PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN
#MENIKAH DENGAN SULTAN (7)
Wira melempar dahan kayu yang dipegangnya. Dia berjalan menuju Rinai yang tampak sedang memilah rempeyek yang masih bisa dijualnya. Wira menghampiri dan menyodorkan tissue pada gadis yang tengah membungkuk itu.
Rinai mendongak melihat benda putih yang disodorkan Wira. Dia mengerutkan dahi sambil menoleh pada Wira yang berdiri tak jauh darinya.
“Bang, itu buat apa?” Rinai menatap heran.
“Buat hapus air mata kamu,” ucap Wira sambil memperhatikan raut wajah cantik yang ada di depannya.
Rinai berdiri lalu meraih benda putih itu sambil tersenyum. Namun dia mendekat pada Wira yang mengenakan kaos tanpa kerah yang penuh coretan. Celana bahan dibawah lutut yang warnanya sudah pudar.
“Simpan saja buat Abang. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi orang-orang seperti mereka,” jawab Rinai santai. Meskipun tampak ada gurat kesal membayang.
“Mereka saudara kamu?” Wira duduk pada tikar yang digelar oleh Rinai.
“Ya, harusnya kami bersaudara. Hanya saja mereka tak pernah menganggapku bagian dari keluarganya! Ada kasta membentang di antara kami. Bagi mereka aku adalah sudra. Kasta terendah yang bahkan tidak berhak bahagia,” ucap Rinai sambil kembali memilah rempeyek yang layak jual dan rempeyek rusak itu ke dalam sebuah plastik besar. Dan menata sisanya.
Beberapa pengendara yang berlalu lalang tampak tak acuh juga pada sekitar. Karena itu meskipun kerap kali kedua kakak beradik itu membully Rinai, hanya dirinya sendirilah yang bisa menepis dan melawan.
“Bang, kamu berani sekali merusak mobil mereka? Nanti kalau minta ganti rugi gimana?” Rinai kali ini yang merasa khawatir. Dia menatap Wira. Cemas juga dalam hatinya.
“Justru aku akan sangat senang jika mereka datang padaku dan meminta ganti rugi. Itulah saat-saat yang kunantikan.” Wira tersenyum sinis. Memang benar, dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri wajah Rendi yang ternyata mengaku-ngaku kerabatnya. Jika perlu, dia ingin mereka datang ke hadapannya di depan semua orang.
“Astaghfirulloh, Bang. Jangan sembarangan kalau bicara. Harga mobil itu ratusan juta. Orang kaya kita mana ada uang sebanyak itu. Mending kamu pindah lokasi, Bang. Kelilingnya jangan daerah sini lagi. Aku tahu betul Tasya dan Tisya. Mereka tak akan tinggal diam. Bisa-bisa mereka datang dan mempolisikanmu.” Rinai menatap cemas.
Wira terkekeh. Lalu berdiri dari duduknya. Dia mengambil satu bungkus rempeyek dan membukanya. Lalu meminta Rinai membuat kopi hitam untuknya.
“Kopi hitamnya tanpa gula, ya!” Wira duduk sambil menikmati rasa gurih dari rempeyek. Wangi daun limau berpadu dengan krispi membuat dirinya ketagihan.
Selain berjualan rempeyek, Rinai juga menyediakan kopi dan air mineral di sana. Sesekali suka ada yang mampir membeli kopi. Rinai mengangguk, dengan cekatan dia membuatkan kopi pada gelas kecil untuk Wira. Pemulung tampan yang sudah jadi langganan rempeyeknya.
Beberapa anak sekolah yang tampak bergerombol, mampir. Mereka masing-masing mengambil rempeyek yang masih tersedia di sana.
“Mbak, Nay! Aku mau yang dua ribuan saja, lima bungkus, ya!” ujar seorang gadis dengan kerudung kuning.
“Dibawa pulang lagi, Yu?” tanya Rinai sambil tersenyum. Tangannya cekatan mengambilkan lima bungkus rempeyek dan disodorkan pada Ayu. Ditambahkannya satu sebagai bonus. Dia tahu, Ayu bukan gadis remaja kaya raya. Rempeyek itu kerap kali dibelinya untuk lauk makan sekeluarga.
“Iya, Mbak, Nay! Buat adik-adik makan,” ucapnya sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan. Rinai menerimanya sambil berdoa dalam dada. Semoga suatu saat bisa membantu Ayu. Gadis yang baru duduk di SMP dan memiliki cita-cita ingin menjadi guru.
Teman-teman Ayu hanya membeli satu bungkus. Rempeyek seharga lima ribuan. Mereka hanya membeli untuk camilan dikala senggang. Usai rombongan itu berlalu. Datang lagi serombongan ibu-ibu yang baru turun dari ojek sepulang dari pasar.
“Nay, peyek kacang ijo atau kacang tanah?” tanyanya. Satu tangannya menenteng plastik berisi sayuran.
“Kacang tanah, Budew!” jawab Rinai sambil tersenyum.
“Tumben tinggal dikit, buat dikit, ya?” tanyanya seraya memilah beberapa bungkus.
“Iya, Budew! Ini sebagian rusak, tadi jatuh!” ucap Rinai sambil menunjuk pada kantong plastik berisi remahan rempeyek yang remuk.
“Oalaahh! Hati-hati toh, Nay! Ini Budew beli segini!” ucapnya sambil menyodorkan beberapa bungkus. Rinai dengan cekatan memasukkannya ke dalam keresek berwarna hitam. Perempuan itu mengambil uang dari dalam dompetnya lalu menyodorkan padanya.
“Belum ada kembalian, Budew! Besok saja bayarnya!” Rina mengembalikan satu lembar uang berwarna merah itu. Perempuan itu tersenyum.
“Buat kamu saja sisanya. Bisa buat menutup modal. Peyek kamu banyak yang rusak dan tak terjual soalnya,” ucapnya sambil mengambil plastik peyek tersebut dan berjalan pulang.
“T—tapi, Budew!” Ucapan Rinai menggantung.
“Gak apa, Budew ikhlas! Semoga bisa menularkan kebaikan buat yang lainnya juga, ya!” ucap Budew sambil menoleh, lalu tersenyum. Kemudian dia melanjutkan kembali langkahnya.
Hati Rinai tersentuh. Ditatapnya selembar uang seratus ribuan itu dengan penuh rasa syukur. Ternyata memang, hukum tabur tuai itu ada. Sebungkus rempeyek untuk Ayu yang diberikannya ikhlas, langsung mendapatkan gantinya berkali lipat dari ketulusan hati Budew.
***
Tasya mengendarai mobilnya dengan keadaan marah, karena itu Tisya memintanya menepi. Lalu dia beralih menggantikan adiknya menyetir.
“Aku takut mati muda kalau kamu bawa mobilnya kayak gini, Sya!” ucap Tisya sambil mengambil alih kemudi.
Tasya merengut. Bagian depan mobilnya penyok cukup parah karena dihantam sekuat tenaga oleh Wira.
“Aku akan buat perhitungan sama pemulung sok jago itu, Mbak! Kayaknya dia naksir si Rinai, deh! Memang cocok banget, sih. Yang satu gembel yang satu pemulung. Jodoh kan cerminan diri,” celoteh Tasya sambil mencebik. Lalu dia ambil gawai dan mencari nomor seseorang.
“Awas saja, kamu pemulung sialan! Bersiaplah bersimpuh di kakiku untuk memint ampun! Aku akan menututmu! Kalau perlu segera menyeretmu ke kantor polisi biar kamu nangis darah sekalian!” gerutu Tasya sambil menunggu panggilannya terhubung.
Yuk ramein, kasih rate sama komen, ya! alhamdulillah sudah turun kontraknya. Semoga bisa konsisten update setiap jam 10 pagi, ya! Kalau lupa colekin aku di FB Evie Yuzuma. Selamat Membaca!
PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN #MENIKAH DENGAN SULTAN (8) “Awas saja, kamu pemulung sialan! Bersiaplah bersimpuh di kakiku untuk memint ampun! Aku akan menututmu! Kalau perlu segera menyeretmu ke kantor polisi biar kamu nangis darah sekalian!” gerutu Tasya sambil menunggu panggilannya terhubung. Panggilan telepon terhubung. Suara berat seorang pria yang dirindukannya terdengar dari seberang sana. “Hallo, Sayang! Ada apa?” Rendi menyapa kekasihnya. Bayangan liarnya langsung bermunculan ketika suara manja Tasya terdengar merajuk. “Mas, mobil aku penyok,” ucap Tasya sambil mencebik manj
PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN#MENIKAH DENGAN SULTAN (9)Selamat Membaca!Rika berjalan keluar ruangannya dalam keadaan ngambek. Rendi menatap punggung perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. Sementara itu, otaknya memutar cara agar bisa bisa mengendalikan Rika dan tidak merusak reputasinya. Namun dering telepon yang teronggok di mejanya mengalihkan perhatian. Rendi segera mengangkatnya dan menyapa seseorang dari seberang sana.“Selamat pagi, Pak Rendi!” sapa Haris---personnel General Affair.“Pagi!” Rendi menarik napas lalu membuangnya kasar.“Pak Rendi, berdasarkan informasi dari bagian lapangan, mobil operasional yang Pak Rendi pakai untuk meeting kemarin belum kembal
PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN#MENIKAH DENGAN SULTAN (10)Selamat Membaca!Tanpa disangka, satu buah lemparan batu dari jauh mengenai dahi Dirman hingga berdarah. Lelaki itu menoleh ke samping, arah dari mana datangnya batu itu.“Hey, siapa kau! Berani mencari masalah dengan saya? Kau tidak tahu siapa saya, hah?” bentak Dirman pada dua orang lelaki berpakaian lusuh. Keduanya tampak berjalan cepat menghampiri Dirman.Rinai tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menarik tangan yang masih dipegang erat oleh Dirman. Karena tengah lengah akhirnya genggamannya terlepas. Kedua orang berpakaian lusuh itu mendekat.Bugh!Bugh!Pukula
[Mi, aku minta waktu paling sedikit satu bulan untuk membawanya bertemu denganmu. Malam ini aku tak bisa datang, kalian makan malam saja dengan keluargan Anggenila karena sudah telanjur janji/ Bilang saja, aku sedang di luar kota dan tidak bisa pulang.] Akhirnya pesan itulah yang Wira kirimkan pada Mami---perempuan yang begitu dihormatinya. Gawai Wira kembali bergetar, nomor Mami kembali muncul dan melakukakan panggilan. Wira dengan sigap mengangkatnya. Baginya Mami adalah perempuan yang layak dihormati. Wira tahu semua keputusannya adalah yang terbaik untuknya. “Wira! Oke, Mami berikan kamu waktu satu bulan untuk membawa gadis yang kamu rasa bisa mendampingimu. Namun, tolong hargai Mami. Malam ini datanglah meski sebentar, Mami tidak akan membahas apapun terkait masalah pertunangan. Ini akan menjadi makan malam biasa.” Mami berkata penuh penekanan. Wira tahu, Mami t
Dua orang berseragam polisi mendekat, lalu menatap Wira dan mengeluarkan surat penangkapan. “Berdasarkan laporan dari Ibu Tasya, kami harus menangkap Anda. Silakan jelaskan semuanya di kantor polisi!” ucap polisi tersebut sambil mengeluarkan borgol. Tanpa disangka, Rinai menghadang kedua polisi itu. Dia menatap kedua lelaki berseragam itu dengan penuh permohonan. “Bapak polisi yang terhormat, tolong dengarkan penjelasan saya! Saya menjadi saksi bagaimana kejadian itu terjadi sebetulnya! Bang Wira gak salah, Tasya dan Tisya yang duluan mencari masalah. Mereka membully saya, Bang Wira hanya berusaha menolong,” ucap Rinai. Dia berharap polisi itu bisa mengerti dan mendengarkannya. Kedua sudut bibir Wira tertarik sempurna. Ada rasa yang tak bisa diartikan ketik
Wira menatap sederet tulisan itu dengan seksama. Rasa khawatir mencuat. Bagaimanapun, dirinya tidak bisa menghubungi Rinai. Gadis itu tak memiliki alat komunikasi.[Tolong cari tahu keberadaan Rinai. Saya segera kembali.]Petugas polisi tersebut baru saja menyelesaikan panggilan teleponnya. Dia berjalan dengan mimic wajah sangat terkejut.“S—selamat siang P—Pak W—Wira!” ucapnya sedikit terbata. Begitu rupanya tatanan kehidupan di sini. Hanya orang-orang yang berharta yang dianggap.Wira menatap dingin.“Jadi bagaimana, Pak? Bisakan saya di antar kembali ke tempat yang tadi?” ucap Wira datar.“Bisa, Pak! Sangat bisa. M
Mobil mewah yang dikendarai Rinai berpapasan dengan mobil xenia second yang dikendarai oleh Tasya yang baru saja pulang dari kantor polisi. Mereka tadi mampir dulu ke minimarket untuk membeli kebutuhan bulanan, sehingga datang tidak berbarengan dengan mobil polisi yang mengantar Wira pulang.“Widihhh, Sya! Mobil siapa tuh, keren bingitsss! Rendi kali, Sya?” Tisya menatap mobil SUV super mewah yang berpapasan dengan mereka.“Masa, sih Mas Rendi? Tadi baru teleponan dia lagi sibuk katanya,” Tasya ikut menatap mobil mewah itu dari kaca spion miliknya.“Wah berarti ada bibit super tajir lainnya di kawasan kita, siapa tau jodoh Mbak, Sya!” Tisya tersenyum senang.&n
Rendi dan Tasya baru saja selesai melakukan hal terlarang itu lagi. Keduanya keluar dari kamar hotel bergandengan tangan. Sejak tadi Tasya meracau meminta agar pacarnya itu segera menangkap kembali pemulung menyebalkan itu ke dalam penjara.“Iya, Sayang! Nanti aku hubungi teman kenalan polisiku yang lain.”“Janji, ya!” rengek Tasya.“Iya, pasti,” jawab Rendi.“Makasih ya, Sayang! Hari ini kamu hebat banget. Oh iya, Ini mobil baru buat kamu!” ucap Rendi sambil menyodorkan kunci mobil pada kekasihnya.“Ini masih atas nama perusahaan Dharma Grup, Mas?” Tasya mendelik.Rendi menggeleng. Bagaimanapun semenjak k