Share

Part 7 Sambutan Seorang Ibu

Bu Rahma gembira karena putranya sudah datang. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Heran karena selain sepatu Devin, ada sneakers perempuan warna putih.

"Assalamu'alaikum." Bu Rahma mengucapkan salam dengan suara lembut.

"W*'alaikumsalam," jawab Devin dan Kamalia hampir bersamaan.

Senyum ramah terukir untuk Kamalia yang mengangguk hormat. Devin menyalami dan mencium tangan sang mama. Diikuti Kamalia.

"Saya Kamalia, Tante."

Bu Rahma mengangguk. Wajah itu seperti tidak asing. Seperti baru kemarin bertemu.

"Ayo, diminum tehnya." Bu Rahma mempersilakan sambil duduk di sofa depan mereka.

"Terima kasih, Tante."

Kesan pertama bertemu Bu Rahma sangat baik. Tidak seperti bayangannya tadi. Meski rasa gelisah masih merajai hati.

"Sudah lama sampai?"

"Lumayan, Ma."

Mbok Tini datang sambil membawa sepiring brownis kukus dan sepiring buah melon yang telah dipotong kecil.

"Ayo, Dev, Kamalia diajak makan siang. Biar Mama ganti baju dulu."

"Kami sudah makan, Ma."

"O, ya sudah, tunggu Mama ganti baju dulu."

Bu Rahma naik ke lantai dua. Kamalia bisa bernapas lega. 

"Nanti kalau ditanya jawab seperlunya saja," kata Devin pelan.

Kamalia mengangguk.

Bu Rahma melepas jilbab dan mengganti bajunya dengan daster rumahan. Kemudian menemui lagi Devin dan Kamalia. Aura keibuannya terpancar. Kamalia seperti bisa melihat sosok ibunya pada diri wanita itu.

"Sekarang cerita ke Mama. Kamalia ini siapa? Teman, rekan bisnis, atau kekasih kamu?"

"Calon istri, Ma," jawab tegas Devin sambil memandang gadis di sofa sebelahnya. Napas Kamalia seperti berhenti sejenak seketika itu.

Bu Rahma yang terkejut kembali tersenyum. Berusaha menyembunyikan rasa kesal karena sejak kemarin ditanya, sang putra tidak mau jujur. Setelah rencana pertemuan dengan keluarga Bu Wini di rancang matang, Devin justru mengenalkan dan membawa pulang gadis yang diakui sebagai calon istri.

"Benar Kamalia?" tanya Bu Rahma memastikan kalau yang dibilang putranya tidak bercanda.

Kamalia mengangguk.

"Ayo, ngobrol di ruang makan. Mama belum makan siang."

Bu Rahma beranjak menuju ruang yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Devin dan Kamalia mengikuti.

Di atas meja sudah tersedia menu makan siang. Sayur sop, tempe goreng, dan ayam goreng.

"Maaf, Tante. Saya mau numpang salat Zuhur," ucap Kamalia sopan. 

"Oh, boleh-boleh. Mbok Tini, antar Kamalia ke ruang salat."

Mbok Tini muncul dari dapur. "Iya Bu. Mari, Mbak."

Kamalia mengikuti Mbok Tini menuju kamar samping. Bangunan tambahan yang berukuran empat meter persegi dan langsung menyatu dengan tempat wudhu.

"Kamu enggak bohongi Mama, 'kan, Dev," tanya Bu Rahma setelah Kamalia pergi.

"Tidak, Ma. Buat apa bohong."

"Tapi kenapa kemarin di tanya diam saja. Setelah Mama ngajak ketemuan dengan Ninis, kamu malah membawa gadis lain ke rumah." Bu Rahma menahan rasa geramnya. Selera makan mendadak hilang bersama rasa lapar yang tidak terasa lagi.

"Mama yang terburu-buru. Kemarin aku kan sudah bilang mau nyari sendiri. Mana tahu kalau secepat ini Mama ngajak ketemuan dengan keluarga Ninis."

Bu Rahma berdecak jengkel.

"Sebentar, Mama seperti pernah melihat gadis itu. Apa dia yang Mama lihat di vila kemarin?"

Devin tidak menunjukkan rasa terkejutnya. Padahal dadanya berdebar tak karuan.

"Bukan. Mama yang salah lihat."

"Bener?"

Devin mengangguk.

"Oke. Sepertinya dia gadis baik. Rumahnya mana?"

"Dari Desa Sumber Agung, Ma. Dia sarjana ekonomi, baru wisuda tahun kemarin."

"Seumuran adikmu, dong?"

"Ya."

"Kamu benar-benar serius, 'kan?"

"Iya. Sangat serius."

"Oke. Mama hargai pilihanmu. Pertama kali melihat tadi Mama sudah suka. Tidak apa-apa, nanti Mama yang akan bicara dengan Bu Wini. Sebenarnya Mama ngajak ketemuan mereka, tapi belum memberitahu kalau kamu ikut serta. Mama khawatir kamunya enggak datang."

Devin lega meski kena 'prank' sang mama.

Pembicaraan terhenti saat Kamalia datang. Wajahnya segar terbasuh air wudhu.

"Makanlah puding ini, Kamalia." Bu Rahma menggeser seporsi puding di piring ke meja depan Kamalia.

"Terima kasih, Tante."

"Kamu serius, 'kan, sama Dev?"

Kamalia mengangguk. Kembali dadanya berdebar kencang. Ia menunduk sambil menyendok puding.

"Baiklah, Mama setuju saja siapapun pilihan Dev. Rencana baik enggak usah ditunda lama. Kapan keluargamu siap menerima lamaran dari kami?"

Kamalia memandang Devin. Ia bingung harus menjawab bagaimana.

"Ma, tidak perlu ada acara lamaran. Kami langsung nikah saja."

"Lah, mana boleh begitu. Apa keluarga Kamalia terima? Anak gadis harus di lamar Dev. Biar dua keluarga juga bisa saling mengenal."

"Kamalia yatim piatu, Ma."

"Oh ya? Maaf, Tante tidak tahu. Tapi kamu masih punya keluarga, 'kan? Kakak, paman, atau bibi?"

"Saya punya seorang Kakak dan beberapa kerabat, Tante."

"Terus untuk wali nikahmu masih ada, 'kan?"

Kamalia menggeleng. "Ayah saya anak tunggal. Yang masih ada, kerabat dari pihak ibu."

"Nah itu, atur waktunya. Agar kita bisa ketemuan." Bu Rahma tampak tidak sabar. Beliau memang bukan orang tua yang terlalu cerewet memilih menantu. Meski anak perempuannya gagal memilih pasangan hidup.

"Keluarga Kamalia orang-orang yang sangat sibuk. Meski hanya pekerja di ladang. Tidak usah ada lamaran, Ma. Kami langsung menikah saja."

"Dev, kenapa sekarang jadi buru-buru, sih. Kemarin nyante aja kalau di tanya."

"Sebab ...."

"Sebab apa?"

"Kamalia sudah mengandung, Ma."

Sendok puding Kamalia terjatuh di meja kaca bersamaan dengan tersedak puding di mulutnya. Gadis itu kaget bukan main. Segera diraihnya gelas air minum. Ia tidak menduga kalau Devin akan berkata senekat itu.

Bu Rahma juga terbelalak tidak percaya dengan ucapan putranya. Bahkan Mbok Tini yang berdiri di dapur juga kaget dan menjatuhkan pisau.

"Dev, kelewatan kamu. Bener Kamalia, kamu hamil?"

Keringat dingin mengucur di pelipis gadis itu. Bahkan tangannya saling menggenggam untuk menyembunyikan jemarinya yang gemetar. Bingung mau menjawab apa.

"Tidak, Ma. Aku hanya bercanda." Devin berkata sambil tersenyum, kemudian memandang Kamalia yang menatapnya tajam.

"Astaga, Devin. Bisa-bisanya kamu mau bikin Mama jantungan. Kamu pikir bagus hamil di luar nikah? Mama memang pengen segera punya cucu, tapi buka dengan cara berzina."

"Maaf, Ma. Maaf banget. Tapi aku serius mau menikah. Makanya jangan memakai acara macam-macam, yang penting kami sah sebagai suami istri."

Bu Rahma mengelus dada. 

"Kalian belum terlanjur, 'kan?"

"Tidak, Tante," jawab cepat Kamalia sebelum keduluan Devin. Daripada nanti jawaban pria itu ngelantur kemana-mana.

"Syukurlah. Jadi perempuan harus pandai jaga kehormatan. Lakukanlah jika kalian sudah halal."

Kamalia menunduk. Rasanya malu diajak membicarakan hal itu. Meski apa yang diucapkan Bu Rahma adalah sebuah nasehat atau peringatan untuk dirinya dan Devin.

"Ya, sudah. Kalian istirahat dulu. Devin masuk ke kamarmu biar Kamalia di antar Mbok Tini di kamar tamu. Nanti malam kita dinner keluar. Besok saja kalian pulang."

🌷🌷🌷

[Tuan, mau membuatku mati berdiri, ya?]

Kamalia menulis pesan setelah rebahan di kamar. Dia mengetik lagi ketika pesannya hanya dibaca saja oleh Devin.

[Atau kita batalkan kesepakatan kita tadi. Tidak apa-apa aku harus bekerja seumur hidup untuk melunasi hutang itu.]

[Tuan.]

Sepi.

Next ....

Komen (30)
goodnovel comment avatar
Pitrian Eka Padmowati
bagus ceritanya...menarik
goodnovel comment avatar
Turis Bulee
harus pakai koin, ini lh yg bikin jadi kurang suka,, tdi nya udah seneng banget baca nya,, ee harus dibuka pakai koin, langsung lesu deee aku...
goodnovel comment avatar
Wilujeng Tri
bagus cuma sayang pake koin...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status