"Kenapa kau begitu marah?" Tanya pria itu sedikit kasihan kepada Aulia yang tengah menangis tidak henti-hentinya sedari tadi.
"Tidak apa-apa," jawab Aulia ketus. Dia memasang muka masam kepada Novan yang terus meliriknya.
"Kalau tidak apa-apa, jangan sedih lagi dong. Kasihan wajahmu jadi korban dari tangisanmu. Lama-lama wajahmu jadi jelek seperti badut. Lumayan menghibur, eh taunya jadi menakutkan," ujar pria itu sambil menyeringai puas.
Saat matanya tertuju pada wajah yang menyedihkan itu sudah lumayan membaik, dia pun merasa tenang.
Air mata itu sudah kering dari pipinya. Kini dia kembali normal seperti biasa. Semua rasa sakit itu perlahan hilang semenjak pria itu menghiburnya.
"Siapa namamu?" Tanya Aulia sembari menoleh ke arah pria itu yang tengah sibuk menyetir.
"Apakah namaku perlu kau ketahui?" Ucapnya dengan menoleh ke arah Aulia sebentar, setelah itu dia pun berpaling. Kecantikan Aulia sungguh membuatnya han
Silahkan beri rate 5 dan vote yaa, terimaksih karena sudah mampir para readers ku, semoga kalian betah yaa♥️♥️
“kamu terlihat sangat cantik malam ini...” Goda sekretaris Dion dengan tatapan liar. Dia terus memainkan jemarinya menelusuri celah lembut gadis itu. Dia menindihnya seraya tidak mau lepas dari setiap sentuhannya kepada gadis yang masih berada di bawahnya. “Tuan, jangan lakukan! Aku takut itu akan sakit,” tolak Lusi. Pria itu dengan bebas memberi sebuah cap di bagian tengkuk dan juga payudaranya. Dia tidak menyangka tubuh gadis itu sangat harum dan nikmat. Dia melakukannya dengan liar, meskipun Lusi tengah menahan sebelah tangannya yang ingin memasuki celah lembut Lusi. “Ini tidak akan sakit,” ucap pria itu seraya meyakinkan Lusi untuk setiap sentuhan yang dia berikan kepada gadis yang baru saja mencapai klimaksnya. “Ahhh,” erang Lusi dengan kenikmatan yang luar biasa dia dapatkan saat satu sampai dua jari pria itu telah memasuki celah lembutnya. Tangan kirinya meremas payudara gadis itu sambil mulutnya memil
"Aulia?" Panggil Reyna pada adiknya itu, yang masih terlelap di atas ranjang. Sudah pukul tujuh gadis itu belum beranjak bangun dari tidurnya. "Apakah dia masih bermimpi? Alarmnya terus berbunyi, tapi gadis ini belum bangun-bangun juga, apa yang sedang terjadi padanya. Jangan bilang kalau dia sudah mati," ucap Reyna asal dengan memperhatikan tubuh adiknya yang masih terbaring di atas ranjang. "Aulia?" Panggilnya, mengulangi suaranya dengan agak sedikit keras, sehingga isi kamar itu diisi sepenuhnya oleh suaranya sendiri. Tidak biasanya adiknya itu bangun kesiangan seperti itu. Apakah Aulia sedang sakit? Jika iya, aku harus apa... Tidak aku akan memeriksa keadaannya dulu. Reyna mendekati tubuh Aulia yang masih tertidur itu, seraya ingin memastikan apakah adiknya itu baik-baik saja. "Aulia?" Ucapnya mengulangi kata-kata yang sama pada adiknya itu. Tangannya memegang bagian keningnya, seraya ingin merasakan apakah tubuhnya
"Kenapa dia belum datang-datang juga?" Tanya seorang pria yang sedari tadi menunggu kedatangan Aulia mulai dari pukul enam. Dan sekarang sudah pukul sembilan, tetapi gadis yang dia tunggu-tunggu itu tidak muncul juga di hadapannya.***"Sekretaris Dion! Kau seharian ini dari mana saja? Apa kau sudah lupa dengan tugasmu?" Ucap Tuan Rey, tatapannya yang tajam tertuju kepada sekretaris Dion yang tengah berdiri di dekat pintu kamarnya.Pria itu menemui Tuan Rey, karena Tuan Rey sendiri yang meminta. Sebab, dia telah tiada kabar yang membuat Tuan Rey harus mengerjakan sendiri semua tugas yang menumpuk selama satu hari."Maaf, Tuan. Saya habis melakukan kesalahan lagi, kesalahan yang tidak bisa dimaafkan oleh Tuan Rey. Saya salah, mohon maafkan saya," ucapnya lirih seolah tidak ingin Tuan Rey salah menebak kalau dia bicara dengan nada tinggi, Tuan Rey akan akan mengira kalau dirinya tengah memberontak."Saya akan maafkan. Tapi dengan satu sya
"Aulia, kamu sudah sadar?" Tanya Reyna langsung menghampiri adiknya itu. "Emangnya aku kenapa, Kak?" Tanya Aulia heran. Dia bingung dengan apa yang sudah terjadi dengannya. Saat dia bangun tadi, hanya sebuah kain yang terletak di atas kepalanya. Selebihnya, dia hanya melihat setiap sudut kamar itu dalam keadaan masih pusing di kepalanya. "Kak... Kenapa Kakak diam saja?" "Nggak apa-apa kok Al, cuma kamunya kecapaian aja kata dokter Harun. Kau hanya butuh istirahat," jelas Reyna. Rasa khawatir yang berlebihan dalam pikirannya, kini sudah agak lebih baik. Aulia tidak terjadi apa-apa padanya. "Mama sekarang ada dimana, Kak?" Reyna mendelik. "Apa kau baru saja mengatakan Mama?" "Iya, Kak... Aulia juga tidak ingin berlama-lama untuk membenci Mama. Jika Aulia masih membencinya sekarang, itu bukan aku, Kak, aku masih punya hati untuk memaafkannya," jawab Aulia. "Bagus dek." *** Seorang pria yang bertemu dengan Aulia saat itu, terus menunggu Aulia keluar dari simpang itu, namun gadis
"Bi?" panggil Tuan Rey kepada Bi Atun yang masih sibuk merapikan meja usai mereka makan tadi. Hari ini Tuan Rey merasa makanan yang telah dibuat oleh Bi Atun itu terasa enak. Terlihat berbeda sekali saat pria itu makan dengan sangat lahap, sampai tidak tertinggal sebiji nasi pun di piringnya. Dia mendekat ke arah tempat duduk dimana Tuan Rey duduk di antara pertengahan meja panjang. Tuan Rey memang selalu duduk di sana untuk membuat perbedaan bahwa dialah penguasa dan tak bisa disamaratakan dengan siapapun."Iya, ada apa, Tuan? Kenapa tiba-tiba Tuan memanggilku?" tanya Bi Atun penasaran. Setengah kesadaran normalnya juga mengatakan bahwa saat ini dia merasa takut. Kalau sampai Tuan Rey marah padanya atas sikapnya yang tentunya belum dia ketahui apa kesalahannya itu."Masakan Bi Atun kali ini sangat enak. Aku sangat suka menu makanan hari ini," puji Tuhan Rey tanpa ada sedikitpun lekukan senyum di wajahnya. Pria itu memang sangat sulit untuk jatuh cinta. Dia terlalu bergelut dalam e
Seorang wanita berusia 35 tahun bernama Sheira Anisa sedang berjalan di tengah kegelapan Kota Bandung. Dia dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Setelah beberapa menit berjalan, tiba-tiba dia melihat seorang gadis kecil yang sangat cantik, umurnya kira-kira dua belas tahun. Gadis tersebut tergeletak tak berdaya di dekat pemberhentian rel kereta api dari Bandung ke Batavia. Entah sudah berapa lama dia berada di situ. Sheira segera mendekati gadis kecil itu sebelum kereta api datang. Kebetulan sekali kereta api belum datang hingga membuat gadis kecil itu tewas akibat landasan kereta api tersebut."Nak, Nak!" panggil Sheira sambil mengguncang-guncang tubuh gadis mungil itu, tetapi tidak ada respon. Sheira panik, dia ingin menelepon ambulans tetapi baterai ponselnya habis. Tak ada pilihan lagi, dia segera menggeser tubuh gadis itu dengan sekuat tenaganya agar terhindar dari rel kereta api yang sangat berbahaya itu.Beruntung sekali gadis itu tidak terjadi sesuatu padanya. Mungkin saja di
Mischa sekarang sudah agak lebih baik. Dia telah menerima donor darah dari seorang pria paruh baya yang tidak dikenalnya namun sesuai dengan golongan darahnya, 'AB negatif'. Dia juga telah berhasil menjalani operasi tumor otak dengan lancar dan baru saja sadar dari komanya kemudian senyum manis mulai muncul di lekukan wajahnya, saat mengetahui sekretaris Dion tengah tertidur pulas di sofa. Kalau saja bukan karena sekretaris Dion yang berusaha menyelamatkan nyawanya, ntah seperti apa nasibnya belakangan ini.Selama dia berada di rumah sakit, sekretaris Dion selalu menjenguk dirinya. Tentu saja setiap gadis manapun yang terus dijaga dan diperhatikan akan terbawa perasaan karena itu. Namun, bagaimana kamu menanggapinya, jika seseorang yang telah membawamu hanyut dalam buaian cinta, ternyata hanya menganggapmu sebagai seorang sesama manusia yang memanusiakan manusia?Mischa sangat tertarik dengan sekretaris Dion yang terus menjaganya hingga sampai sekarang, dia bisa sembuh dari sakitnya. D
Sekretaris Dion kembali ke dalam ruangan inap tempat Mischa dirawat. Dia ingin menyampaikan sesuatu yang harus diketahui oleh Mischa tentang dirinya, bahwasannya dia tidak bisa lagi datang ataupun melihat gadis itu, dikarenakan dia tidak punya waktu lagi untuk berlenga-lenga karena banyaknya tugas yang akan dia selesaikan. Dengan berat hati, dia memasuki ruangan dimana Mischa tengah menangis keras saat itu. Saat dia datang kembali, Mischa yang menyadari kedatangannya, mulai berhenti menangis, dia mengira kalau pria itu datang karena ingin menjaganya lagi, namun tidak, semua jauh dari harapannya."Satu lagi Nona. Saya tidak mungkin lagi datang untuk berkunjung ke sini. Karena Nona sudah agak baikan dari hari sebelumnya, maka saya akan fokus untuk pekerjaan saya," jelasnya secara rinci.Dengan perasaan sedikit kecewa Mischa menjawab, "Baik Tuan. Terimakasih atas pertolongan Tuan kepada saya. Kalau Tuan tidak ada hari itu, mungkin hari itu saya tidak bisa melihat dunia ini lagi."Dia me