Apakah perbuatanku kepada Aulia sungguh kurang ajar? Apakah Aulia semarah itu padaku?
Rina terus mengingat kata-kata Aulia yang sudah menyinggung perasaannya. Sampai dia masuk ke dalam mobil dan menyuruh supirnya untuk pergi, masih saja terlintas dalam pikirannya.
Seperti perkataan Aulia kepadanya sebelum Aulia meninggalkan dirinya, Aulia sudah memberikan pernyataan pahit kepadanya.
"Kamu bukan lah sahabatku! Sahabat mana yang tega meninggalkan sahabatnya sendiri ke dalam jerat maut? KAU! KAULAH ORANGNYA RINA!" Hardik Aulia. Dia saat itu sangat marah. Marah kepada sahabatnya yang sangat dia sayangi. Namun perlahan dia berpikir, bahwa dirinya telah dikhianati.
Kalau tidak siapa yang telah bermain api dengannya kalau bukan Rina?
Malam itu Aulia merasakan tubuhnya begitu teransang, ingin mendapatkan langsung sentuhan pria.
Rina perlahan mengingat kejadian malam itu. Dia mengingat betul kalau dirinya mencari Aulia, sahabatnya di tengah-tengah kegelapan Club itu. Sampai-sampai dia ditiduri pria yang tidak dikenalnya. Iya. Dia telah diperkosa.
Malam itu, saat Aulia tidak ada di tempat dimana duduk, Rina langsung mencari Aulia ke seluruh Club, namun dia tidak menemukan keberadaan Aulia. Sampai tiba-tiba ada seorang pria yang tengah mabuk, memeluknya dari belakang. Dia membawa paksa Rina masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan Club tersebut. Dia terus melawan, tapi perlawanannya sia-sia. Sebab pria itu sangat kuat.
Kesucian wanita itu telah direnggut oleh pria yang tidak dikenalnya. Saat diperkosa, Rina pingsan. Dia tidak tahan. Pria itu memperlakukan dirinya sangat bringas. Tidak memberikan napas sedikitpun saat pria itu melumat habis bibirnya. Secara bergantian dia terus bercumbu di tubuhnya Rina yang tak kuat lagi menahan rasa sakit itu. Berlinang air mata menetes di pipinya. Dia sempat berteriak meminta tolong kepada orang-orang di luar, tapi itu semua sia-sia.
Pria itu mulai memasukkan keperkasaannya ke dalam lubang milik Rina. Terasa sempit. Pria itu terus mengerang kenikmatan, sedangkan Rina sendiri merasakan nyeri pada bagian bawahnya. Baru pertama dia melakukan itu. Dia bersusah payah menjaganya dan akhirnya direnggut pria itu.
Tidak tahan dengan perlakuan pria itu yang kasar memompa keperkasaannya, Rina pingsan.
Meskipun tau Rina telah pingsan, pria itu tetap melakukannya sampai dia puas akhirnya.
Pagi Rina bangun, dilihatnya tubuhnya penuh dengan tanda merah, terlihat dengan tatapan lesuh ada bercak darah di atas sprei warna putih, tanda keperawanan wanita itu telah pecah.
Dia menangis kuat. Dia berteriak di dalam kamar itu. Seketika dia melihat sebuah amplop bertuliskan kata maaf dan selembar cek uang senilai 50 juta untuknya.
Dia melempar uang itu jauh-jauh darinya, "Tidak ini yang aku inginkan, hiks... hiks..."
Dia menjerit dan hampir bunuh diri. Dia mengambil sebuah gunting di atas meja dan hendak menusuk perutnya, namun tindakannya itu dihentikan oleh pria yang bekerja sebagai cleaning service di Club itu.
"Hentikan Mbak! Jangan lakukan itu!" Teriak seorang pria yang langsung mengambil gunting itu dari tangan Rina.
"Tapi mengapa, Ha? Hiks.. hikss,"
Dia tidak bisa menahan amarah yang ada dalam dirinya saat ini. Betapa hancurnya dirinya sekarang. Dia telah kehilangan kehormatan pada dirinya. Padahal sebentar lagi dia akan bertunangan dengan kekasihnya. Bagaimana dia akan menjelaskan semuanya nanti kepada kekasihnya itu?
"Bunuh diri tidak akan memberikan jalan keluar Mbak, Mbak harus kuat! Mbak nggak boleh putus asa seperti ini," ucap pria itu.
"Tapi..."
Pria itu tidak membiarkan Rina bicara lagi. Dia memeluk Rina erat. "Ada aku, Mbak," tuturnya.
Siapalah dia yang mengatakan dirinya akan selalu ada buat Rina, sedangkan tugasnya adalah cleaning service. Tapi Rina mulai berhenti menangis saat dia bersandar di pundak pria itu.
Dia menerima segalanya yang diucapkan pria itu dengan lapang dada.
Pokoknya aku akan mencari tau siapa pria yang sudah meniduriku. Aku harus mencarinya, kemanapun dia berada, aku akan pastikan dia akan kutemukan.
Janji Rina dalam hatinya.
Hatinya pilu saat mengingat kejadian itu. Dia lalu merasa hatinya terbakar amarah setelah mendengar Aulia juga merasakan apa yang sudah dialaminya. Kini hatinya hancur berkeping-keping. Dia telah membawa sahabatnya sendiri ke dalam kehancuran. Jika dirinya saja yang hancur, tidak apa-apa, tapi sahabatnya juga mengalaminya.
Dia menghindar dari Aulia, karena dia sendiri belum siap menemui sahabatnya itu, dengan semua yang terjadi padanya.
Dia terus menangis di dalam mobil, sehingga supirnya yang melihat keadaan majikannya itu merasa kasihan. Dialah orang yang pertama mengetahui kalau majikannya sudah diperkosa. Dia tidak memberitahukan kepada yang lainnya, karena Rina, majikannya melarangnya untuk memberitahukan masalah yang menimpanya itu, terutama pada Aulia.
***
Tuan Rey telah sadar. Dia membuka matanya dan mendapati Dion tengah tidur di atas meja.
"Aww..."
Tuan Rey meringis kesakitan saat infus di tangannya lepas.
Dion langsung datang mendekat saat mengetahui Tuan Rey telah bangun. "Tuan, hati-hati!" Ucapnya merasa khawatir.
"Kenapa aku disini?" Tanya Tuan Rey kepada Dion yang sedang menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran itu dan harus disembunyikan dari Tuan Rey.
"Tuan Rey tadi pingsan. Tapi itu hal biasa kata Dokter," jelasnya berbohong.
Dokter tadi sudah menjelaskan kepada Dion, kalau Tuan Rey tidak boleh syok. Kalau tidak dia akan terkena serangan jantung.
Dion harus menutupi penyakit yang diderita oleh Tuan Rey. Bagaimanapun caranya dia harus menutupinya. Seberapa banyak pun konsekuensi yang diterimanya akibah kebohongannya itu.
"Kata Dokter, Tuan boleh bekerja kalau keadaan Tuan sudah benar-benar pulih."
Dion menyuapi Tuan Rey dengan penuh perhatian. Dia sangat menghormati pria yang merupakan adalah atasannya sendiri.
Tidak boleh ada terjadi kepada Tuan Rey, kalau sampai terjadi sesuatu padanya, Tuan Rey tidak akan memaafkan dirinya seumur hidupnya.
Tiba-tiba dering teleponnya berbunyi. Dari Rumah Sakit yang menangani Mischa.
"Halo, selamat sore, Pak..."
Ucap resepsionis Rumah Sakit RSUPN dari seberang telepon.
"Halo." Jawab, Dion singkat.
"Maaf, Pak... Apa ini dengan Bapak Dion?"
"Iya..."
Perasaan Dion sudah tidak tenang.
Kenapa tiba-tiba memanggilku? Apa terjadi sesuatu pada Mischa?
"Begini Pak, pasien dengan nama Nona Mischa keadaannya tiba-tiba menurun Pak, sepertinya itu dikarenakan darahnya yang rendah. Bapak segera kesini dan membawakan orang yang akan menjadi pendonor Nona Mischa," jelas resepsionis itu.
Dion memutus sambungan telepon. Dia langsung permisi pada Tuan Rey dan berlari cepat sebelum lift tutup. Dia sempat masuk. Dia sangat khawatir dengan keaadan Mischa.
Sesampainya di Rumah Sakit, dia bertemu dengan Aulia yang sedang menunggu di luar ruang operasi. Dia raut wajahnya dia terlihat khawatir.
Dion meneruskan langkah kakinya cepat. Wanita itu sedang membutuhkannya saat ini. Tidak ada waktu untuk memikirkan Aulia. Yang dia pikirkan adalah keselamatan Mischa.
Dia sampai dan melihat di ruangan itu telah ada Dokter dan Perawat yang tengah menangani Mischa.
"Mischa... Bertahanlah. Aku tau kamu kuat. Jangan menyerah," harapnya.
Dia melihat Mischa yang terbaring lemah dengan memakaikan infus di tangannya dan juga regulator oksigen untuk membantunya bernapas.
Dia segera menelepon pria yang mau mendonorkan darahnya kepada Mischa. Pria itu mengatakan, kalau dirinya akan sampai di sana tepat waktu.
"Aku benci semua pria! Aku benci semua yang berkaitan tentang pria!" Pekik Aulia sambil berjalan menyusuri setiap perjalanan menuju rumahnya. Di malam yang gelap dengan diiringi beberapa lampu di jalanan membuat jalan itu sedikit terang dengan dibantu cahaya bintang-bintang yang ada di atas langit. Dia begitu hancur dengan semua yang terjadi padanya. Tidak disangka kalau dia akan merasakan pahit sejauh ini. Padahal dirinya dulu hanya meminta untuk menjadi seorang gadis yang didambakan oleh semua pria, namun sayangnya semua harapan itu telah sirna. "Aku benci Rina! Aku benci persahabatan yang palsu! Aku tidak ingin memiliki seorang sahabat lagi. Sudah cukup aku dikhianati oleh sahabatku sendiri," ucap Aulia sembari air mata itu terus setia membasahi pipinya. Semua terjadi begitu saja. Andai aku tidak ikut hari itu, mungkin aku tidak akan mengalami hal pahit ini. Rina... mengapa kau tega? Kau tega meninggalkankan
"Kenapa kau begitu marah?" Tanya pria itu sedikit kasihan kepada Aulia yang tengah menangis tidak henti-hentinya sedari tadi. "Tidak apa-apa," jawab Aulia ketus. Dia memasang muka masam kepada Novan yang terus meliriknya. "Kalau tidak apa-apa, jangan sedih lagi dong. Kasihan wajahmu jadi korban dari tangisanmu. Lama-lama wajahmu jadi jelek seperti badut. Lumayan menghibur, eh taunya jadi menakutkan," ujar pria itu sambil menyeringai puas. Saat matanya tertuju pada wajah yang menyedihkan itu sudah lumayan membaik, dia pun merasa tenang. Air mata itu sudah kering dari pipinya. Kini dia kembali normal seperti biasa. Semua rasa sakit itu perlahan hilang semenjak pria itu menghiburnya. "Siapa namamu?" Tanya Aulia sembari menoleh ke arah pria itu yang tengah sibuk menyetir. "Apakah namaku perlu kau ketahui?" Ucapnya dengan menoleh ke arah Aulia sebentar, setelah itu dia pun berpaling. Kecantikan Aulia sungguh membuatnya han
“kamu terlihat sangat cantik malam ini...” Goda sekretaris Dion dengan tatapan liar. Dia terus memainkan jemarinya menelusuri celah lembut gadis itu. Dia menindihnya seraya tidak mau lepas dari setiap sentuhannya kepada gadis yang masih berada di bawahnya. “Tuan, jangan lakukan! Aku takut itu akan sakit,” tolak Lusi. Pria itu dengan bebas memberi sebuah cap di bagian tengkuk dan juga payudaranya. Dia tidak menyangka tubuh gadis itu sangat harum dan nikmat. Dia melakukannya dengan liar, meskipun Lusi tengah menahan sebelah tangannya yang ingin memasuki celah lembut Lusi. “Ini tidak akan sakit,” ucap pria itu seraya meyakinkan Lusi untuk setiap sentuhan yang dia berikan kepada gadis yang baru saja mencapai klimaksnya. “Ahhh,” erang Lusi dengan kenikmatan yang luar biasa dia dapatkan saat satu sampai dua jari pria itu telah memasuki celah lembutnya. Tangan kirinya meremas payudara gadis itu sambil mulutnya memil
"Aulia?" Panggil Reyna pada adiknya itu, yang masih terlelap di atas ranjang. Sudah pukul tujuh gadis itu belum beranjak bangun dari tidurnya. "Apakah dia masih bermimpi? Alarmnya terus berbunyi, tapi gadis ini belum bangun-bangun juga, apa yang sedang terjadi padanya. Jangan bilang kalau dia sudah mati," ucap Reyna asal dengan memperhatikan tubuh adiknya yang masih terbaring di atas ranjang. "Aulia?" Panggilnya, mengulangi suaranya dengan agak sedikit keras, sehingga isi kamar itu diisi sepenuhnya oleh suaranya sendiri. Tidak biasanya adiknya itu bangun kesiangan seperti itu. Apakah Aulia sedang sakit? Jika iya, aku harus apa... Tidak aku akan memeriksa keadaannya dulu. Reyna mendekati tubuh Aulia yang masih tertidur itu, seraya ingin memastikan apakah adiknya itu baik-baik saja. "Aulia?" Ucapnya mengulangi kata-kata yang sama pada adiknya itu. Tangannya memegang bagian keningnya, seraya ingin merasakan apakah tubuhnya
"Kenapa dia belum datang-datang juga?" Tanya seorang pria yang sedari tadi menunggu kedatangan Aulia mulai dari pukul enam. Dan sekarang sudah pukul sembilan, tetapi gadis yang dia tunggu-tunggu itu tidak muncul juga di hadapannya.***"Sekretaris Dion! Kau seharian ini dari mana saja? Apa kau sudah lupa dengan tugasmu?" Ucap Tuan Rey, tatapannya yang tajam tertuju kepada sekretaris Dion yang tengah berdiri di dekat pintu kamarnya.Pria itu menemui Tuan Rey, karena Tuan Rey sendiri yang meminta. Sebab, dia telah tiada kabar yang membuat Tuan Rey harus mengerjakan sendiri semua tugas yang menumpuk selama satu hari."Maaf, Tuan. Saya habis melakukan kesalahan lagi, kesalahan yang tidak bisa dimaafkan oleh Tuan Rey. Saya salah, mohon maafkan saya," ucapnya lirih seolah tidak ingin Tuan Rey salah menebak kalau dia bicara dengan nada tinggi, Tuan Rey akan akan mengira kalau dirinya tengah memberontak."Saya akan maafkan. Tapi dengan satu sya
"Aulia, kamu sudah sadar?" Tanya Reyna langsung menghampiri adiknya itu. "Emangnya aku kenapa, Kak?" Tanya Aulia heran. Dia bingung dengan apa yang sudah terjadi dengannya. Saat dia bangun tadi, hanya sebuah kain yang terletak di atas kepalanya. Selebihnya, dia hanya melihat setiap sudut kamar itu dalam keadaan masih pusing di kepalanya. "Kak... Kenapa Kakak diam saja?" "Nggak apa-apa kok Al, cuma kamunya kecapaian aja kata dokter Harun. Kau hanya butuh istirahat," jelas Reyna. Rasa khawatir yang berlebihan dalam pikirannya, kini sudah agak lebih baik. Aulia tidak terjadi apa-apa padanya. "Mama sekarang ada dimana, Kak?" Reyna mendelik. "Apa kau baru saja mengatakan Mama?" "Iya, Kak... Aulia juga tidak ingin berlama-lama untuk membenci Mama. Jika Aulia masih membencinya sekarang, itu bukan aku, Kak, aku masih punya hati untuk memaafkannya," jawab Aulia. "Bagus dek." *** Seorang pria yang bertemu dengan Aulia saat itu, terus menunggu Aulia keluar dari simpang itu, namun gadis
"Bi?" panggil Tuan Rey kepada Bi Atun yang masih sibuk merapikan meja usai mereka makan tadi. Hari ini Tuan Rey merasa makanan yang telah dibuat oleh Bi Atun itu terasa enak. Terlihat berbeda sekali saat pria itu makan dengan sangat lahap, sampai tidak tertinggal sebiji nasi pun di piringnya. Dia mendekat ke arah tempat duduk dimana Tuan Rey duduk di antara pertengahan meja panjang. Tuan Rey memang selalu duduk di sana untuk membuat perbedaan bahwa dialah penguasa dan tak bisa disamaratakan dengan siapapun."Iya, ada apa, Tuan? Kenapa tiba-tiba Tuan memanggilku?" tanya Bi Atun penasaran. Setengah kesadaran normalnya juga mengatakan bahwa saat ini dia merasa takut. Kalau sampai Tuan Rey marah padanya atas sikapnya yang tentunya belum dia ketahui apa kesalahannya itu."Masakan Bi Atun kali ini sangat enak. Aku sangat suka menu makanan hari ini," puji Tuhan Rey tanpa ada sedikitpun lekukan senyum di wajahnya. Pria itu memang sangat sulit untuk jatuh cinta. Dia terlalu bergelut dalam e
Seorang wanita berusia 35 tahun bernama Sheira Anisa sedang berjalan di tengah kegelapan Kota Bandung. Dia dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Setelah beberapa menit berjalan, tiba-tiba dia melihat seorang gadis kecil yang sangat cantik, umurnya kira-kira dua belas tahun. Gadis tersebut tergeletak tak berdaya di dekat pemberhentian rel kereta api dari Bandung ke Batavia. Entah sudah berapa lama dia berada di situ. Sheira segera mendekati gadis kecil itu sebelum kereta api datang. Kebetulan sekali kereta api belum datang hingga membuat gadis kecil itu tewas akibat landasan kereta api tersebut."Nak, Nak!" panggil Sheira sambil mengguncang-guncang tubuh gadis mungil itu, tetapi tidak ada respon. Sheira panik, dia ingin menelepon ambulans tetapi baterai ponselnya habis. Tak ada pilihan lagi, dia segera menggeser tubuh gadis itu dengan sekuat tenaganya agar terhindar dari rel kereta api yang sangat berbahaya itu.Beruntung sekali gadis itu tidak terjadi sesuatu padanya. Mungkin saja di