Setelah membawa uang sebanyak 2 milyar itu, Aulia pergi ke rumah sakit. Dia menelusuri koridor rumah sakit, sampa dia tiba di ruang operasi, dia menghampiri seorang wanita dan memberikan uang itu kepadanya. "Ini... pakailah untuk operasi anakmu," ucap Aulia setelah memberikan uang itu kepada wanita kurus kering seperti orang yang tidak makan.
Wanita itu bernama, Sarah. Dia membawa anaknya ke rumah sakit termahal ini, RSUPN dengan dokter yang menanganinya, Dr. Cipto Mangunkusumo. Dia membawanya ke sana, hanya untuk mendapatkan perawatan yang maksimal.
Wanita itu, bukan lah yang dikenal oleh Aulia, namun pada hari itu, saat dia melihat wanita itu memohon ke bagian admistrasi agar anaknya segera mendapatkan operasi yang layak, namun karena dia tidak memiliki uang, jadi rumah sakit tidak mengijinkan anaknya untuk mendapatkan operasi. Saat dia mengingat apa yang sudah dikatakan bagian kepengurusan admistrasi rumah sakit itu.
"Maaf Bu, Kami tidak bisa melakukan tindakan operasi Hirschsprung, kepada anak ibu, karena disini tercatat, Anda belum membayar persyaratan untuk melakukan operasi." Hirschsprung merupakan operasi yang terjadi akibat adanya penyakit usus buntu
"Tapi Bu..." Dia berlutut sambil menyatukan kedua tangannya dengan suara pelan memohon. "Kumohon bantulah aku dan anakku."
"Maaf Bu, kami tidak bisa melakukannya, sebelum Anda membayar lunas biaya rumah sakit ini."
Hal itu, justru membuat hati Aulia tersentuh saat melihat perjuangan wanita itu kepada anaknya.
Itulah membuatnya sangat berani datang menemui Rey, meskipun dia sendiri tau bagaimana sikap Rey sebenarnya.
"Ibu pakailah ini! Pergilah ke bagian admistrasi rumah sakit ini, dan bayarlah kebutuhannya. Jika ada sisanya, ibu ambilkan saja untuk keperluan ibu yang lain.
"Terimakasih, Nak... Terimakasih, Nak..."
Wanita itu menangis sambil menerima uang yang berisi amplop itu. Dia membuka isi di dalamnya dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui banyak uang di dalamnya.
"Ini terlalu banyak, Nak..." Tangannya hendak meraih tangan Aulia namun Aulia lebih dulu menjauhkan tangannya. "Ambil saja, Bu... Ibu lebih membuhkan uang ini daripada saya..."
Wanita itu bersikukuh dengan menengadahkan kepalanya ke atas, melihat binar sosok yang ditatapnya itu. Sunguh mulia wanita ini, pikirnya sambil meneteskan air mata. Rasa haru yang dia rasakan akan kebaikan Aulia padanya. Membuat hati kecilnya yang pernah mengatakan manusia kaya sama saja, sama-sama tidak punya hati, namun dugaanya kali ini salah.
Aulia berbeda dengan semua orang yang pernah dia temui.
"Hatimu sungguh mulia, Nak... Semoga Tuhan memberikan kehidupan yang bahagia untukmu..."
Aulia tersenyum mendengar doa wanita itu. Dia sangat bersyukur, karena masih ada manusia yang tidak lupa dengan Tuhan walapun penderitaannya sudah terlalu banyak, sehingga siapapun yang merasakannya ingin menyerah dan melakukan hal yang tidak wajar yang justru menyakiti hati Tuhan.
Wanita ini sangat berbeda. Dia sangat baik. Kenapa dia bisa sampai mengalami hal yang mengerikan itu.
"Owh, iya... Ibu sudah makan belum?" Tanya Aulia.
"Dari tadi ibu belum makan, Nak... Darimana ibu akan mendapatkan makanan, sementara ibu sama sekkai tidak memiliki uang," jelas wanita, yang bernama Sarah.
"Ya, sudah, ibu disini saja. Biar saya yang pergi ke luar ya, Bu?"
"Iya, Nak... terimakasih."
Seseorang yang memperhatikan Aulia dari jauh tanpa disadarinya terkejut saat orang yang dilihatnya itu adalah gadis tadi yang berani datang ke kantor Tuan Rey. Ternyata gadis itu melakukan semua itu untuk sebuah tujuan, hanya untuk menyelamatkan sang anak dari wanita itu. Dia terkesan melihat kebaikan Aulia yang mau menolong wanita itu dan juga anaknya.
Dia ternyata, wanita baik-baik. Pemikiranku kepadanya selama ini salah. Dia bukan lah wanita kotor, wanita yang tergila-gila dengan uang, tapi ternyata sisi baiknya muncul tepat pria itu melihatnya di rumah sakit RSUPN, itu.
Setelah melihat semuanya, pria itu mengetok pintu lebih dulu, barulah dia masuk.
"Kamu sudah datang?"
"Iya." Jawab pria itu dingin. "Kamu tidak lapar? Kamu mau aku suapin makan?" tawar, Dion kepada wanita yang sedang terbaring lemah di tempat tidur.
Mischa hanya mengangguk. Dia membuka mulutnya lebar-lebar saat makanan itu mulai masuk ke mulutnya.
Hatinya gugup saat melihat tatapan pria itu. Tatapan mereka terkunci satu sama lain, hingga akhirnya mereka tersadarkan diri.
Ada perasaan berbeda yang dirasakan Mischa, tiap berada dekat dengan pria itu.
"Apa aku sudah move on? Ah, tidak mungkin aku menyukai pria ini. Pria ini pasti hanya tertarik kepada wanita kaya saja dan bukan seperti dirinya."
Dia mengubur dalam-dalam benih cinta yang mulai timbul pada pria itu. Dia tidak mau hatinya membohonginya ke dua kali. Terjerumus pada cinta yang salah lagi.
"Mischa... Mischa..." Panggil Dion.
Suara itu langsung membuyarkan apa yang telah dipikirkannya saat ini. Dia menjawab terbata, saat mengetahui Dion memanggilnya berulang kali.
"I...iya, Tuan, ada apa Tuan?"
Tatapan Mischa penuh arti kepada pria ini. Tapi karena pria itu seorang casanova, dan pria yang kaya, membuatnya untuk mundur secepat mungkin, sebelum hatinya kembali hancur berkeping-keping.
"Kamu makan yang banyak... Aku akan pergi dan kembali lagi ke sini setelah urusanku selesai," beritahu Dion, kemudian dia pergi.
Mischa menepuk jidatnya karena dia sudah berpikiran aneh-aneh pada pria itu.
Sungguh memalukan! Apa aku pantas mendapatkan cintanya, sedangkan aku tidak terlalu cantik dan penyakitku ini... Itu mustahil membuat dia mencintaiku.
Di perjalanan, Dion menyetir mobilnya sangat cepat. Dia melakukan itu karena Tuan Rey segera datang untuk menemuinya karena sebuah hal penting.
Sesampainya di sana... telah terjadi sesuatu yang tiba-tiba menyerang keadaan Tuan Rey dan ambruk begitu saja di lantai.
"Tuan... Tuan..." Panggil Dion kepada Tuan Rey yang sudah terbaring menutup mata di tempat tidur. Tuan Rey belum sadarkan diri. Tuan Rey tidak di bawa ke dokter karena keadaannya normal saja, tapi... Masih ada yang sangat dikawatirkan dari prria ini. Tentang penyakitnya yang sudah ada sejak dia mulai beranjak dewasa. Saat itulah dia membenci hidupnya. Bagi orang lain, dia adalah pria kejam yang tidak punya hati, tapi bagi Dion, Tuan Rey adalah segalanya.
Di Toko roti, Aulia sudah membeli roti yang mau diberikan kepada wanita itu dan juga sang anak yang ingin di operasi itu. Dia berlari cepat-cepat dan tidak melihat jalannya. Tiba-tiba dia tertabrak dengan wanita di depannya. Wanita itu membantunya saat makanan yang dibawanya berjatuhan semua. "Maaf," ucap wanita itu cepat lalu membantu mengambil makanan yang jatuh ke tanah dan memberikannya. "Aku merasa tidak asing dengan wanita ini," gumam Aulia.
Lalu dia menoleh ke atas dan ternyata...
"Rina..." Jeritnya keras.
"Kamu disini?" Seru Aulia, sangat senang.
Rina terkejut saat mendengar Aulia memanggilnya. Pertama sekali dia sangat senang, setelah beberapa hari ini tidak bertemu, Aulia. Tapi, saat menatap Aulia, Rina menjadi takut. "Aulia?" ucapnya pelan, namun terdengar jelas.
"Kamu ngapain ke sini?" Tanya Aulia antusias. Lama berpikir bagi Rina, untuk tidak menjawab sahabatnya itu, namun tidak bisa dia elakkan.
"Kamu tau aku mencarimu, ntah dari mana saja kamu, kenapa kau tidak mengangkat telepon ku?" Serbu Aulia.
"Kenapa kamu mencariku?"
"Aku ingin memberitahu malam itu, saat kita berada di Club. Malam itu telah menjadi malam yang terpahit bagiku... Kesucianku telah dinodai Rin... Itu semua gara-gara kamu!" Jelas Aulia dengan perasaan sedih dan juga marah kepada Rina yang masih tercengang itu.
Apakah perbuatanku kepada Aulia sungguh kurang ajar? Apakah Aulia semarah itu padaku? Rina terus mengingat kata-kata Aulia yang sudah menyinggung perasaannya. Sampai dia masuk ke dalam mobil dan menyuruh supirnya untuk pergi, masih saja terlintas dalam pikirannya. Seperti perkataan Aulia kepadanya sebelum Aulia meninggalkan dirinya, Aulia sudah memberikan pernyataan pahit kepadanya. "Kamu bukan lah sahabatku! Sahabat mana yang tega meninggalkan sahabatnya sendiri ke dalam jerat maut? KAU! KAULAH ORANGNYA RINA!" Hardik Aulia. Dia saat itu sangat marah. Marah kepada sahabatnya yang sangat dia sayangi. Namun perlahan dia berpikir, bahwa dirinya telah dikhianati. Kalau tidak siapa yang telah bermain api dengannya kalau bukan Rina? Malam itu Aulia merasakan tubuhnya begitu teransang, ingin mendapatkan langsung sentuhan pria. Rina perlahan mengingat kejadian malam itu. Dia mengingat betul kalau dirinya mencari Aulia, sahabatnya d
"Aku benci semua pria! Aku benci semua yang berkaitan tentang pria!" Pekik Aulia sambil berjalan menyusuri setiap perjalanan menuju rumahnya. Di malam yang gelap dengan diiringi beberapa lampu di jalanan membuat jalan itu sedikit terang dengan dibantu cahaya bintang-bintang yang ada di atas langit. Dia begitu hancur dengan semua yang terjadi padanya. Tidak disangka kalau dia akan merasakan pahit sejauh ini. Padahal dirinya dulu hanya meminta untuk menjadi seorang gadis yang didambakan oleh semua pria, namun sayangnya semua harapan itu telah sirna. "Aku benci Rina! Aku benci persahabatan yang palsu! Aku tidak ingin memiliki seorang sahabat lagi. Sudah cukup aku dikhianati oleh sahabatku sendiri," ucap Aulia sembari air mata itu terus setia membasahi pipinya. Semua terjadi begitu saja. Andai aku tidak ikut hari itu, mungkin aku tidak akan mengalami hal pahit ini. Rina... mengapa kau tega? Kau tega meninggalkankan
"Kenapa kau begitu marah?" Tanya pria itu sedikit kasihan kepada Aulia yang tengah menangis tidak henti-hentinya sedari tadi. "Tidak apa-apa," jawab Aulia ketus. Dia memasang muka masam kepada Novan yang terus meliriknya. "Kalau tidak apa-apa, jangan sedih lagi dong. Kasihan wajahmu jadi korban dari tangisanmu. Lama-lama wajahmu jadi jelek seperti badut. Lumayan menghibur, eh taunya jadi menakutkan," ujar pria itu sambil menyeringai puas. Saat matanya tertuju pada wajah yang menyedihkan itu sudah lumayan membaik, dia pun merasa tenang. Air mata itu sudah kering dari pipinya. Kini dia kembali normal seperti biasa. Semua rasa sakit itu perlahan hilang semenjak pria itu menghiburnya. "Siapa namamu?" Tanya Aulia sembari menoleh ke arah pria itu yang tengah sibuk menyetir. "Apakah namaku perlu kau ketahui?" Ucapnya dengan menoleh ke arah Aulia sebentar, setelah itu dia pun berpaling. Kecantikan Aulia sungguh membuatnya han
“kamu terlihat sangat cantik malam ini...” Goda sekretaris Dion dengan tatapan liar. Dia terus memainkan jemarinya menelusuri celah lembut gadis itu. Dia menindihnya seraya tidak mau lepas dari setiap sentuhannya kepada gadis yang masih berada di bawahnya. “Tuan, jangan lakukan! Aku takut itu akan sakit,” tolak Lusi. Pria itu dengan bebas memberi sebuah cap di bagian tengkuk dan juga payudaranya. Dia tidak menyangka tubuh gadis itu sangat harum dan nikmat. Dia melakukannya dengan liar, meskipun Lusi tengah menahan sebelah tangannya yang ingin memasuki celah lembut Lusi. “Ini tidak akan sakit,” ucap pria itu seraya meyakinkan Lusi untuk setiap sentuhan yang dia berikan kepada gadis yang baru saja mencapai klimaksnya. “Ahhh,” erang Lusi dengan kenikmatan yang luar biasa dia dapatkan saat satu sampai dua jari pria itu telah memasuki celah lembutnya. Tangan kirinya meremas payudara gadis itu sambil mulutnya memil
"Aulia?" Panggil Reyna pada adiknya itu, yang masih terlelap di atas ranjang. Sudah pukul tujuh gadis itu belum beranjak bangun dari tidurnya. "Apakah dia masih bermimpi? Alarmnya terus berbunyi, tapi gadis ini belum bangun-bangun juga, apa yang sedang terjadi padanya. Jangan bilang kalau dia sudah mati," ucap Reyna asal dengan memperhatikan tubuh adiknya yang masih terbaring di atas ranjang. "Aulia?" Panggilnya, mengulangi suaranya dengan agak sedikit keras, sehingga isi kamar itu diisi sepenuhnya oleh suaranya sendiri. Tidak biasanya adiknya itu bangun kesiangan seperti itu. Apakah Aulia sedang sakit? Jika iya, aku harus apa... Tidak aku akan memeriksa keadaannya dulu. Reyna mendekati tubuh Aulia yang masih tertidur itu, seraya ingin memastikan apakah adiknya itu baik-baik saja. "Aulia?" Ucapnya mengulangi kata-kata yang sama pada adiknya itu. Tangannya memegang bagian keningnya, seraya ingin merasakan apakah tubuhnya
"Kenapa dia belum datang-datang juga?" Tanya seorang pria yang sedari tadi menunggu kedatangan Aulia mulai dari pukul enam. Dan sekarang sudah pukul sembilan, tetapi gadis yang dia tunggu-tunggu itu tidak muncul juga di hadapannya.***"Sekretaris Dion! Kau seharian ini dari mana saja? Apa kau sudah lupa dengan tugasmu?" Ucap Tuan Rey, tatapannya yang tajam tertuju kepada sekretaris Dion yang tengah berdiri di dekat pintu kamarnya.Pria itu menemui Tuan Rey, karena Tuan Rey sendiri yang meminta. Sebab, dia telah tiada kabar yang membuat Tuan Rey harus mengerjakan sendiri semua tugas yang menumpuk selama satu hari."Maaf, Tuan. Saya habis melakukan kesalahan lagi, kesalahan yang tidak bisa dimaafkan oleh Tuan Rey. Saya salah, mohon maafkan saya," ucapnya lirih seolah tidak ingin Tuan Rey salah menebak kalau dia bicara dengan nada tinggi, Tuan Rey akan akan mengira kalau dirinya tengah memberontak."Saya akan maafkan. Tapi dengan satu sya
"Aulia, kamu sudah sadar?" Tanya Reyna langsung menghampiri adiknya itu. "Emangnya aku kenapa, Kak?" Tanya Aulia heran. Dia bingung dengan apa yang sudah terjadi dengannya. Saat dia bangun tadi, hanya sebuah kain yang terletak di atas kepalanya. Selebihnya, dia hanya melihat setiap sudut kamar itu dalam keadaan masih pusing di kepalanya. "Kak... Kenapa Kakak diam saja?" "Nggak apa-apa kok Al, cuma kamunya kecapaian aja kata dokter Harun. Kau hanya butuh istirahat," jelas Reyna. Rasa khawatir yang berlebihan dalam pikirannya, kini sudah agak lebih baik. Aulia tidak terjadi apa-apa padanya. "Mama sekarang ada dimana, Kak?" Reyna mendelik. "Apa kau baru saja mengatakan Mama?" "Iya, Kak... Aulia juga tidak ingin berlama-lama untuk membenci Mama. Jika Aulia masih membencinya sekarang, itu bukan aku, Kak, aku masih punya hati untuk memaafkannya," jawab Aulia. "Bagus dek." *** Seorang pria yang bertemu dengan Aulia saat itu, terus menunggu Aulia keluar dari simpang itu, namun gadis
"Bi?" panggil Tuan Rey kepada Bi Atun yang masih sibuk merapikan meja usai mereka makan tadi. Hari ini Tuan Rey merasa makanan yang telah dibuat oleh Bi Atun itu terasa enak. Terlihat berbeda sekali saat pria itu makan dengan sangat lahap, sampai tidak tertinggal sebiji nasi pun di piringnya. Dia mendekat ke arah tempat duduk dimana Tuan Rey duduk di antara pertengahan meja panjang. Tuan Rey memang selalu duduk di sana untuk membuat perbedaan bahwa dialah penguasa dan tak bisa disamaratakan dengan siapapun."Iya, ada apa, Tuan? Kenapa tiba-tiba Tuan memanggilku?" tanya Bi Atun penasaran. Setengah kesadaran normalnya juga mengatakan bahwa saat ini dia merasa takut. Kalau sampai Tuan Rey marah padanya atas sikapnya yang tentunya belum dia ketahui apa kesalahannya itu."Masakan Bi Atun kali ini sangat enak. Aku sangat suka menu makanan hari ini," puji Tuhan Rey tanpa ada sedikitpun lekukan senyum di wajahnya. Pria itu memang sangat sulit untuk jatuh cinta. Dia terlalu bergelut dalam e