Share

Bab 5

"Mas, aku mau pulang hari minggu ini, ibu agak kurang enak badan. Mungkin kangen sama Zahra hampir setahun aku nggak mudik. Lagipula Zahra libur semester cukup lama. Besok belikan aku sama Zahra tiket, ya?" pintaku saat Mas Aris membuka dompetnya, aku lihat ada beberapa lembar uang seratus ribuan di sana. Entah untuk apa dan duit siapa. Aku juga tak tahu dan tak pernah dikasih tahu.

Kedua mata Mas Aris melirik tajam ke arahku. Aku cukup bingung dibuatnya. Kenapa? Apa dia marah karena aku minta uang untuk membeli tiket?

"Uang ini bukan buat kamu, Wita. Sudah ada jatahnya masing-masing, kan?" tanya Mas Aris santai.  

"Aku nggak minta uang itu, Mas. Cuma minta kamu beliin tiket aja buat aku dan Zahra. Lagipula kita sudah lama nggak mudik, apa kamu juga nggak ada keinginan buat jenguk bapak dan ibu?" tanyaku lagi. Mas Aris menghembuskan napas kasar.

"Mudik itu kalau ada duit lebih, kalau nggak ada ya nggak perlu mudik segala, Wita. Buat apa? Ngabis-ngabisin duit, kan?" Mas Aris menatapku lagi. 

Entah mengapa Mas Aris seperhitungan ini sekarang. Ah bukan sekarang namun sudah empat tahun belakangan, tepatnya saat Mas Danu di penjara dan Mbak Yuli mulai menagih balas budi padanya, karena awal menikah dulu, dia tak sepelit ini. Bahkan saat aku minta mudik, Mas Aris selalu membelikan oleh-oleh atau baju buat bapak dan ibu. Tanpa pernah aku minta. 

Ibu juga sangat menyayangi Mas Aris karena Mas Aris pernah melunasi hutang ibu hampir sepuluh juta. Itu dulu saat aku baru menikah dengannya beberapa bulan. Mungkin karena itu pula, ibu sering kali tak percaya jika aku bilang Mas Aris sedikit berubah. 

Bahkan ibu selalu menasehatiku soal ujian rumah tangga dan kodrat sebagai istri untuk menutup aib suami. Sejak itu pula aku tak lagi menceritakan soal Mas Aris yang lebih mementingkan kakak dan keponakannya. Nanti, cukup aku berikan bukti pada ibu jika memang Mas Aris terlalu perhitungan pada anak dan istri sendiri. 

"Aku pinjam duitmu dulu deh, Mas. Nanti tanggal 22 atau 23 InsyaAllah aku ada duit. Aku bayar hutangku padamu," ucapku lagi.

"Lucu sih. Seorang istri hutang pada suaminya hanya untuk membeli tiket mudik. Tapi mau gimana, duitmu bukan hakku tapi hak kakakmu. Iya, kan?" sindirku lagi. Mas Aris menoleh ke arahku sembari bersungut kesal.  

"Kenapa? Bukannya memang begitu? Coba ingat, sejak Mas Danu di penjara kamu sudah tak peduli lagi bagaimana nasibku dan Zahra. Kamu hanya memberiku jatah dua ratus ribu selama seminggu. Kamu tahu, Mas. Aku sampai malu jika para tetangga cerita soal jatah belanja mereka yang jutaan sebulan, sementara aku hanya dua ratus ribu seminggu," ucapku lagi. 

Mas Aris menggebrak meja lalu melotot lebar ke arahku. 

"Kamu mulai ngelunjak dan membangkang, Wit! Mulai berani mendikte sikap dan keputusan yang sudah kuambil matang-matang, ha? Kenapa? Kamu nggak terima? Kalau nggak mau, aku tarik saja jatah mingguanmu!" Bentak Mas Aris lagi. 

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar bentakannya. Mas Aris memang sudah berubah, tak seperti awal menikah dulu. Sangat jauh perbedaannya. 

"Mungkin itu lebih baik, Mas. Jadi aku bisa menggugatmu nanti karena kamu nggak pernah kasih nafkah!" ucapku lagi.  

"Maksudmu apa, Wita?" 

Aku hanya tersenyum kecut lalu membalikkan badan, baru tiga langkah Mbak Yuli tiba-tiba nongol di depan pintu. Perempuan itu selalu saja datang di waktu yang tak tepat. Mau ngadu apalagi dia?  

"Duitnya ada, Ris? Mbak ditagih dealer karena nggak bisa bayar cicilan motor Mas Danu bulan ini," ucap Mbak Yuli tiba-tiba sembari melirikku sinis. 

Sepertinya dia memang sengaja bicara cukup keras supaya aku mendengar ucapannya. Agar aku kembali cemburu perihal uang lagi dan lagi. 

"Nasehati istrimu, Ris. Nggak pantas dia mempermalukan iparnya sendiri apalagi di grup keluarga besar!" ucap Mbak Yuli lagi setelah menerima uang pemberian Mas Aris.  

Oh ... ternyata uang di dompet itu sengaja Mas Aris sisihkan untuk Mbak Yuli. Lagi, lagi dan lagi! Entah berapa juta dia berikan untuk kakaknya tiap bulan. Yang kulihat, tiap kali butuh uang Mbak Yuli langsung nodong Mas Aris. 

Pernah Mas Aris bilang nggak ada duit, tapi apa? Mbak Yuli justru mengungkit kembali soal balas budi. Sepertinya memang itu senjata andalannya untuk memeras keringat adik sendiri. Naudzubillah. 

"Maksudmu apa, Mbak?"  

"Istrimu sudah mempermalukan aku di grup w******p keluarga besar. Nggak tahu diri, dia pikir tinggal dan hidup di mana selama ini," ucap Mbak Yuli lagi. Aku menoleh ke arahnya cepat.

"Aku tinggal di rumah ini karena suamiku tinggal di sini, Mbak. Kalau kamu minta aku pergi dari sini, bisa saja. Nasehati adikmu supaya beli rumah atau sewa kontrakan. Bukan kah tugas suami mengayomi dan menyiapkan sandang dan papan untuk keluarganya? Kalau nggak sanggup kenapa nggak diceraikan saja?" tanyaku ketus. 

"Kamu dengar sendiri kan, Ris? Istrimu itu memang harus ditalak saja. Lebih baik kamu cari pengganti, daripada punya istri nggak tahu diri dan nggak bisa menghargai suami sendiri!" 

"Di kamarku ada kaca, Mbak. Barang kali di rumahmu nggak ada kaca!" 

"Maksudmu apa, Wita!" Bentak Mbak Yuli lagi. 

"Kamu sendiri mempermalukan suamimu, karena sudah menjadi benalu dalam rumah tanggaku. Itu artinya Mas Danu nggak bisa mencukupi kebutuhan rumah tanggamu atau memang kamu yang banyak gaya padahal nggak ada dana! Makanya ngaca sebelum menunjuk orang lain. Sepertinya justru kamu lah yang wajib ditalak! Mas Danu berhak mendapatkan istri yang jauh lebih baik daripada kamu!" ucapku kemudian. 

"Mau ke mana kamu, Wita! Kami belum selesai bicara!" Panggil Mas Aris tiba-tiba.

"Mau hutang ke tetangga buat beli tiket. Nggak usah malu kalau aku hutang, kan kamu memang nggak sanggup membelikanku tiket, Mas. Iya, kan?" Aku tersenyum tipis lalu ke luar rumah dengan santai. Tak peduli suara Mbak Yuli dan Mas Aris yang saling sahut dan mengomel tak karuan. Sungguh, aku tak peduli!  

💕💕💕

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suka gayanya wita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status