Share

Menikahi Pria (tak) Sempurna
Menikahi Pria (tak) Sempurna
Penulis: Lis Susanawati

Part 1 Gadis Bernama Kamalia

"Aku tidak tertarik denganmu. Kenapa kamu yang kemari? Pulanglah! Aku ingin kakakmu yang ke sini," ucap seorang pria yang duduk di kursi putarnya sambil menghisap rokok. Kedua kakinya masih bersepatu terjulur di atas meja kerja yang penuh tumpukan kertas.

"Aku saja. Jangan kakakku, dua hari lagi dia menikah," jawab Kamalia tenang meski dihujani tatapan tajam pria bermata elang itu.

Pria bernama Devin tersenyum sinis. "Apa peduliku dia mau menikah atau tidak. Suruh dia kemari. Pamanmu telah berjanji padaku, kalau Eva yang akan membayar hutang-hutang lelaki tak berguna itu."

"Hati-hati bicara tentang Pamanku."

Devin tertawa lepas, hingga tubuhnya terguncang.

"Untuk apa kau membelanya, mana ada paman baik yang menumbalkan keponakannya untuk membayar hutang. Demi bisa mencicipi tubuh para pel*c*r jalanan itu, dia merelakan kalian menjadi budak pria lain."

Nyeri terasa di dada Kamalia. Ucapan Devin memang benar, tapi sebagai keponakan yang telah dirawat dari kecil, ia tidak terima kalau orang lain bicara buruk tentang pamannya. Meskipun dirinya sangat membenci perilaku dan sifat sang paman. Berjudi, mabuk, dan main perempuan.

"Bagaimanapun dia Pamanku."

Devin tertawa.

"Pulanglah! Suruh Eva kemari."

"Sudah kubilang, aku yang menggantikan kakakku. Jangan ganggu dia."

"Akan kutelepon pamanmu. Awas saja, dia berani mempermainkanku." Devin meraih ponselnya.

Eveline berjalan mendekat. Beberapa senti dari meja ia berhenti.

"Tidak ada gunanya menelfon. Ponselnya jatuh dan rusak."

Devin menatap tajam Kamalia. 

"Aku kemari untuk membayar hutang yang kau minta itu. Jangan khawatir, aku bisa melakukan pekerjaan apa saja hingga hutang pamanku lunas. Dan mulai hari aku bekerja di sini. Jangan lagi memberinya pinjaman."

Pria itu berdiri dan mencondongkan tubuhnya pada gadis dengan rambut bergelombang sebahu. "Apa pamanmu memberitahu dengan cara apa kamu harus membayar hutang?"

"Bekerja di rumahmu. Mengurus rumah dan memasak untuk para pekerja diperkebunanmu."

Devin tersenyum miring. "Apa itu saja?"

"Ya."

"Kamu salah nona, tidak sesederhana itu. Rupanya pamanmu tidak memberitahu yang sebenarnya."

"Apa maksudmu?"

"Baiklah, aku akan memberitahumu. Mari ikut denganku!" Devin melangkah ke arah pintu tinggi berplitur coklat. Rupanya ruang kerja Devin langsung terhubung dengan kamar pribadinya yang luas dan mewah.

Kamalia berdiri di ambang pintu.

"Kenapa diam? Masuklah! Bukankah kamu beriya sangat untuk melunasi hutang-hutang itu."

"Tapi bukan tidur denganmu."

Devin tertawa lepas, kemudian mendekat. Menunduk sambil menatap tajam wajah Kamalia. Sontak gadis itu mundur dua langkah dengan dada berdebar.

"Aku tidak tertarik denganmu, Nona Lia. Jangan berlebihan berpikir bahwa kamu itu menarik hasratku. Tidak sama sekali. Tubuhmu bukan seleraku." Setelah berkata demikian, Devin berbalik dan melangkah ke dekat ranjang besarnya. Meninggalkan Kamalia yang masih diam, antara senang dan geram. 

Senang karena mendengar dia bukan selera pria itu, otomotis dia tidak akan tersentuh. Geram karena terdengar merendahkannya.

"Kerja apa yang bisa kulakukan di kamarmu?"

Devin melangkah lagi menuju sebuah pintu dari kaca. Saat pintu terbuka, tampaklah walk in closed dengan isi yang fantastis. Ruang ukuran 4x2 meter itu penuh dengan baju-baju mahal, sepatu, dasi, dan di dalam sebuah lemari kaca berjajar jam tangan mahal berbagai merk.

Kamalia masih tercekat di depan pintu.

"Kamu yang mengurus semuanya. Mulai dari menyiapkan pakaianku, membersihkan tempat ini, kamarku, ruang kerjaku, kamar mandiku, juga makananku. Ingat, semua ini barang mahal yang harus kau jaga."

Shit. Sungguh menyedihkan Lia, apa gunanya kuliah, belajar susah payah untuk mendapatkan beasiswa kalau cuma jadi pembantu.

Devin mendekat, berdiri hanya berjarak beberapa senti dari Kamalia.

"Aku tidak suka makanan berlemak. Aku tidak suka bakso, soto ayam, atau apalah yang sejenisnya. Tanya sama Mbok Darmi biar kamu tidak keliru memilih makanan untukku."

Hening.

"Kenapa diam. Paham atau tidak."

"Ya, aku paham."

"Terus satu lagi, jika Mamaku ke sini, jangan sekali-kali menampakkan diri."

"Aku belum tahu yang mana Mamamu."

"Mbok Darmi yang akan menunjukkan fotonya."

"Ya."

"Terus bagaimana penghitungan gaji, biar aku tahu sudah berapa banyak utang pamanku yang telah kubayar dengan tenagaku."

"Tony yang akan melakukan penghitungan dan mencatatnya. Jangan khawatir, aku tidak suka menggelapkan tenaga orang. Tapi kamu juga harus tahu, untuk membayar hutang pamanmu, mungkin kamu akan menua di sini."

Kamalia mengernyitkan dahi sambil mendongak, memandang pria tinggi di depannya. Berapa hutang lelaki tua yang tega memanfaatkan anak saudaranya yang sudah yatim piatu.

"Kamu bisa bebas dari sini dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Suruh Eva menggantikanmu. Dia hanya butuh setahun untuk membayar hutang pamanmu."

"Apa bedanya aku dengan kakakku? Jika pekerjaan yang harus kami lakukan sama."

Devin tersenyum menyeringai.

"Karena aku tertarik dengannya."

"Jangan ganggu kakakku. Aku yang akan membayar hutang pamanku. Seberapa lama aku tidak peduli."

Devin berjalan pelan mengitari gadis itu.

"Kuberi kesempatan untukmu merubah pikiran. Bawa Eva kemari. Apa tidak sayang masa mudamu membusuk di sini?"

"Paman dan saudara-saudaraku sendiri menganggap kami tidak berguna, jadi tidak masalah hidupku sia-sia di sini."

Devin berhenti bergerak. Denyut nyeri terasa di dada. Ada rasa iba yang berusaha menyusup, tapi ditepisnya segera. Dipandangnya rambut lurus sebahu Kamalia dari belakang. Baju kemeja kotak-kotak yang dipakainya sudah lusuh dan pudar warnanya. Celana jeans itu pun telah berubah warna. Dari celah baju dan rambut yang tersingkap karena hembusan angin dari jendela menampakkan kulit bersih gadis itu. Wajahnya mirip dengan Eva. Perempuan yang sempat digilainya, sebelum menolaknya mentah-mentah kala itu.

"Kuberi waktu sampai besok. Jika Eva kemari, kamu bisa pergi."

"Kakakku tidak akan pernah menggantikanku. Sudah kubilang dia akan menikah. Dia sangat mencintai calon suaminya, jadi percuma juga kamu menginginkannya."

Devin mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Sial. Rupanya pria brengsek itu benar-benar telah memikat gadis pujaannya. 

"Oke, terserah kamu saja. Jika ingin membusuk di sini."

"Kapan aku mulai bisa bekerja?"

"Sekarang, biar hutang pamanmu segera terbayar."

"Di mana kamarku?"

Devin menarik tangan gadis itu menuju ruang kerjanya, kemudian membuka sebuah pintu yang tertutup lukisan besar. 

Ada ranjang single bed di ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Benar-benar ruangan yang aneh. Apa gunanya ruangan demi ruangan itu dibuat menyatu dan keluar hanya lewat satu pintu. Kamarnya terkesan sangat rahasia, berada di dalam ruang kerja.

"Kamu bisa tidur di sini jika mamaku datang dan menginap. Jika beliau tidak ada, kamu bisa tidur di kamar bawah. Tanya sama Mbok Darmi, kamar mana yang bisa kau tempati."

Devin melangkah keluar sambil merogoh ponsel yang berdering di saku celananya. Meninggalkan Kamalia begitu saja. Gadis itu bingung hendak bagaimana.

Beberapa saat setelahnya segera bergegas menuruni tangga mewah setengah melingkar hingga ke lantai bawah.

"Lia, ya? Mari saya tunjukkan kamarnya." Wanita setengah baya itu tersenyum ramah padanya. Kamalia mengangguk dan mengekori Mbok Darmi menuju kamar bagian belakang.

"Ini kamarmu. Sudah bersih. Istirahat saja dulu, besok baru mulai kerja. Tuan sudah memberitahu tadi, untuk mengajarimu bekerja di sini. Panggil saja aku Mbok Darmi. Dan panggil Tuan pada Tuan Muda."

"I-iya, terima kasih, Mbok. Katanya hari ini saya langsung bisa kerja."

"Oh, begitu. Tuan Muda yang bilang?"

Kamalia mengangguk.

"Ya, sudah. Tunggu perintah Tuan di sini saja sambil istirahat."

Mbok Darmi keluar kamar sambil menutup pintu. Kamalia melangkah ke arah jendela yang terbuka. Hawa dingin dan aroma wangi teh langsung menyambutnya. Ia juga takjub saat menyaksikan pemandangan di luar sana. Hamparan kebun teh yang asri dan beberapa pohon buah-buahan.

Tempat itu laksana surga. Villa megah berdiri di tengah kebun teh. Jauh dari pemukiman penduduk. Bahkan untuk mencapai tempat ini harus melewati hutan pinus dengan jalan yang menanjak dan berkelok. 

Dikejauhan tampak sebuah gudang dan beberapa rumah. Mungkin itu tempat tinggal para pekerja. Sebab kemarin kakaknya sempat bilang, ada puluhan orang yang bekerja di perkebunan milik Devin. Di antara mereka terdiri dari pasangan suami istri.

Di bawah sana dekat dengan pagar pembatas antara rumah dan kebun, ada sederet tanaman bunga. Ada mawar, lili, melati, dan peony. Di pojok ada bunga bougenville yang marak dengan bunganya yang berwarna putih dan jingga.

Mungkin akan menyenangkan bekerja di sini. Meski tanpa gaji dan jauh dari kerabat.

Kerabat? Apakah mereka masih bisa dibilang kerabat? Jika selama ini memperlakukan dirinya dan sang kakak tidak seperti layaknya manusia. Setelah kepergian orang tuanya, pada saudara itu berebut untuk mendapatkan harta, dengan dalih akan menjaga dirinya dan Eva dengan baik. Tapi kenyataannya ... sungguh miris.

Jika sekarang ia harus terbelenggu di villa ini sebagai pembayar hutang tidak apa-apa. Setidaknya ia bisa menempati kamar yang layak untuk merebahkan badan. Mungkin juga bisa menikmati makanan yang enak dan layak untuk dimakan manusia.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Lia bergegas membuka pintu. Mbok Darmi menyodorkan kotak ponsel kepadanya. "Dari Tuan, untukmu."

"Untukku?" 

"Iya. Kata Tuan, ponsel ini jangan sampai ditinggalkan. Harus ikut kemana pun kamu pergi. Jika sewaktu-waktu Tuan butuh apa-apa, kamu bisa langsung menyiapkannya."

Kamalia mengangguk.

Setelah kepergian Mbok Darmi, ia duduk di ranjang sambil memperhatikan benda pipih yang cukup mahal itu. Ia pernah melihat harganya di etalase kounter yang terbesar di kota ini. Tidak menyangka ia bisa menggunakannya, meski hanya dipinjami.

Sebuah panggilan masuk dengan nama Tuan Muda tertera di layar. Lia mendadak gugup untuk menerima panggilan, nada deringnya adalah lagu kesukaannya. Ah, pasti hanya kebetulan saja. 

"Ha-hallo."

"Siapkan bajuku untuk acara malam ini. Semi formal. Aku hanya mau kemeja dan celana bahan warna hitam."

"Iya."

"Jangan isi ponsel itu dengan nomor orang lain. Hanya ada nomorku dan nomor rumah ini."

"I-iya."

Panggilan diakhiri. 

Kamalia termenung sejenak. Kemudian ia segera bergegas menuju lantai dua. Ponsel masih dipegangnya dengan tangan kiri.

Langkahnya terhenti saat melihat Devin tidur terlentang di kamarnya dengan bertelanjang dada. Kakinya masih memakai sepatu dan celana jeans itu telah terbuka kancingnya.

"Kenapa diam di situ? Masuklah!"

Tergesa Kamalia masuk ke ruang penyimpanan baju. Dadanya masih berdebar melihat pemandangan baru saja. Apakah pekerjaannya tidak akan semudah bayangannya? 

Kamalia mematung di depan lemari pakaian, bingung hendak memilih kemeja warna apa. Terlalu banyak baju di sana. Akhirnya ia mengambilkan kemeja warna biru langit dan celana bahan warna hitam.

"Apakah Anda suka memakai ini?" tanya Kamalia sambil menunjukkan pakaian yang masih tergantung di hanger.

"Letakkan di situ. Aku akan memakainya," jawab dingin Devin tanpa memandang gadis itu.

Kamalia meletakkan baju di sisi pembaringan. Kemudian ia melangkah keluar. 

'Orang kaya memang aneh, habis mandi langsung ambil sendiri baju yang sesuai selera kan lebih mudah. Kenapa harus meneleponnya segala.'

Kamalia menggerutu sambil melangkah turun, dari jendela kaca besar ia melihat ada bangunan paviliun di samping rumah. Ada seorang satpam dan dua orang suster sedang menunggu wanita yang duduk di taman bunga. 

Rasa penasaran membuatnya melangkah ke dekat jendela kaca. Wanita yang memakai piyama warna jingga itu tampak bicara dengan boneka yang dipegangnya. Tersenyum lantas menangis. Dari sikapnya seperti orang terganggu kejiwaannya.

Kamalia bergegas ke dapur, di sana ada Mbok Darmi dan gadis seusianya.

"Lia, kenalkan ini Sumi."

Gadis berkulit gelap itu menyalami Kamalia sambil tersenyum ramah. 

"Mau puding? Ayo, makanlah!" Sumi menyodorkan sepiring puding buah mangga yang telah di potong kecil.

"Apakah ini jam makan?"

Sumi tersenyum. "Ayo, makan aja! Nggak usah lihat ini jam berapa?"

"Biasanya di rumah orang kaya ada banyak peraturan, walaupun hanya sekedar makan."

"Mungkin itu berlaku di rumah lain, di rumah ini tidak. Tuan orangnya sangat baik."

Baik? Semoga saja begitu.

"Ayo, duduk sini." Sumi menarik kursi buat duduk Kamalia. Sedangkan Mbok Darmi masih sibuk menyusun piring bersih di lemari kaca.

Kamalia meraih garpu kecil yang telah tertancap di potongan puding, lalu meyuapkan ke mulut. Perutnya sebenarnya memang belum terisi sejak pagi tadi. Namun ia sudah biasa menahan lapar.

"Oh ya, aku tadi melihat ada seorang wanita dijaga dua suster di paviliun sebelah. Siapa dia?"

Sumi memandang Mbok Darmi.

"Nanti saja kami cerita, Lia," jawab wanita setengah baya itu.

"Habiskan dulu pudingnya, sebelum Tuan memanggilmu lagi." Sumi menggeser puding ke depan Kamalia.

Next ....

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Siti Rimayanti
mf Mbak Lis ko d setiap cerbung yg sy baca selalu ada nama tokoh yg sama
goodnovel comment avatar
baiq juita
bagus, menarik
goodnovel comment avatar
Sri Martini
cetitanya menarik thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status