PENJUAL REMPEYEK YANG DIHINA SAUDARA TIRINYA ITU DINIKAHI SULTAN
#MENIKAH DENGAN SULTAN (10)
Selamat Membaca!
Tanpa disangka, satu buah lemparan batu dari jauh mengenai dahi Dirman hingga berdarah. Lelaki itu menoleh ke samping, arah dari mana datangnya batu itu.
“Hey, siapa kau! Berani mencari masalah dengan saya? Kau tidak tahu siapa saya, hah?” bentak Dirman pada dua orang lelaki berpakaian lusuh. Keduanya tampak berjalan cepat menghampiri Dirman.
Rinai tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menarik tangan yang masih dipegang erat oleh Dirman. Karena tengah lengah akhirnya genggamannya terlepas. Kedua orang berpakaian lusuh itu mendekat.
Bugh!
Bugh!
Pukulan bertubi-tubi dijatuhkan pada wajah Dirman. Lelaki berbadan tambun itu terhuyung. Darah segar mengalir dari hidungnya.
Rinai menatap heran pada dua lelaki bertubuh tegap itu. Sudah dipastikan jika tidak memakai pakaian lusuh, mungkin Rinai akan mengira jika kedua lelaki itu tentara. Namun melihat pakaiannya yang jauh dari kata bagus, bahkan nyaris sama seperti dirinya. Rinai semakin takut. Dia takut jika kedua lelaki asing itu pun akan melukainya.
Rinai mengajak Harum bergegas meninggalkan kediaman mereka yang sedikit terpencil. Dia akan menuju tempat berjualan rempeyek, di mana kondisi di sana lebih ramai. Dirman tampak sempoyongan, tidak kuat melawan kedua orang berbadan tegap itu. Entah siapa mereka, akan tetapi Rinai tetap harus waspada.
Dirman yang sudah sempoyongan terdengar berteriak. Dia memaki kedua orang tak dikenalnya dan mengancam akan membawa pihak berwajib dan menangkap mereka. Lelaki bertubuh tambun itu lari terbirit-birit dengan wajah babak belur.
“Mbak Rinai! Kalian mau ke mana?!” Salah seorang pria itu berjalan cepat dan menghadang Rinai yang sudah berjarak beberapa meter menjauh dari rumahnya. Rinai tidak bisa bergerak cepat karena harus memapah ibunya yang tengah sakit.
“Kalian siapa?! Jangan pernah mengganggu kami!” teriak Rinai sambil menatap tajam lelaki bertubuh tinggi yang baru saja selesai menghajar Dirman.
“Maaf, kalian jangan takut. Kami orang baik. Kembalilah ke rumah kalian. Kasihan ibumu sedang sakit. Kami pergi!” ucap orang itu dengan wajah datar. Lalu keduanya berjalan menyusuri jalanan beraspal rusak yang ada di depan pemukiman mereka.
Rinai menatap punggung kedua orang yang berlalu itu. Hari ini entah siapa lagi malaikat yang dikirim Tuhan untuk melindunginya. Namun Rinai tetap bahagia dan bersyukur. Dia memapah kembali Harum menuju rumahnya, beruntung kini harum sudah sedikit membaik, sehingga sudah bisa berjalan seperti sedia kala. Beberapa waktu lalu, bahkan kaki Harum sempat mengalami kelumpuhan sementara sehingga membuat Rinai begitu kesulitan merawat ibunya seorang diri.
***
Wira yang tengah duduk dan menyusun semua bukti yang sudah dibuatkan menjadi sebuah susunan laporan oleh asisten kepercayaannya. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu duduk di atas kursi goyangnya sambil menatap semua laporan yang masuk dari kantor cabang. Kedua alis tebalnya saling bertaut, telunjuknya sesekali menggaruk jambang tipis yang menghiasi wajah timur tengah yang kental melekat pada parasnya. Ya, Wira memang memiliki ayah yang berasal dari campuran luar negeri, sehingga wajahnya lebih cenderung terlihat sepert blasteran.
Gawai yang ada di atas mejanya bergetar. Dia melirik sekilas, lalu diambil dan diusapnya untuk melihat pesan masuk dari siapa.
[Tuan Wira! Hari ini Dirman datang lagi ke tempat Ibu Harum dan Rinai. Dia bukan hanya kasar, akan tetapi hendak melecehkan Rinai.] Laporan dari dua orang bodyguard yang dikirimnya untuk mengawasi kediaman Rinai, sontak membuat darahnya mendidih. Lagi-lagi Dirman hendak berbuat kurang ajar pada perempuan yang sedang dikaguminya.
[Sudah dibereskan?!] tulis Wira.
[Ini hasil karya kami, Tuan!] Sederet foto Dirman yang babak belur dikirmkannya pada Wira.
Lelaki dengan jas hitam dan dasi melingkar itu menggeleng kepala. Dilihatnya foto itu satu per satu dengan seksama. Setelah mendapatkan wajah itu dengan jelas. Wira segera beralih pada laptop dan menulis pesan langsung pada Head Grup HR yang membawahi semua HRD&GA di kantor cabang.
[Dear Bu Erni,]
[Instruksi langsung dari saya. Tolong proses pemecatan secara tidak hormat pada karyawan bagian lapangan atas nama Dirman Sanjaya. Mengenai alasannya, kamu bisa diskusikan dengan Satrio. Segera!]
Email terkirim. Wira kembali beralih pada laporan yang dikirimkan Satrio yang saat ini masih berada di luar kota mengawasi project yang terindikasi terkena masalah lainnya.
Tidak berapa lama, tampak balasan cepat dari Ernia Maharani---Head Grup HR.
[Dear Pak Wira, baik … tugas akan segera kami laksanakan!]
Wira tak lagi membalas email. Dia kembali fokus dan mempelajari semua laporan keuangan atas project 100 minimarket yang sudah Rendi selesaikan. Pada waktu itu dirinya terlalu percaya pada lelaki yang sudah beberapa kali menangani project dengan jujur itu. Namun rupanya, kesempatan menggiurkan itu sudah menggadaikan harga diri seorang Rendi yang dulu dikenal jujur dan berprestasi.
Usai memeriksa semua laporan tersebut dan menggabungkan dengan hasil penelitiannya di lapangan. Wira menyandarkan tubuhnya pada singgasana kebesarannya. Dipijitnya pelipisnya, sedangkan pikirannya berlarian ke tempat kumuh di mana dia selalu melihat Rinai yang berdiri dan tersenyum menjajakan jualannya.
Tiba-tiba dirinya merindukan perempuan itu. Entah sejak kapan hatinya mulai terusik dengan sosok bersahaja seperti Rinai. Bahkan pertunangan yang sudah ada di depan mata dengan Anggelina Willy terasa hambar. Hatinya semakin tidak yakin akan melanjutkan pertunangan dengan perempuan pilihan orang tuanya itu.
Gawai Wira bergetar. Tampak pesan masuk dari Mami. Dia mengirimkan pesan pada Wira untuk pulang cepat karena akan makan malam perjamuan keluarga.
[Wira, Anggelin sudah mengabari Mami. Dia dan keluarganya bersedia memenuhi undangan Papi untuk makan malam bersama. Kami ingin membahas rencana pertunangan kalian.]
Wira mentap sederet kalimat yang dikirimkan Mami. Dia memejamkan mata dan menghadirkan senyuman Rinai untuk meyakinkan kembali hatinya. Lalu diketiknya pesan pada Mami dengan cepat.
[Mami, aku sudah menemukan perempuan yang kusukai. Dia cantik bukan hanya fisik, akan tetapi hatinya. Aku akan menghadiri makan malam ini, akan tetapi hanya untuk menegaskan kalau rencana pertunangan yang kalian rancang tidak bisa diteruskan.]
Bukan pesan balasan yang Wira terima. Akan tetapi dering panggilan dari nomor Mami. Wira segera mengangkatnya.
“Wira! Kamu becanda ‘kan, Sayang?” Terdengar suara Mami tegas dan meminta jawaban.
“Aku serius, Mi! Aku sudah menemukan perempuan yang bisa mencuri hatiku dengan kebersahajaannya. Mami jangan paksa aku untuk mengikuti kemauan kalian!” tegas Wira.
“Oke, Mami akan batalkan rencana makan malam ini. Sebagai gantinya, kamu bawa perempuan yang kamu maksud itu ke hadapan Mami. Kita ketemu di restoran yang sudah Mami telanjur sewa.” Mami berbicara tak kalah tegas.
“Tapi, Mi-“
Tut Tut Tut!
Panggilan telepon terputus. Wira menatap layar gawai yang sudah redup. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Bahkan dirinya belum bicara apapun pada Rinai. Wira tak tahu, apakah Rinai memiliki rasa yang sama juga terhadapnya? Bisakah perempuan itu menerima dirinya?
[Mi, aku minta waktu paling sedikit satu bulan untuk membawanya bertemu denganmu. Malam ini aku tak bisa datang, kalian makan malam saja dengan keluargan Anggenila karena sudah telanjur janji/ Bilang saja, aku sedang di luar kota dan tidak bisa pulang.] Akhirnya pesan itulah yang Wira kirimkan pada Mami---perempuan yang begitu dihormatinya. Gawai Wira kembali bergetar, nomor Mami kembali muncul dan melakukakan panggilan. Wira dengan sigap mengangkatnya. Baginya Mami adalah perempuan yang layak dihormati. Wira tahu semua keputusannya adalah yang terbaik untuknya. “Wira! Oke, Mami berikan kamu waktu satu bulan untuk membawa gadis yang kamu rasa bisa mendampingimu. Namun, tolong hargai Mami. Malam ini datanglah meski sebentar, Mami tidak akan membahas apapun terkait masalah pertunangan. Ini akan menjadi makan malam biasa.” Mami berkata penuh penekanan. Wira tahu, Mami t
Dua orang berseragam polisi mendekat, lalu menatap Wira dan mengeluarkan surat penangkapan. “Berdasarkan laporan dari Ibu Tasya, kami harus menangkap Anda. Silakan jelaskan semuanya di kantor polisi!” ucap polisi tersebut sambil mengeluarkan borgol. Tanpa disangka, Rinai menghadang kedua polisi itu. Dia menatap kedua lelaki berseragam itu dengan penuh permohonan. “Bapak polisi yang terhormat, tolong dengarkan penjelasan saya! Saya menjadi saksi bagaimana kejadian itu terjadi sebetulnya! Bang Wira gak salah, Tasya dan Tisya yang duluan mencari masalah. Mereka membully saya, Bang Wira hanya berusaha menolong,” ucap Rinai. Dia berharap polisi itu bisa mengerti dan mendengarkannya. Kedua sudut bibir Wira tertarik sempurna. Ada rasa yang tak bisa diartikan ketik
Wira menatap sederet tulisan itu dengan seksama. Rasa khawatir mencuat. Bagaimanapun, dirinya tidak bisa menghubungi Rinai. Gadis itu tak memiliki alat komunikasi.[Tolong cari tahu keberadaan Rinai. Saya segera kembali.]Petugas polisi tersebut baru saja menyelesaikan panggilan teleponnya. Dia berjalan dengan mimic wajah sangat terkejut.“S—selamat siang P—Pak W—Wira!” ucapnya sedikit terbata. Begitu rupanya tatanan kehidupan di sini. Hanya orang-orang yang berharta yang dianggap.Wira menatap dingin.“Jadi bagaimana, Pak? Bisakan saya di antar kembali ke tempat yang tadi?” ucap Wira datar.“Bisa, Pak! Sangat bisa. M
Mobil mewah yang dikendarai Rinai berpapasan dengan mobil xenia second yang dikendarai oleh Tasya yang baru saja pulang dari kantor polisi. Mereka tadi mampir dulu ke minimarket untuk membeli kebutuhan bulanan, sehingga datang tidak berbarengan dengan mobil polisi yang mengantar Wira pulang.“Widihhh, Sya! Mobil siapa tuh, keren bingitsss! Rendi kali, Sya?” Tisya menatap mobil SUV super mewah yang berpapasan dengan mereka.“Masa, sih Mas Rendi? Tadi baru teleponan dia lagi sibuk katanya,” Tasya ikut menatap mobil mewah itu dari kaca spion miliknya.“Wah berarti ada bibit super tajir lainnya di kawasan kita, siapa tau jodoh Mbak, Sya!” Tisya tersenyum senang.&n
Rendi dan Tasya baru saja selesai melakukan hal terlarang itu lagi. Keduanya keluar dari kamar hotel bergandengan tangan. Sejak tadi Tasya meracau meminta agar pacarnya itu segera menangkap kembali pemulung menyebalkan itu ke dalam penjara.“Iya, Sayang! Nanti aku hubungi teman kenalan polisiku yang lain.”“Janji, ya!” rengek Tasya.“Iya, pasti,” jawab Rendi.“Makasih ya, Sayang! Hari ini kamu hebat banget. Oh iya, Ini mobil baru buat kamu!” ucap Rendi sambil menyodorkan kunci mobil pada kekasihnya.“Ini masih atas nama perusahaan Dharma Grup, Mas?” Tasya mendelik.Rendi menggeleng. Bagaimanapun semenjak k
Wira mendekat, kedua polisi itu saling melirik memberikan isyarat. Tasya dengan lantang memberitahu pada kedua polisi tersebut tentang siapa yang datang. “Pak, polisi! Silakan tangkap lelaki miskin yang songong itu, Pak! Dia yang sudah merusak mobil yang dihadiahkan kekasih saya hari itu!” ucap Tasya sambil menyeringai. “J—Jangan!” pekik Rendi gemetar. Dia maju dan menepuk kedua pundak polisi yang memang temannya itu bergantian. “K—kita s—salah orang! Ayo pergi!” ucapnya gemetar. Apalagi Wira menatapnya denga tajam. Rinai menatap heran pada sosok lelaki yang sejak tadi diam itu. Bahkan tampak wajahnya pucat dan mimiknya ketakutan. Kedua polisi itu pun saling pandang, lalu menatap Rendi yang sejak awal ba
“Eh, apa maksudnya?” Wajah Rinai mulai bersemu. Dia pun bukan gadis bodoh yang tidak bisa merasakan perhatian Wira yang berlebih akhir-akhir ini.“Makanlah dulu … usai makan aku akan bicara sesuatu,” ucap Wira sambil menopang dagu dan menatap wajah manis itu yang tengah menyuap malu-malu.“Bicara saja sekarang, Bang!” Rinai menjadi gugup ditatap sedekat itu oleh Wira membuat rasa dalam dada seolah melompat-lompat tak karuan.Wira malah tersenyum, membuat Rinai semakin salah tingkah dibuatnya.“Nanti, nunggu kamu kelar makan dulu,” ucap Wira bersikukuh.“Ehmmm.” Akhirnya hanya it
Wajah Rendi memucat ketika memasuki ruangan tersebut. Tampak Wira duduk pada kursi goyang di ujung meja bundar yang tersedia. Wajahnya tampak dingin dengan rahang tegas dan tatapan bak mata elang.Di sebelah kanan Wira, duduk Satrio yang merupakan tangan kanannya. Sementara itu, di sebelah kirinya tampak Bu Ernia---Kepala HRD&GA Dhrama Grup yang sudah siap dengan setumpukkan berkas. Di samping Bu Ernia, duduk dengan wajah dingin dan mencekam Pak Handika---seorang lawyer yang selama ini membantu Dharma Grup dalam setiap pengambilan keputusan hukum.“Selamat pagi!” Rendi menyapa semuanya. Dadanya berdentum hebat. Keringat dingin terasa membasahi telapak tangannya.“Selamat pagi, Pak Rendi! Silakan duduk!” titah Bu Ernia mempersilakan Rendi yang kini bahk