"Mas, aku mau pulang hari minggu ini, ibu agak kurang enak badan. Mungkin kangen sama Zahra hampir setahun aku nggak mudik. Lagipula Zahra libur semester cukup lama. Besok belikan aku sama Zahra tiket, ya?" pintaku saat Mas Aris membuka dompetnya, aku lihat ada beberapa lembar uang seratus ribuan di sana. Entah untuk apa dan duit siapa. Aku juga tak tahu dan tak pernah dikasih tahu.
Kedua mata Mas Aris melirik tajam ke arahku. Aku cukup bingung dibuatnya. Kenapa? Apa dia marah karena aku minta uang untuk membeli tiket?
"Uang ini bukan buat kamu, Wita. Sudah ada jatahnya masing-masing, kan?" tanya Mas Aris santai.
"Aku nggak minta uang itu, Mas. Cuma minta kamu beliin tiket aja buat aku dan Zahra. Lagipula kita sudah lama nggak mudik, apa kamu juga nggak ada keinginan buat jenguk bapak dan ibu?" tanyaku lagi. Mas Aris menghembuskan napas kasar.
"Mudik itu kalau ada duit lebih, kalau nggak ada ya nggak perlu mudik segala, Wita. Buat apa? Ngabis-ngabisin duit, kan?" Mas Aris menatapku lagi.
Entah mengapa Mas Aris seperhitungan ini sekarang. Ah bukan sekarang namun sudah empat tahun belakangan, tepatnya saat Mas Danu di penjara dan Mbak Yuli mulai menagih balas budi padanya, karena awal menikah dulu, dia tak sepelit ini. Bahkan saat aku minta mudik, Mas Aris selalu membelikan oleh-oleh atau baju buat bapak dan ibu. Tanpa pernah aku minta.
Ibu juga sangat menyayangi Mas Aris karena Mas Aris pernah melunasi hutang ibu hampir sepuluh juta. Itu dulu saat aku baru menikah dengannya beberapa bulan. Mungkin karena itu pula, ibu sering kali tak percaya jika aku bilang Mas Aris sedikit berubah.
Bahkan ibu selalu menasehatiku soal ujian rumah tangga dan kodrat sebagai istri untuk menutup aib suami. Sejak itu pula aku tak lagi menceritakan soal Mas Aris yang lebih mementingkan kakak dan keponakannya. Nanti, cukup aku berikan bukti pada ibu jika memang Mas Aris terlalu perhitungan pada anak dan istri sendiri.
"Aku pinjam duitmu dulu deh, Mas. Nanti tanggal 22 atau 23 InsyaAllah aku ada duit. Aku bayar hutangku padamu," ucapku lagi.
"Lucu sih. Seorang istri hutang pada suaminya hanya untuk membeli tiket mudik. Tapi mau gimana, duitmu bukan hakku tapi hak kakakmu. Iya, kan?" sindirku lagi. Mas Aris menoleh ke arahku sembari bersungut kesal.
"Kenapa? Bukannya memang begitu? Coba ingat, sejak Mas Danu di penjara kamu sudah tak peduli lagi bagaimana nasibku dan Zahra. Kamu hanya memberiku jatah dua ratus ribu selama seminggu. Kamu tahu, Mas. Aku sampai malu jika para tetangga cerita soal jatah belanja mereka yang jutaan sebulan, sementara aku hanya dua ratus ribu seminggu," ucapku lagi.
Mas Aris menggebrak meja lalu melotot lebar ke arahku.
"Kamu mulai ngelunjak dan membangkang, Wit! Mulai berani mendikte sikap dan keputusan yang sudah kuambil matang-matang, ha? Kenapa? Kamu nggak terima? Kalau nggak mau, aku tarik saja jatah mingguanmu!" Bentak Mas Aris lagi.
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar bentakannya. Mas Aris memang sudah berubah, tak seperti awal menikah dulu. Sangat jauh perbedaannya.
"Mungkin itu lebih baik, Mas. Jadi aku bisa menggugatmu nanti karena kamu nggak pernah kasih nafkah!" ucapku lagi.
"Maksudmu apa, Wita?"
Aku hanya tersenyum kecut lalu membalikkan badan, baru tiga langkah Mbak Yuli tiba-tiba nongol di depan pintu. Perempuan itu selalu saja datang di waktu yang tak tepat. Mau ngadu apalagi dia?
"Duitnya ada, Ris? Mbak ditagih dealer karena nggak bisa bayar cicilan motor Mas Danu bulan ini," ucap Mbak Yuli tiba-tiba sembari melirikku sinis.
Sepertinya dia memang sengaja bicara cukup keras supaya aku mendengar ucapannya. Agar aku kembali cemburu perihal uang lagi dan lagi.
"Nasehati istrimu, Ris. Nggak pantas dia mempermalukan iparnya sendiri apalagi di grup keluarga besar!" ucap Mbak Yuli lagi setelah menerima uang pemberian Mas Aris.
Oh ... ternyata uang di dompet itu sengaja Mas Aris sisihkan untuk Mbak Yuli. Lagi, lagi dan lagi! Entah berapa juta dia berikan untuk kakaknya tiap bulan. Yang kulihat, tiap kali butuh uang Mbak Yuli langsung nodong Mas Aris.
Pernah Mas Aris bilang nggak ada duit, tapi apa? Mbak Yuli justru mengungkit kembali soal balas budi. Sepertinya memang itu senjata andalannya untuk memeras keringat adik sendiri. Naudzubillah.
"Maksudmu apa, Mbak?"
"Istrimu sudah mempermalukan aku di grup w******p keluarga besar. Nggak tahu diri, dia pikir tinggal dan hidup di mana selama ini," ucap Mbak Yuli lagi. Aku menoleh ke arahnya cepat.
"Aku tinggal di rumah ini karena suamiku tinggal di sini, Mbak. Kalau kamu minta aku pergi dari sini, bisa saja. Nasehati adikmu supaya beli rumah atau sewa kontrakan. Bukan kah tugas suami mengayomi dan menyiapkan sandang dan papan untuk keluarganya? Kalau nggak sanggup kenapa nggak diceraikan saja?" tanyaku ketus.
"Kamu dengar sendiri kan, Ris? Istrimu itu memang harus ditalak saja. Lebih baik kamu cari pengganti, daripada punya istri nggak tahu diri dan nggak bisa menghargai suami sendiri!"
"Di kamarku ada kaca, Mbak. Barang kali di rumahmu nggak ada kaca!"
"Maksudmu apa, Wita!" Bentak Mbak Yuli lagi.
"Kamu sendiri mempermalukan suamimu, karena sudah menjadi benalu dalam rumah tanggaku. Itu artinya Mas Danu nggak bisa mencukupi kebutuhan rumah tanggamu atau memang kamu yang banyak gaya padahal nggak ada dana! Makanya ngaca sebelum menunjuk orang lain. Sepertinya justru kamu lah yang wajib ditalak! Mas Danu berhak mendapatkan istri yang jauh lebih baik daripada kamu!" ucapku kemudian.
"Mau ke mana kamu, Wita! Kami belum selesai bicara!" Panggil Mas Aris tiba-tiba.
"Mau hutang ke tetangga buat beli tiket. Nggak usah malu kalau aku hutang, kan kamu memang nggak sanggup membelikanku tiket, Mas. Iya, kan?" Aku tersenyum tipis lalu ke luar rumah dengan santai. Tak peduli suara Mbak Yuli dan Mas Aris yang saling sahut dan mengomel tak karuan. Sungguh, aku tak peduli!
💕💕💕
"Aku sama Zahra mudik nanti sore, Mas. Kamu nggak ikut sekalian? Masih ada kok tiketnya di sana. Aku cuma beli dua, itu pun uangnya hutang sama Mbak Lintang," ucapku santai, sementara Mas Aris sedikit tersedak setelah mendengar laporanku. "Maksudmu apa, Wit?" tanya Mas Aris dengan alis mengerut. "Aku beli dua tiket, Mas. Duit utang dari Mbak Lintang. Kalau kamu mau ikut mudik masih ada tiketnya di pangkalan bus, kalau mau kasih aja uangnya nanti jemput Zahra bisa aku belikan sekalian," jawabku lagi. "Bukan itu, maksudku kamu jadi mudik dan beneran pinjem duit sama Lintang? Dia biang gosip di kantor. Bisa hancur namaku kalau sampai dia bocor," ucap Mas Aris sembari memijit kening. Aku hanya mencibir kecil. "Lah ... memangnya kamu pikir aku becanda pengin mudik, Mas? Ibu sakit beneran bukan candaan. Lagian mana kutahu kalau Mbak Lintang biang gosip di kantor, Mas. Aku pinjam duit ya lihat-lihat, kupikir dia orang yang tepat. Dia kantor
Postingan Mas Aris di instagramnya benar-benar membuatku kesal. Bagaimana tidak? Aku ajak dia mudik untuk menengok ibu, jawabannya nggak ada libur plus nggak ada duit. Tapi nyatanya baru empat hari kutinggal mudik dia justru piknik dengan teman-teman kantornya di pantai. Bahkan saat kukirimkan pesan soal ibu yang masuk klinik pun dia hanya mengucapkan doa kesembuhan tanpa inisiatif mencari dana untuk membayar perawatan. Beruntung sakit ibu nggak parah, hanya dua hari saja di klinik, itu pun bisa pakai bp*s yang gratis lalu diizinkan pulang. |Piknik tipis-tipis, mantai dan weekend sembari menikmati indahnya debur ombak ramai-ramai| Dia upload beberapa foto dengan caption mengesalkan. Caption yang mengundang banyak komentar teman-temannya. Begitu pula komentar Mbak Yuli dan Mbak Heny. |Keren ya pantainya, Mas. Seru tuh, mertua sakit bukannya ditengok malah asyik piknik. Bini minta duit buat mudik disuruh ngutang, eh duit dipakai buat
Hari ini jalan-jalan ke pantai Ngrenehan Jogjakarta untuk menikmati pemandangan menyejukkan mata. Saat lapar mulai melanda, bisa menyewa tempat makan untuk sekalian dimasakkan ikan segar sesuai menu yang kita minta, karena di sana banyak sekali perahu nelayan yang setiap pagi mendarat membawa berbagai jenis ikan segar. Setelah agak siang, kami ke Pasar Beringharjo untuk membeli beberapa jilbab buat ibu dan kaos dan celana pendek bapak. Tak lupa membeli perabot memasak dan aneka camilan. Agak sore kami ke Malioboro. Menikmati suasana malam kota Jogjakarta yang selalu dirindukan banyak orang. Aku sengaja menyewa rental milik tetangga dan mengajak Zahra, ibu dan bapak piknik bersama. Bahagia sekali rasanya melihat mereka tersenyum dan tertawa menikmati piknik sederhana hari ini. Jarang sekali aku bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini bersama mereka. |Alhamdulillah, gajian bulan ini bisa untuk piknik sederhana bersama keluarga. Bahagianya melihat
Masa libur Zahra masih seminggu lagi, tapi tak apa lah. Aku harus pulang karena besok ada family gathering di kantor Mas Aris. Tahun lalu aku nggak ikut karena kurang fit, tapi kali ini entah mengapa ada perasaan lain yang mendorongku untuk ikut. Jam tujuh pagi aku dan Zahra sampai terminal Pulo Gadung, segera turun dari bus untuk naik angkot menuju rumah. Zahra masih terlihat begitu mengantuk saat kubangunkan dari bus, namun senyumnya kembali mengembang saat tahu sudah sampai Jakarta, yang artinya sebentar lagi sampai rumah. Bisa istirahat dan selonjoran sepuasnya. Turun dari angkot, kulihat suasana rumah cukup ramai. Ada motor Mbak Arum dan Mbak Aruna di sana. Suara Mbak Yuli pun terdengar di dalam rumah. Mereka tertawa bersama seolah begitu bahagia. Entah ada acara apa sampai mereka sudah berkumpul sepagi ini. Aku dan Zahra perlahan memasuki halaman. Baru saja melangkah ke teras, kudengar Mbak Yuli mulai menyebut namaku. Kuurungkan memasuki teras bah
"Zahra, kemarin saat di rumah nenekmu kamu jalan-jalan terus, ya?" tanya Annisa pelan. Sepertinya dia ingin mendengarkan cerita Zahra saat di rumah neneknya. "Jalan-jalan sehari doang, Nis. Cuma ke beberapa tempat, ke pantai, ke pasar sama ke Malioboro," ucap Zahra senang. "Kata mama, kamu beli baju, sepatu sama sandal baru, ya?" "Iya, Nisa. Beli di pasar sama ibu sekalian beliin nenek dan kakek juga," ucap Zahra lagi. Dua anak itu berbincang-bincang di depan teras rumah mbak yuli. Tiba-tiba kulihat Mbak Yuli ikut menimpali. "Baju sama sandal murahan, Nisa. Kamu nggak usah iri. Tuh lihat sandalnya paling harga tiga puluh ribuan, namanya juga di pasar bukan sandal branded kayak punya kamu. Dipakai dua bulan juga udah rusak itu nanti," ucap Mbak Yuli tiba-tiba. Aku masih di samping rumah Mbak Yuli, tepatnya di counter Mas Adit saat kudengar Mbak Yuli tiba-tiba nimbrung obrolan dua bocah itu. Suaranya cukup keras hingga aku bi
"Kamu nggak mau pakai gamis yang aku beli?" tanya Mas Aris tiba-tiba saat aku masih mematut diri di depan kaca. Zahra sudah tampil cantik dan sederhana dengan balutan gamis yang kubeli beberapa waktu lalu serta sandal berwarna senada. Meski murah tetap saja cantik untuk anakku, yang penting dia bahagia. Tak dihitung berapa nominalnya. "Aku sudah beli gamis sendiri, Mas. Terima kasih," balasku singkat sembari membenarkan hijab yang sedikit kurang pas di dahi. Mas Aris menatapku beberapa saat lamanya lalu menghembuskan napas panjang. "Terserah. Yang penting aku sudah berusaha membelikannya," balasnya singkat. Aku hanya mengangkat alis cepat lalu kembali ke depan kaca dengan memoles sedikit lip blam ke bibir. 'Kamu cantik, Wita. Hanya saja nasibmu yang belum secantik wajahmu' Batinku memuji diri sendiri. Tak apalah, daripada nggak ada yang memuji sama sekali. "Ibu, hari ini ibu terlihat sangat cantik dengan gam
Jam lima sore aku dan Mas Aris juga Zahra sudah sampai di halaman rumah setelah seharian bermain pasir di Ancol. Sejak pertemuan dengan Mas Hanan tadi siang, Mas Aris mendadak diam. Apalagi saat Mas Hanan bilang sangat bersyukur bisa bertemu denganku lagi di kota ini setelah sepuluh tahun tak bertemu karena suatu hal, wajah Mas Aris berubah seketika. Dia benar-benar tak suka. Tampak jelas dari sorot mata dan aura wajahnya yang tak bersahabat, meski Mas Hanan sering kali mengajaknya bicara dan bercanda layaknya karyawan yang lain. Namun Mas Aris terlalu menjaga jarak bahkan begitu terlihat malas saat Mas Hanan memperkenalkan pada semua karyawan bahwa dia lah direktur baru di kantor dan akan membuat terobosan baru untuk memajukan perusahaan. Tepuk tangan terdengar riuh, namun Mas Aris seolah enggan untuk ikut bertepuk tangan apalagi melayangkan sebuah senyuman. Aku pun tak tahu mengapa Mas Aris mendadak tak ingin kuajak bicara juga. Selalu
"Assalamu'alaikum, Bu. Gimana kabarnya? Ibu sudah sehat, kan?" tanyaku pada ibu via telepon. Sejak mudik tiga minggu lalu aku memang sering menelepon ibu, menanyakan kabarnya sudah membaik atau belum. Rasanya aku sudah cukup lelah, menunggu perubahan Mas Aris, namun nyatanya sia-sia belaka. Akhir-akhir ini dia justru semakin beringas, nggak jelas. Dia selalu menyindir hubunganku dengan Mas Hanan. Padahal pasca family gathering waktu itu sampai sekarang pun aku nggak pernah bertemu dengannya. Jangankan bertemu, sekadar berhubungan via maya aja nggak pernah. Namun sepertinya Mas Aris tak percaya, sering kali curi-curi pandang saat aku menelepon atau kirim pesan dengan seseorang. "W*'alaikumsalam, Wit. Alhamdulillah ibu sudah sehat. Justru ibu mengkhawatirkan kamu," jawab ibu lirih. Seperti ada beban yang dia pikirkan, entah apa. "Khawatir soal apa, Bu? Wita baik-baik saja kok. Zahra juga," ucapku lagi. Kudengar hembusan