Vernon tersenyum tidak ada henti. Melihat tingkah Adisti begitu girang, menikmati kebersamaan mereka di negeri yang indah dengan suasana romantis, sangat menyenangkan. Adisti merasa seperti dibawa ke surga saja merasakan segala hal yang tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan akan terjadi di hidupnya. Kebaikan dan ketulusan Vernon menerima dia apa adanya, dan menyayangi Felicia , membuat Adisti ingin memberikan membahagiakan Vernon. Semua yang dia limpahkan belum tentu bisa membalas yang Vernon telah berikan untuknya dan Felicia. "Terima kasih buat semuanya, Mas. Aku kayak Cinderella aja. Semua yang ga kepikir aku nikmati karena jadi istri anak sultan." Adisti memeluk pinggang Vernon. Vernon tersenyum, tidak menjawab, hanya membalas pelukan Adisti. Pelukan itu cukup sebagai jawaban, Vernon bahagia bersama Adisti. Bulan madu berlalu. Vernon dan Adisti kembali ke tanah air, kembali ke Malang, dan pada kehidupan nyata mereka. Rumah Vernon telah dirombak sesuai dengan kebutuhan sebuah
“Anak tidak tahu diri!”Plakk!!Gamparan keras mendarat di pipi mulus Adisti. Tangan kuat dan kekar sang ayah, kembali membuat gambar di pipi mulus itu. Lengkap, kiri dan kanan, pipi wanita belia itu kena sasaran. Tubuh Adisti oleng, dia terguling, dan hampir terjerembab ke lantai.“Mas! Cukup! Sudah!” Sang ibu segera menunduk, memeluk erat putrinya agar tidak lagi mendapat pukulan dari ayah yang sedang kalap.“Kamu masih mau membelanya? Hah?!” sentak ayah dengan mata melotot, tangan terkepal, dan wajah merah padam.“Dia anak kita, Mas. Tolong, maafkan Disti .…” Tangis ibu meledak, dengan tangan makin kuat memeluk putrinya.“Ini akibatnya karena kamu tidak becus mengurus anak!” Amarah ayah belum berkurang. Ibu pun kena getahnya. “Kamu terlalu memanjakan dia, memberi kebebasan tanpa aturan. Lihat hasilnya!”“Mas, sudah … semua sudah terjadi. Mas
Bis melaju lebih lambat. Hujan cukup deras mengguyur jalanan. Adisti memperhatikan rumah-rumah yang berjajar di sepanjang jalan yang dilalui bis itu. Tatapannya nanar. Sedih dan gelisah, itu yang dia rasakan. Semua hancur. Kehidupan yang menyenangkan yang dia miliki berantakan dalam sekejap. Dan itu karena ada bayi dalam kandungannya.Pikiran Adisti berlari pada hari saat dia mengetahui dirinya berbadan dua, dan dia ungkapkan pada sahabatnya, Arin.“Kamu hamil? Kok bisa?” Tatapan terkejut dari sahabatnya menghujam pada Adisti.“Tapi itu benar, Rin.” Adisti dengan bingung melihat Arin.“Kamu ga jaga? Ga minta itu Om pakai pengaman? Kamu bukannya juga biasa minum pil?” Arin menggeleng keras. Tidak percaya dengan yang Adisti katakan.“Dia ga pernah mau pakai pengaman. Aku, seingatku aku ga lupa, tapi .…”“Disti! Kenapa kamu seteledor ini?” Arin tampak menyesal mendengar kabar ke
Lima tahun berlalu. Gadis kecil dengan rambut sepunggung itu memegang gaunnya dan mengibar-ibarkannya ke kiri dan kanan dengan riang. Senyum indah menghiasi bibir mungil di wajahnya. “Sayang, lihat!” Panggilan itu membuat si gadis kecil mengangkat kepala, memandang ke depan. Senyumnya makin lebar, dan sambil bertepuk tangan dia melihat ibunya datang membawa kue ulang tahun yang cantik, lengkap dengan lima lilin di atasnya. “Makasih, Ibu!” ujarnya girang. “Selamat ulang tahun, Felicia Lovelita. Sudah berapa sekarang umur kamu?” ucap ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan. “Lima! Aku udah gede!” sahut Felicia riang. Dia mengangkat tinggi lima jari tangan kanannya. “Iya! Udah gede. Makin cantik seperti Ibu Disti.” Seorang wanita kira-kira enam puluhan tahun menghampiri mereka berdua. “Bu Meity .…” Adisti menoleh pada wanita itu. “Ayo, Cia tiup lilinnya, lalu kita berdoa buat Cia,” kata Meity. Mereka duduk mengelilingi meja di ruangan itu. Adisti meletakkan kue di depan Felicia.
Tubuh Adisti makin terasa gemetar. Dia menutup mata dengan kedua tangan seketika, karena takut luar biasa melihat yang terjadi di depan matanya. Tiba-tiba, pria tampan dan gagah itu sudah berada di tengah jalan. Dengan cepat dia mengangkat Felicia lalu membawanya ke tepi. Motor yang hampir menabrak Felicia masih berhenti. Pengendaranya memperhatikan Felicia. Karena sudah aman, dia segera berlalu dari tempat itu. "Kamu tidak apa-apa?" Vernon menurunkan Felicia, lalu memberikan botol minuman gadis kecil itu. Felicia menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. "Adikmu baik-baik saja. Beri dia minum. Lain kali hati-hati," ujar Vernon pada Adisti. Suaranya tegas, tapi tidak galak. Dia berdiri dan berjalan ke arah mobilnya. Adisti bisa melihat pria itu begitu dekat. Tampan sekali. Bentuk wajah, hidung, mata, dan bibir. Perfect. "Makasih, Om!" Felicia masih sempat berucap terima kasih. Vernon menoleh, melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Segera mobil melaju meninggalkan tempat i
"Selamat siang, Pak." Adisti menyapa pria yang berdiri di sampingnya dan sedikit ke belakang. "Kalau kamu mau coba masuk ke perusahaan itu, masa depan kamu akan bagus, Adisti." Pria yang sudah berambut putih itu tersenyum pada Adisti. "Apa mungkin saya diterima, Pak?" Adisti bertanya. "Buat saja lamaran dan CV. Prof. Hamdani siap memberikan rekomendasi. Kamu salah satu mahasiswa terbaik di sini. Sangat pantas kamu mendapat kesempatan masuk di perusahaan itu," jawab Prof. Hamdani. "Tapi saya masih ada kuliah, dan skripsi baru mulai menyusun." Adisti memandang dosen senio itu. "Buat kamu, dua mata kuliah dan kerja skripsi apa yang susah. Justru dengan bekerja di sana, jika mungkin jadi tempat penelitian kamu. Coba cari apa ada benang merah dengan yang kamu tulis." Prof. Hamdani meyakinkan Adisti. Dosen itu juga adalah dosen pembimbing Adisti. "Baik, Prof. Saya akan coba." Adisti mengangguk. Ada rasa senang, tapi juga degdegan. Ini akan jadi pengalaman baru buatnya. "Temui aku dua
Adisti berbalik dengan cepat, Dadanya berdegup kencang. Adisti tidak tahu bagaimana membahasakan kelakuan sepasang kekasih itu. Wanita itu, Adisti ingat dia. Pria itu, Adisti juga ingat. Pria tampan yang menyelamatkan Felicia. Mereka bermesraan di lorong kantor yang sepi. "Ya Tuhan ... mereka sudah gila ...," ujar Adisti dalam hati. Dia tidak ingat lagi dia harus melakukan wawancara. Lebih baik dia kembali ke bawah, memastikan semuanya. Dan yang utama, menetralkan dadanya yang masih bergemuruh tidak karuan menyaksikan adegan panas di tempat tak seharusnya. Baru saja Adisti akan memencet tombol lift, terdengar seseorang bicara. "Mbak, mau ke mana?" Adisti memutar badannya. Seorang pria kira-kira empat puluh tahun, posturnya kecil dan kurus dengan hidung bangir, berkacata mata menatapnya. Dia tampak rapi dan licin. Dengan jas yang dia kenakan, Adisti yakin pria itu pegawai yang punya jabatan di kantor itu. "Eh, aku ... sebenarnya dipanggil wawancara, tapi aku tidak tahu di mana ruan
Jalanan lumayan ramai. Adisti sedikit kesal, karena perjalanannya menuju sekolah Felicia tidak sangat lancar. Banyak pertanyaan bergerilya di pikirannya. Apa yang terjadi? Apa yang Felicia lakukan pada temannya? Adisti gelisah dan cemas. Jika terjadi sesuatu dengan anak orang, bisa jadi masalah pasti. "Cia, kamu buat apa sama temanmu?" ujar Adisti dengan rasa campur aduk. Tiba di sekolah. Adisti berlari kecil menuju ke kelas Felicia. Belum sampai di kelas, Adisti bertemu salah satu guru dan diberitahu jika Felicia ada di kantor kepala sekolah. Hati Adisti makin tidak tenang. Bergegas dia menuju kantor kepala sekolah. "Aduh, ini anak! Sampai kepala sekolah juga yang ngurus. Ihh ...." Adisti tidak bisa membayangkan situasinya. Pasti yang terjadi sangat buruk. Bagaimana bisa Felicia senakal itu? Adisti sampai di depan ruang kepala sekolah. Di dalam ibu kepala duduk berhadapan dengan Felicia. Gadis kecil itu menunduk sambil melipat kedua tangannya, disatukan di atas lututnya. "Permisi