"Aku sama Zahra mudik nanti sore, Mas. Kamu nggak ikut sekalian? Masih ada kok tiketnya di sana. Aku cuma beli dua, itu pun uangnya hutang sama Mbak Lintang," ucapku santai, sementara Mas Aris sedikit tersedak setelah mendengar laporanku.
"Maksudmu apa, Wit?" tanya Mas Aris dengan alis mengerut.
"Aku beli dua tiket, Mas. Duit utang dari Mbak Lintang. Kalau kamu mau ikut mudik masih ada tiketnya di pangkalan bus, kalau mau kasih aja uangnya nanti jemput Zahra bisa aku belikan sekalian," jawabku lagi.
"Bukan itu, maksudku kamu jadi mudik dan beneran pinjem duit sama Lintang? Dia biang gosip di kantor. Bisa hancur namaku kalau sampai dia bocor," ucap Mas Aris sembari memijit kening. Aku hanya mencibir kecil.
"Lah ... memangnya kamu pikir aku becanda pengin mudik, Mas? Ibu sakit beneran bukan candaan. Lagian mana kutahu kalau Mbak Lintang biang gosip di kantor, Mas. Aku pinjam duit ya lihat-lihat, kupikir dia orang yang tepat. Dia kantoran, sekantor sama kamu lagi jadi aku tahu gajian dia tanggal berapa, kan?"
"Harusnya kamu nggak usah pinjam duit segala, apalagi sama dia," balas Mas Aris lagi. Aku membalikkan badan ke arahnya yang masih duduk di kursi makan."Maksudmu gimana sih, Mas? Kamu nggak mau kasih aku duit tapi minjam Mbak Lintang pun kena omel. Kamu malu, iya, kan? Tadi Mbak Lintang emang kaget banget saat aku pinjam duit, sih. Dia bilang kamu dapat bonus karena capai target bulan ini kok aku malah pinjam uang katanya," ucapku santai sembari membuatkan Zahra orak-arik telur.
Mas Aris menoleh ke arahku setelah meletakkan cangkir kopi ke meja.
"Omongan Lintang kamu percaya. Dia ratu gosip di kantor. Kamu kalau mau pinjam duit bilang dulu lah. Pinjam sama siapa. Bukan asal mampir ke rumahnya saja," ucap Mas Aris lagi.
"Bohong soal bonus? Nggak mungkin, buat apa? Kamu aja yang bohong sama aku, Mas. Lagian dapat bonus berapa istri juga nggak dikasih tahu. Gajian berapa pun istri juga nggak dikaish lihat. Giliran istri ngutang ke tetangga ribut," balasku lagi.
"Terserah lah. Kamu sama Zahra pulang aja sendiri, aku nggak ada duit. Aku bukan orang yang ngoyo, nggak ada duit ya diam bukan pinjam sana-sini. Memalukan diri sendiri" Mas Aris melirikku lagi.
Benar-benar nggak bertanggungjawab sama sekali, bukannya dia yang malu nggak bisa kasih saku istrinya justru seolah menyalahkan orang lain karena ketidakmampuannya.
"Gimana mau ada duit, tiap minggu buat bayar setoran kakakmu. Tapi nggak apa-apa lah, namanya juga balas budi. Iya, kan? Tunggu saja nanti kalau aku sudah capek juga pergi sendiri. Biar kamu yang urus Mbak Yuli," ucapku santai sembari menutup tudung saji setelah memasukkan orak-arik telur ke dalamnya. Mas Aris kembali menoleh ke arahku, namun aku tak peduli. Cuek saja sembari melangkah pergi.
💕💕💕
Zahra terlihat sangat bahagia saat sampai di rumah nenek kakeknya di Solo. Perjalanan dari Bekasi ke Solo lumayan melelahkan, sekitar 12 jaman. Ibu sudah menyiapkan opor ayam kesukaan Zahra dan tempe mendoan, camilan favoritku.
Ibu dan bapak pun terlihat begitu bahagia saat melihat cucu kesayangannya datang. Maklum saja, aku dan Zahra sudah setahun lebih nggak mudik ke Solo. Aku pun yakin bapak dan ibu sangat merindukanku, terlebih Zahra.
"Aris nggak ikut mudik, Wit?" tanya ibu saat kami di ruang makan. Menikmati masakan ibu yang begitu membuat rindu.
"Kerja, Bu. Nggak ada libur, lagi kejar target katanya," ucapku lirih.
Ingin rasanya jujur pada ibu jika Mas Aris sudah sangat berubah sekarang, tak seperti Aris yang ibu kenal dulu. Tapi sepertinya bukan sekarang aku menjelaskan soal Mas Aris mengingat keadaan ibu yang masih sakit. Meski terlihat baik-baik saja tapi aku tahu ibu memaksakan diri untuk menyambutku dan Zahra. Mungkin tak ingin menambah beban pikiranku jika melihatnya terbaring lemah di pembaringan.
"Ibu sangat bahagia melihat kamu sekarang, Wit. Sepertinya pekerjaan Aris sudah mulai membaik, ya? Kamu dan Zahra juga terlihat berisi, nggak seperti tahun lalu saat kamu pulang. Badanmu tampak kurus kering dan pucat," ucap ibu sembari menyendokkan nasi ke mulutnya.
"Tahun lalu kami mudik karena sakit, kan, Bu? Jadi terlihat kurus," jawabku kemudian.
"Ibu selalu berdoa supaya rezeki kalian lancar dan rumah tangga kalian bahagia dunia akhirat." Bapak menimpali obrolan kami. Kuhembuskan napas panjang.
Setelah Zahra selesai makan, dia izin ke halaman belakang untuk bermain. Ingin rasanya kuceritakan sikap-sikap Mas Aris selama ini, namun kuurungkan saat melihat sorot mata ibu yang redup.
"Ibu sakit, Wita antar ke puskesmas ya, Bu? Atau ke rumah sakit sekalian?" ucapku penuh kekhawatiran namun ibu menggeleng pelan.
"Kenapa? Ibu sakit ini, Wita tahu kok kalau ibu berusaha sehat supaya kami nggak khawatir. Iya, kan? Wita sudah bilang tadi, kalau ibu sakit jangan kecapekkan apalagi masak-masak dulu, tapi ibu malah mempersiapkan ini semua. Sekarang Wita antar ke klinik Bu Wiji mau, ya?" Setelah sedikit kupaksa akhirnya ibu mau menuruti ucapanku.
Gegas kuantar ibu menggunakan motor matic bapak. Motor second yang dibeli bapak dari hasil panen beberapa tahun lalu. Sudah rusak di sana-sini, tapi setidaknya masih bisa dipakai untuk jarak lumayan jauh. Sampai di klinik, asisten Bu Wiji meminta ibu untuk menginap terlebih dahulu.
Baru ingin kutelepon Mas Aris tentang keadaan ibu, kulihat w******p keluarga besar sudah ramai. Entah apa yang mereka bicarakan sampai seheboh itu.
|Terima kasih ya, Ris. Gaun sama sepatunya buat Amiranya cantik banget, jadi nggak sabar pengen lihat dia pakai gaunnya ih|
Pesan dari Mbak Heny muncul di deretan teratas. Disusul dengan pesan dari Mbak Aruna dan Mbak Arum. Mereka mengucapkan terima kasih juga karena sudah dikasih kado yang cantik buat anak perempuan mereka.
Hati ini berdesir nyeri. Tega. Sungguh tega Mas Aris. Dia ingin terlihat baik dan dermawan di depan kakak dan keluarga besarnya sementara anak dan istrinya tak pernah dia pedulikan. Sakit sekali rasanya batin ini.
|Sama-sama kakakku semua. Maaf malam aku nggak bisa datang, makanya pagi-pagi aku antarkan kado itu saja. Ada acara yang nggak bisa kutinggalkan, soalnya sudah planning jauh-jauh hari|
Balasan dari Mas Aris semakin membuatku kesal. Entah planning apa yang dia maksudkan.
|Annisa juga dong, Ris. Masak mereka kamu kasih kado, Nissa nggak|
Mbak Yuli ikut ambil bagian. Dasar serakah dan iri dengki. Tiap bulan juga Mas Aris selalu kasih kado, tetap saja minta jatah lagi dan lagi.
|Minggu kemarin sudah kan, Mbak? Nanti lagi lah kalau sudah gajian|
Mas Aris kembali membalas. Hatiku semakin panas. Ku screenshot saja percakapan dan kado-kado mereka. Mengumpulkan bukti agar ibu dan bapak percaya jika menantunya memang tak layak untuk dipertahankan.
Kukirimkan bukti transferan dari Mbak Lintang kemarin, kebetulan sekali dia nggak ada uang cash jadi pakai mobile banking saat meminjamiku uang untuk membeli tiket.
|Bagus deh, Mas. Terus saja begitu, cari muka di depan keluarga besar tapi pada istri dan anak sendiri tak pernah peduli. Bahkan sekadar minta uang untuk membeli tiket mudik saja nggak dikasih. Padahal aku sudah bilang kalau ibu sakit, kangen Zahra juga karena sudah setahun nggak ketemu, tapi selalu bilang nggak ada duit. Untungnya ada Mbak Lintang ya yang kasih pinjem buat beli tiket. Kalau nggak, mana mungkin saat ini aku sampai Solo|
Mendadak grup diam setelah kukirimkan foto dan pesan panjang itu di sana.
Beberapa menit kemudian, sebuah pesan pribadi dari Mas Aris dan Mbak Yuli muncul di whatsappku.
|Maksud kamu apa mempermalukan adikku di depan keluarga besar, ha? Sengaja kan kamu, Wit! Harusnya kamu bersyukur cuma ongkang-ongkang kaki tapi hidup nyaman dan makan enak. Jangan ngelunjak!|
|Wita! Keterlaluan kamu. Benar-benar nggak bisa jaga aib suami. Bukannya aib suami harusnya kamu tutupi? Kenapa malah diumbar di depan keluarga? Kamu senang jika suamimu diremehkan banyak orang, ha!|Aku tersenyum sinis, meski dua kakak beradik itu tak melihat senyumku. Kembali kuscreenshot pesan mereka berdua. Kembali kukirimkan dalam grup.
|Alhamdulillah dapat omelan karena berucap jujur. Percaya lah, suami yang pelit pada anak istri pasti kelak akan mendapatkan balasan setimpal dariNya. Apalagi kalau menjadi benalu dalam rumah tangga saudara kandungnya sendiri, kelak pasti mendapatkan azabNya juga|
Klik. Pesan terkirim. Grup pun kembali heboh bahkan Mas Aris berusaha meneleponku berulang kali namun aku tak peduli. Kumatikan saja ponselku, fokus pada kesembuhan ibu.
💕💕💕
Postingan Mas Aris di instagramnya benar-benar membuatku kesal. Bagaimana tidak? Aku ajak dia mudik untuk menengok ibu, jawabannya nggak ada libur plus nggak ada duit. Tapi nyatanya baru empat hari kutinggal mudik dia justru piknik dengan teman-teman kantornya di pantai. Bahkan saat kukirimkan pesan soal ibu yang masuk klinik pun dia hanya mengucapkan doa kesembuhan tanpa inisiatif mencari dana untuk membayar perawatan. Beruntung sakit ibu nggak parah, hanya dua hari saja di klinik, itu pun bisa pakai bp*s yang gratis lalu diizinkan pulang. |Piknik tipis-tipis, mantai dan weekend sembari menikmati indahnya debur ombak ramai-ramai| Dia upload beberapa foto dengan caption mengesalkan. Caption yang mengundang banyak komentar teman-temannya. Begitu pula komentar Mbak Yuli dan Mbak Heny. |Keren ya pantainya, Mas. Seru tuh, mertua sakit bukannya ditengok malah asyik piknik. Bini minta duit buat mudik disuruh ngutang, eh duit dipakai buat
Hari ini jalan-jalan ke pantai Ngrenehan Jogjakarta untuk menikmati pemandangan menyejukkan mata. Saat lapar mulai melanda, bisa menyewa tempat makan untuk sekalian dimasakkan ikan segar sesuai menu yang kita minta, karena di sana banyak sekali perahu nelayan yang setiap pagi mendarat membawa berbagai jenis ikan segar. Setelah agak siang, kami ke Pasar Beringharjo untuk membeli beberapa jilbab buat ibu dan kaos dan celana pendek bapak. Tak lupa membeli perabot memasak dan aneka camilan. Agak sore kami ke Malioboro. Menikmati suasana malam kota Jogjakarta yang selalu dirindukan banyak orang. Aku sengaja menyewa rental milik tetangga dan mengajak Zahra, ibu dan bapak piknik bersama. Bahagia sekali rasanya melihat mereka tersenyum dan tertawa menikmati piknik sederhana hari ini. Jarang sekali aku bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini bersama mereka. |Alhamdulillah, gajian bulan ini bisa untuk piknik sederhana bersama keluarga. Bahagianya melihat
Masa libur Zahra masih seminggu lagi, tapi tak apa lah. Aku harus pulang karena besok ada family gathering di kantor Mas Aris. Tahun lalu aku nggak ikut karena kurang fit, tapi kali ini entah mengapa ada perasaan lain yang mendorongku untuk ikut. Jam tujuh pagi aku dan Zahra sampai terminal Pulo Gadung, segera turun dari bus untuk naik angkot menuju rumah. Zahra masih terlihat begitu mengantuk saat kubangunkan dari bus, namun senyumnya kembali mengembang saat tahu sudah sampai Jakarta, yang artinya sebentar lagi sampai rumah. Bisa istirahat dan selonjoran sepuasnya. Turun dari angkot, kulihat suasana rumah cukup ramai. Ada motor Mbak Arum dan Mbak Aruna di sana. Suara Mbak Yuli pun terdengar di dalam rumah. Mereka tertawa bersama seolah begitu bahagia. Entah ada acara apa sampai mereka sudah berkumpul sepagi ini. Aku dan Zahra perlahan memasuki halaman. Baru saja melangkah ke teras, kudengar Mbak Yuli mulai menyebut namaku. Kuurungkan memasuki teras bah
"Zahra, kemarin saat di rumah nenekmu kamu jalan-jalan terus, ya?" tanya Annisa pelan. Sepertinya dia ingin mendengarkan cerita Zahra saat di rumah neneknya. "Jalan-jalan sehari doang, Nis. Cuma ke beberapa tempat, ke pantai, ke pasar sama ke Malioboro," ucap Zahra senang. "Kata mama, kamu beli baju, sepatu sama sandal baru, ya?" "Iya, Nisa. Beli di pasar sama ibu sekalian beliin nenek dan kakek juga," ucap Zahra lagi. Dua anak itu berbincang-bincang di depan teras rumah mbak yuli. Tiba-tiba kulihat Mbak Yuli ikut menimpali. "Baju sama sandal murahan, Nisa. Kamu nggak usah iri. Tuh lihat sandalnya paling harga tiga puluh ribuan, namanya juga di pasar bukan sandal branded kayak punya kamu. Dipakai dua bulan juga udah rusak itu nanti," ucap Mbak Yuli tiba-tiba. Aku masih di samping rumah Mbak Yuli, tepatnya di counter Mas Adit saat kudengar Mbak Yuli tiba-tiba nimbrung obrolan dua bocah itu. Suaranya cukup keras hingga aku bi
"Kamu nggak mau pakai gamis yang aku beli?" tanya Mas Aris tiba-tiba saat aku masih mematut diri di depan kaca. Zahra sudah tampil cantik dan sederhana dengan balutan gamis yang kubeli beberapa waktu lalu serta sandal berwarna senada. Meski murah tetap saja cantik untuk anakku, yang penting dia bahagia. Tak dihitung berapa nominalnya. "Aku sudah beli gamis sendiri, Mas. Terima kasih," balasku singkat sembari membenarkan hijab yang sedikit kurang pas di dahi. Mas Aris menatapku beberapa saat lamanya lalu menghembuskan napas panjang. "Terserah. Yang penting aku sudah berusaha membelikannya," balasnya singkat. Aku hanya mengangkat alis cepat lalu kembali ke depan kaca dengan memoles sedikit lip blam ke bibir. 'Kamu cantik, Wita. Hanya saja nasibmu yang belum secantik wajahmu' Batinku memuji diri sendiri. Tak apalah, daripada nggak ada yang memuji sama sekali. "Ibu, hari ini ibu terlihat sangat cantik dengan gam
Jam lima sore aku dan Mas Aris juga Zahra sudah sampai di halaman rumah setelah seharian bermain pasir di Ancol. Sejak pertemuan dengan Mas Hanan tadi siang, Mas Aris mendadak diam. Apalagi saat Mas Hanan bilang sangat bersyukur bisa bertemu denganku lagi di kota ini setelah sepuluh tahun tak bertemu karena suatu hal, wajah Mas Aris berubah seketika. Dia benar-benar tak suka. Tampak jelas dari sorot mata dan aura wajahnya yang tak bersahabat, meski Mas Hanan sering kali mengajaknya bicara dan bercanda layaknya karyawan yang lain. Namun Mas Aris terlalu menjaga jarak bahkan begitu terlihat malas saat Mas Hanan memperkenalkan pada semua karyawan bahwa dia lah direktur baru di kantor dan akan membuat terobosan baru untuk memajukan perusahaan. Tepuk tangan terdengar riuh, namun Mas Aris seolah enggan untuk ikut bertepuk tangan apalagi melayangkan sebuah senyuman. Aku pun tak tahu mengapa Mas Aris mendadak tak ingin kuajak bicara juga. Selalu
"Assalamu'alaikum, Bu. Gimana kabarnya? Ibu sudah sehat, kan?" tanyaku pada ibu via telepon. Sejak mudik tiga minggu lalu aku memang sering menelepon ibu, menanyakan kabarnya sudah membaik atau belum. Rasanya aku sudah cukup lelah, menunggu perubahan Mas Aris, namun nyatanya sia-sia belaka. Akhir-akhir ini dia justru semakin beringas, nggak jelas. Dia selalu menyindir hubunganku dengan Mas Hanan. Padahal pasca family gathering waktu itu sampai sekarang pun aku nggak pernah bertemu dengannya. Jangankan bertemu, sekadar berhubungan via maya aja nggak pernah. Namun sepertinya Mas Aris tak percaya, sering kali curi-curi pandang saat aku menelepon atau kirim pesan dengan seseorang. "W*'alaikumsalam, Wit. Alhamdulillah ibu sudah sehat. Justru ibu mengkhawatirkan kamu," jawab ibu lirih. Seperti ada beban yang dia pikirkan, entah apa. "Khawatir soal apa, Bu? Wita baik-baik saja kok. Zahra juga," ucapku lagi. Kudengar hembusan
"Kamu nelepon siapa, Wit? Ibu? Ngomong apa kamu sama ibu?" tanya Mas Aris tiba-tiba dari ambang pintu. Dia menatapku begitu tajam dengan tatapan tak bersahabat. Aku hanya menghembuskan napas panjang lalu menggelengkan kepala. Tak mungkin aku jujur pada Mas Aris tentang obrolanku dengan ibu. Biar saja menjadi kejutan buat dia nanti jika tiba-tiba ada panggilan sidang atas namanya. "Wita! Ngobrol apa kamu sama ibu?" tanya Mas Aris lagi. Sepertinya dia begitu ingin tahu atau justru hanya ingin mengorek kejujuranku? Aku tak tahu sejak kapan dia berada di ambang pintu.Sejak aku menelepon ibu atau baru saja dia ke luar saat aku sudah mengakhiri obrolan dengan ibu. Ah entah lah. "Ngobrol seperti biasanya, Mas. Memangnya kenapa? Kamu juga nggak pernah mau ngobrol dengan ibu, kan?" tanyaku asal. Mas Aris hanya menatapku beberapa saat lalu kembali masuk ke kamar. Gegas kusiapkan makan untuk Zahra, tadi dia minta dibikinkan orak-arik telur pada