Share

Part 4 Resah

"Kamu sakit, Dev?" tanya Bu Rahma setelah melihat nampan di nakas yang berisi roti bakar dan Paracetamol. Disentuhnya kening sang putra yang tidur terlentang.

"Panas banget badanmu. Biar di antar Pak Karyo pergi ke dokter."

"Tidak usah, Ma. Habis minum obat juga baikan."

"Ya, udah. Buruan sarapan terus minum obat. Adekmu datang tadi malam."

"Udah ketemu tadi."

Bu Rahma melangkah dan membuka jendela kaca, hawa segar menyerbu masuk. Kabut masih tebal di luar. Diperhatikannya setiap jengkal kamar Devin. Selama ini memang jarang masuk kamar putranya. Setiap datang selalu fokus pada putrinya di paviliun.

"Mama hari ini pulang. Biar adikmu yang di sini. Dia libur sampai Senin nanti."

Wanita anggun itu duduk di sebelah Devin yang sedang makan roti bakar.

"Kamu ingat Ninis, nggak? Putrinya Bu Wini. Seminggu yang lalu baru wisuda S2."

"Hmm ...," jawab Devin malas. Pasti pembicaraan akan mengarah pada perjodohan yang pernah ditawarkan mamanya.

"Kapan-kapan kalian ketemuan. Nanti Mama yang ngatur."

Devin tidak menjawab, dihabiskan roti dan minum obat, kemudian meneguk air putih hangat di gelas hingga habis.

"Mama sebenarnya bosan ngingetin kamu soal nikah. Umurmu sudah tiga puluh lebih, Dev. Rekan Mama sudah pada punya cucu. Ayolah, tentukan pilihan atau ikut pilihan Mama. Ninis tentunya."

"Aku tidak ingin membicarakan tentang ini, Ma. Nantilah aku nyari sendiri."

"Nanti kapan? Nunggu ubanan dulu, ya?"

Bu Rahma terlihat kesal.

"Mama sebenarnya nggak suka jodoh-jodohin anak. Mama ngasih kebebasan kalian untuk mencari pasangan sendiri. Tapi sekarang Mama nggak bisa nunggu lagi. Kamu setujui saja pilihan Mama."

Devin memandang mamanya yang bangkit dari duduk. Wanita itu membenahi blouse putih yang dipakainya dengan rok plisket panjang warna cokelat tua. Jilbab putih dengan garis-garis cokelat sudah rapi menutup rambut.

"Mama mau pulang, mau langsung ke kampus. Ada kelas jam sepuluh nanti."

Bu Rahma melangkah keluar kamar, meninggalkan Devin yang merasakan tambah pusing kepala mendengar tuntutan sang mama. Dia diam sejenak sebelum memanggil Kamalia.

"Keluarlah, Lia!" 

Dari dalam kamar mandi muncul Kamalia dengan wajah tegang. Gadis itu mengintip keluar dari pintu yang tembus ke ruang kerja.

"Mamaku sudah turun. Tapi kamu jangan keluar dulu. Tunggu beliau pergi dengan mobilnya. Dari jendela itu kamu bisa lihat ke bawah."

Kamalia melangkah dan berlindung di balik dinding. Melihat ke halaman bawah. Tampak seorang wanita masuk ke Fortuner putih yang kemudian meluncur pergi. Keluar halaman dan melaju di jalan beraspal yang berselimut kabut tipis. 

"Aku akan turun, ibu sudah pergi." Kamalia mengambil nampan di nakas.

"Tidak usah ngobrol banyak hal dengan Ben. Terutama soal hutang pamanmu itu. Bilang saja kamu kerja di sini sebagai asisten pribadiku."

"Apakah dia tidak akan memberitahu keberadaanku pada Ibu?"

Devin menggeleng.

"Baiklah, aku akan turun dulu."

Kamalia melangkah keluar.

Di ruang makan ia melihat Ben sedang melahap nasi goreng. 

"Kamu sembunyi di mana hingga Mama nggak ngelihat?" tanya Ben saat Kamalia lewat di belakangnya.

"Di kamar mandi."

"Hm, selamat juga kalian. Padahal aku sudah bersiap untuk menyaksikan pengantin dadakan," canda Ben tanpa menoleh.

Kamalia melangkah lagi menuju dapur belakang. Mbok Darmi dan Sumi tampak berwajah tegang memandang Kamalia.

"Ibu nggak melihatmu?" tanya Sumi.

"Enggak."

"Alhamdulillah," ucap Sumi dan Mbok Darmi bersamaan.

"Kami ikut tegang, Lia. Sebelum nyuci baju, sarapan dulu bareng kami," ajak Mbok Darmi.

Sumi mengambil tiga piring nasi goreng di atas meja dapur. Membawa ke meja teras belakang. Ketika mereka asyik berbincang sambil makan, Ben datang dan ikut duduk di sana, sambil menikmati white coffee di cangkir.

"Namamu siapa?" tanya Ben pada Kamalia.

"Kamalia."

"Mamalia?"

Kamalia melirik tajam pada cowok tampan yang sedang menyesap kopinya. Ben tersenyum.

"Wih, tatapanmu itu. Tembus ke dada rasanya." 

Mbok Darmi dan Sumi tertawa. 

"Jangan diambil hati, Lia. Mas Ben emang suka bercanda orangnya," kata Mbok Darmi.

"Rumah ini serasa hidup kalau Mas Ben pulang," tambah Sumi.

"Pastilah, kan kalian di sini hidup sama robot."

Ben tertawa, tapi Mbok Darmi dan Sumi diam. Takut saja jika tiba-tiba Devin muncul.

Kamalia sudah bisa beradaptasi dengan cara Ben berinteraksi. Bahkan mereka saling menceritakan tentang kuliah dan kampus.

"Jadi, kamu baru wisuda tahun kemarin?"

"Ya. Molor setahun. Karena skripsiku telat."

" Berarti kita seumuran, dong. Aku dua puluh tiga."

"Sama," jawab Kamalia.

"Aku langsung lanjut S2. Nggak nyangka kampus kita deketan."

Kamalia mengangguk.

"Sarjana kok milih jadi pembantu. Nggak salah pilih, nih? Atau memang sebenarnya antara kamu dan Mas Dev ada hubungan?"

"Enggak."

"Ngapain kerja jadi pembantu?"

"Aku kerja sebagai asisten Tuan."

"Oh, asisten yang merangkap ngurus segala hal tentang Mas Dev."

"Aku dapat gaji tambahan dari kerjaan ini. Lagian aku enggak pulang, rumahku jauh," jawab bohong Kamalia.

"Jauh? Di mana itu?"

"Ya, jauh."

"Iyalah, jauhnya mana? Kan memang tempat ini jauh dari mana-mana."

"Untuk apa ngurus soal itu?" tanya Dev yang tiba-tiba berdiri sambil bersedekap dan menyandar di pintu. Wajah Devin terlihat lebih segar. Bajunya sudah ganti dan memakai jaket jeans warna biru.

"Wih, dah sembuh kakakku tercinta. Jangan lupa transferannya."

Devin tidak menjawab, tapi berbalik dan melangkah pergi. Tidak lama kemudian terdengar mobil meninggalkan garasi.

🌷🌷🌷

Kamalia masih membenahi berkas dan merapikan ruang kerja Devin hingga menjelang sore. Sumi yang baru saja menyapu lantai atas menemaninya.

"Tuan kok belum pulang. Padahal dia lagi sakit."

"Kalau belum benar-benar ambruk Tuan tidak akan istirahat. Sibuk kerja sampai lupa menikah."

Kamalia tersenyum simpul. Ia ingat kakaknya yang menolak cinta pria itu.

"Sum, aku heran dengan ruangan ini. Ngapain kamar Tuan tertutup begini. Tidak seperti kamar pada umumnya?" Pertanyaan yang sejak kemarin dipendam akhirnya dikeluarkan.

"Sebenarnya kamar ini dulu di buat untuk Mbak Mita. Kan dia sempat lumpuh. Kamar yang kamu tempati untuk sembunyi kemarin adalah kamar istirahat untuk suster yang bergantian merawatnya. Ruang kerja ini untuk latihan berjalan Mbak Mita. Setelah bisa jalan lagi, eh malah mergoki suaminya selingkuh. Akhirnya depresi berat dan dipindahkan ke paviliun karena dua kali mau terjun dari balkon kamar."

"Oh, gitu."

"Hu um. Ya, sudah aku mau turun dulu. Bantuin Mbok Darmi masak buat makan malam," pamit Sumi.

"Tunggu, aku ikut. Bosan juga aku ngurus kertas-kertas ini seharian. Lagian aku harus siapin makan malam buat Tuan."

"Ayo!"

Kamalia mengikuti Sumi turun. Di dapur Mbok Darmi sudah menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Ada dua menu yang di buat. Rawon kesukaan Mita dan Tjap cay sayur buat Devin.

🌷🌷🌷

Devin yang merasa tubuhnya lebih sehat tidak segera pulang ketika hari menjelang sore. Ia mengawasi beberapa pekerja yang sibuk mengemas daun teh kering yang siap dikirim untuk ekspor.

Pekerja yang menetap di kebun ada dua puluh orang. Terdiri dari laki-laki dan perempuan usia setengah baya, mereka adalah pasangan suami istri. Tiga orang perempuan bertugas memasak untuk makan para pekerja.

Ada beberapa pekerja lepas yang pulang ke rumah. Mereka masih muda-muda, jadi ada kesibukan mengurus anak. Ada tiga orang sopir yang kadang menginap, kadang juga pulang. Tiga orang ibu muda yang bertugas mengurusi administrasi.

Ponsel Devin di atas meja berdering. Diraihnya benda yang tertera nama Mama dilayarnya.

"Hallo, Ma."

"Kebiasaan nggak mau ngucap salam, 'kan?" Suara jengkel mamanya diseberang.

"Iya, maaf. Assalamualaikum."

"W*'alaikumsalam. Kamu lagi di mana?"

"Aku masih di kebun, Ma. Ada apa?"

"Apa kamu sudah baikan? Kok jam segini belum pulang?"

"Sudah."

"Mama barusan telfon Suster Erna. Kakakmu sudah tenang katanya sejak pagi. Mama nggak pulang ke vila, karena besok pagi ada acara di kampus."

"Ya, Ma."

"Ingat ucapan Mama pagi tadi. Sewaktu-waktu kamu datang ke rumah untuk bertemu keluarga Ninis."

Devin tidak menjawab.

"Dev, dengar enggak Mama bilang apa?"

"Iya."

"Ya, sudah Mama mau mandi. Jangan lupa ingatkan adikmu untuk pulang. Kalau sudah di kebun malas pulang. Hari Senin mulai masuk kuliah dia."

"Iya, nanti aku bilang ke Ben."

"Ya, sudah. Assalamualaikum."

"W*'alaikumsalam."

Devin meletakkan kembali ponsel di meja depannya. Kemudian memandang pria tambun seumuran yang sedang mengawasi packing barang.

"Malam ini kamu jadi pulang, Ton."

"Iya, sudah seminggu aku di sini. Kangen sama anak-anak." Pria itu mendekat dan duduk di kursi depan Devin.

"Bilang saja kangen sama ibunya anak-anak."

Tony tersenyum. "Nah, paham juga, 'kan? Kamu belum tahu rasanya pria beristri nganggur seminggu."

Devin tersenyum miring tanpa memandang pria di depannya.

Mereka berteman semenjak duduk di bangku SMP. Begitu juga dengan Hesti, istri Tony. Mereka adalah sahabat sejati. Dulu wanita itu juga bekerja di perkebunan Devin. Namun setelah melahirkan putri kembar, akhirnya resign.

"Tadi Hesty nelepon, ngasih tahu kalau kemarin Eva nikah sama guru SMA itu."

"Hm, aku sudah tahu."

"Kamalia yang bilang?"

Devin mengangguk.

"Sudahlah, aku tidak ingin membahas perempuan itu lagi. Mungkin baginya lebih bahagia bersama Ragil daripada hidup denganku."

Hening.

"Kabar Mbak Mita bagaimana?" tanya Tony mengalihkan topik pembicaraan. 

"Ya, begitulah. Aku hampir putus asa bagaimana mencarikan dokter untuknya. Tubuhnya makin kurus sekarang."

"Mertuaku bilang, apa nggak sebaiknya cari jalan pengobatan alternatif. Siapa tahu Mbak Mita diguna-guna istri mantannya itu. Bisa jadi dia dendam karena bahunya cacat dan hingga sekarang belum hamil lagi setelah keguguran."

"Aku tidak berpikir sampai ke situ. Aku tidak bisa memikirkan hal yang tidak tampak mata."

"Apa salahnya dicoba."

"Mama masih mencarikan psikiater yang bisa rutin datang ke rumah. Walaupun aku juga sadar kalau sebenarnya Mbak Mita bukan depresi lagi, tapi gila." Devin menahan kesedihan ketika mengucapkan kalimat itu.

"Kalau tidak ingat Mama dan keluarga, aku bikin panjang urusan dengan laki-laki pengkhianat itu. Aku hanya kasihan Mama kalau terbebani dengan tindakanku."

"Iya, jangan. Kasihan Ibu."

🌷🌷🌷

Devin dan Ben saling duduk berhadapan menikmati makan malam. Sumi dan Kamalia duduk di teras belakang, sambil melihat bulan purnama yang terang benderang di angkasa. Keduanya merapatkan jaket karena hawa dingin mulai menyebar.

"Enak enggak nugget sayurnya, Mas?" tanya Ben pada sang kakak.

"Enak."

"Tahu enggak siapa yang bikin?"

"Mbok Darmi."

"Bukan. Kamalia yang bikin."

"O."

Ben mencondongkan tubuhnya ke depan Devin. "Udah pantas dijadikan calon bini."

Devin menatap tajam adiknya. Ben mundur sambil tersenyum. 

Setelah makan malam, kedua kakak beradik  menyambangi Mita di paviliun. Ada suster Erna yang jaga di sana. Devin dan Ben lega setelah mendengar penjelasan suster Erna, karena seharian ini keadaan kakaknya jauh lebih tenang.

🌷🌷🌷

Devin mematung memperhatikan ruang kerjanya yang bersih dan rapi. Semuanya tersusun sesuai keinginannya. 

Bau harum aroma terapi menguar di seluruh penjuru ruangan. 

Ia duduk di kursi putar. Menyadarkan punggung dan mengangkat kaki ke atas meja. Rasa pusing kembali datang saat ingat kata-kata mamanya tadi pagi. Bahkan sama sekali ia tidak tertarik dengan gadis itu, Ninis. Bukan tidak menyukai fisiknya, tapi sifatnya.

Ponsel dari saku celana di keluarkan dan mengetik pesan.

[Naiklah, Kamalia.]

Terkirim dan langsung dibaca gadis itu.

Next ....

Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman 😍

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
sama² thor
goodnovel comment avatar
Mohamad Miasin
Terbaik.....siap untuk episode selanjutnya
goodnovel comment avatar
Sri Martini
Cetitsnya makin seru.davin mulai mikirin Kamalia nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status