kelakuannya? "Haa ... haa ... Vernon benar. Kalau sedang kaget atau gugup, kamu memang lucu." Savitri menoleh pada Vernon. Apa? Vernon cerita apa saja soal Adisti pada Savitri? Degdegan makin jadi di dada Adisti. "Jujur, aku bergumul lama. Berpikir panjang dan tidak segera menjawab permintaan Vernon dan Mas Varen untuk memberi restu kalian bersama." Savitri kembali serius. "Mas Varen dan aku bicara banyak sekali. Melihat hari ini, yang telah lalu, dan nanti akan seperti apa." Adisti memandang Savitri. Ini sesuatu yang sangat penting yang dia harus pahami. "Pertama, aku harus berterima kasih pada Mbak Tya." Arah mata Savitri beralih ke sebelah kanan Adisti, pada Adistya. Wanita itu pun memandang lurus pada Savitri. "Seandainya dulu Mbak Tya bersama Mas Varen, aku tidak akan ada di sini sekarang. Bersama anak lelaki kebanggaan kami. Aku tahu, Mbak Tya begitu berj
Pesta usai. Vernon dan Adisti bersiap meninggalkan Malang dan segera meluncur. Adisti bertanya Vernon mengajaknya ke mana, Vernon masih saja menjawab rahasia. Percuma sekalipun Adisti merayu dan meminta Vernon memberitahu. "Ibu, Ayah! Hati-hati di jalan!" Tangan kecil Felicia melambai ke arah mobil yang mengantar Vernon dan Adisti ke bandara. Adisti dan Vernon membalas lambaian itu dengan senyum bahagia. "Gonna miss you, Sweet heart!" Adisti berkata dengan senyum masih tertinggal. "Ga usah khawatir lagi. Cia bisa tinggal di mana saja dia mau. Dengan Papa dan Mama, Ayah dan Ibu, Kak Virni atau Ernita? Aman." Vernon memegang tangan Adisti dan mengusapnya dengan lembut. "Iya. Terlalu banyak cinta buat Cia. Aku ga usah khawatir. Mas Benar," ujar Adisti dengan hati lega. Bandara, lalu pesawat. Berdua dengan Vernon, ah, selalu saja penuh kejutan. Di bandara baru Adisti tahu, tujuan mereka adalah ke Jakarta. Tidak sampai tiga jam kemudian, mereka sudah sampai di tujuan, salah satu hotel
Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
“Anak tidak tahu diri!”Plakk!!Gamparan keras mendarat di pipi mulus Adisti. Tangan kuat dan kekar sang ayah, kembali membuat gambar di pipi mulus itu. Lengkap, kiri dan kanan, pipi wanita belia itu kena sasaran. Tubuh Adisti oleng, dia terguling, dan hampir terjerembab ke lantai.“Mas! Cukup! Sudah!” Sang ibu segera menunduk, memeluk erat putrinya agar tidak lagi mendapat pukulan dari ayah yang sedang kalap.“Kamu masih mau membelanya? Hah?!” sentak ayah dengan mata melotot, tangan terkepal, dan wajah merah padam.“Dia anak kita, Mas. Tolong, maafkan Disti .…” Tangis ibu meledak, dengan tangan makin kuat memeluk putrinya.“Ini akibatnya karena kamu tidak becus mengurus anak!” Amarah ayah belum berkurang. Ibu pun kena getahnya. “Kamu terlalu memanjakan dia, memberi kebebasan tanpa aturan. Lihat hasilnya!”“Mas, sudah … semua sudah terjadi. Mas
Bis melaju lebih lambat. Hujan cukup deras mengguyur jalanan. Adisti memperhatikan rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan yang dilalui bis itu. Tatapannya nanar. Sedih dan gelisah, itu yang dia rasakan. Semua hancur. Kehidupan yang menyenangkan yang dia miliki berantakan dalam sekejap. Dan itu karena ada bayi dalam kandungannya.Pikiran Adisti berlari pada hari saat dia mengetahui dirinya berbadan dua, dan dia ungkapkan pada sahabatnya, Arin.“Kamu hamil? Kok bisa?” Tatapan terkejut dari sahabatnya menghujam pada Adisti.“Tapi itu benar, Rin.” Adisti dengan bingung melihat Arin.“Kamu ga jaga? Ga minta itu Om pakai pengaman? Kamu bukannya juga biasa minum pil?” Arin menggeleng keras. Tidak percaya dengan yang Adisti katakan.“Dia ga pernah mau pakai pengaman. Aku, seingatku aku ga lupa, tapi .…”“Disti! Kenapa kamu seteledor ini?” Arin tampak menyesal mendengar kabar ke
Lima tahun berlalu. Gadis kecil dengan rambut sepunggung itu memegang gaunnya dan mengibar-ibarkannya ke kiri dan kanan dengan riang. Senyum indah menghiasi bibir mungil di wajahnya. “Sayang, lihat!” Panggilan itu membuat si gadis kecil mengangkat kepala, memandang ke depan. Senyumnya makin lebar, dan sambil bertepuk tangan dia melihat ibunya datang membawa kue ulang tahun yang cantik, lengkap dengan lima lilin di atasnya. “Makasih, Ibu!” ujarnya girang. “Selamat ulang tahun, Felicia Lovelita. Sudah berapa sekarang umur kamu?” ucap ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan. “Lima! Aku udah gede!” sahut Felicia riang. Dia mengangkat tinggi lima jari tangan kanannya. “Iya! Udah gede. Makin cantik seperti Ibu Disti.” Seorang wanita kira-kira enam puluhan tahun menghampiri mereka berdua. “Bu Meity .…” Adisti menoleh pada wanita itu. “Ayo, Cia tiup lilinnya, lalu kita berdoa buat Cia,” kata Meity. Mereka duduk mengelilingi meja di ruangan itu. Adisti meletakkan kue di depan Felicia.
Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi. Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu. "Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu. Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. "Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya. Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect. "Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih. Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat i