Suasana berkabung masih begitu terasa setelah kepergian papa seminggu yang lalu. Mas Hanan tampak masih sangat lesu, begitupula dengan Syifa. Aku tak bisa berbuat banyak, wajar jika mereka merasa begitu kehilangan papa. Tak ada firasat atau gejala sakit yang menyerang papa, namun ternyata takdir memisahkan kita selamanya. Jika memang ada yang merencanakan ini semua, betapa hancurnya batin Mas Hanan dan Syifa. Mereka pasti tak akan tinggal diam. Aku tahu, takdir memang sudah ditentukan, tapi sengaja merencanakan kecelakaan seseorang bahkan hingga membuatnya kehilangan nyawa jelas sebuah pelanggaran. Teringat kembali dengan amplop berisi kertas ancaman itu. Aku benar-benar takut jika orang itu merencanakan sesuatu yang lebih buruk setelah ini. Sebaiknya aku katakan pada Mas Hanan tentang amplop itu, tapi melihatnya begitu terpuruk membuatku maju mundur untuk menceritakannya. Acara pengajian dan doa-doa untuk papa kami gelar selama seminggu berturut-turut dan hari ini adalah ha
Ruang kerja papa terasa sunyi dan dingin. Mungkin karena sudah ditinggalkan oleh penghuninya seminggu belakangan. Meski begitu, semua perkakas milik papa masih tertata rapi seperti semula. Nggak ada seorang pun yang mengotak-atik apalagi menyingkirkannya. Mas Hanan mulai menyalakan komputer untuk membuka cctv yang terhubung dengan komputer di meja kerja papa. Waktu pun mundur hingga seminggu yang lalu saat papa pergi meninggalkan kami semua. "Nah mulai yang ini, Mas," ucap Anjas sembari menunjuk layar monitor. Dua lelaki itu begitu fokus memperhatikan gerak-gerik dalam rekaman monitor, sementara aku dan Syifa berdiri di belakang mereka ikut memperhatikan tangkapan cctv itu. "Itu karangan bunga tanpa namanya 'kan, Njas?" Mas Hanan kembali menunjuk sebuah mobil yang menurunkan karangan bunga tanpa nama itu di barisan paling ujung. Hanya nama papa saja yang tertera di sana. Tak ada nama pengirimnya. "Iya, Mas. Benar itu karangan bunganya. Cuma siapa yang kirim?" Anjas menoleh ke
SEASON 2 BAB 92 Mas Hanan terdiam sejenak sebelum membalas pertanyaanku tentang pelaku teror itu. Sepertinya dia melamun. "Mas ... kamu nggak apa-apa?" tanyaku lagi sembari mengusap lengannya pelan. Sedikit kaget dia menoleh ke arahku. "Ehya, maaf, Sayang. Masih mikirin tukang ojek itu. Mas dan Anjas sudah menemukan alamat tukang ojeknya sesuai dengan plat nomor motor yang dia pakai. Tadi agak kurang jelas, tapi setelah dizoom sedikit lebih jelas dan berhasil. Ini alamatnya, sudah Mas screenshot," ucap Mas Hanan sembari memperlihatkan foto di layar ponselnya. "Alhamdulillah. Syukurlah kalau sudah ketemu, Mas. Rencananya kapan mau cari alamat itu?" tanyaku lagi."Hari ini juga mau cari alamatnya. Nanti sama Pak Agus juga. InsyaAllah kita akan segera menemukan pelakunya." Mas Hanan begitu yakin lalu menatapku dan Syifa bergantian. Aku pun mengangguk, berusaha memberikan semangat untuknya. Semoga saja teka-teki ini cepat selesai. Pelaku ditangkap dan diadili seadil-adilnya. Aku jug
Pagi ini Hanan dan Anjas kembali menyelidiki siapa sebenarnya pengirim karangan bunga untuk almarhum papa kala itu. Anjas masih fokus dengan kemudinya, sementara Hanan kembali menghubungi Pak Agus untuk ikut mencari alamat tersebut. Jalan Kemuning nomor 25. Berkat cctv di rumah Om Rusdy, dia mendapatkan alamat pemilik motor yang dipakai pelaku untuk menyelipkan surat ancaman itu. Selama ini Hanan merasa tak pernah memiliki musuh, namun dia tahu jika dalam dunia bisnis kadang ada musuh dalam selimut. Sepertinya mendukung padahal sebenarnya ingin menikung. Almarhum papa selalu memberikan banyak nasehat untuk anak lelakinya itu seputar dunia bisnis. Oleh karenanya, meski Hanan tak merasa memiliki musuh, tetap saja dia tak kaget jika ada orang lain yang menganggapnya musuh. Namun satu hal yang tak dia mengerti hingga detik ini. Kenapa kebencian dan dendam musuhnya itu harus mengorbankan orang lain. Kenapa tak bersaing secara terbuka saja tanpa harus mempertaruhkan nyawa. "Kenapa,
Hanan dan Anjas masuk warung makan dengan santai. Ada beberapa orang laki-laki di sana yang tengah menikmati makanannya di piring. Dua di antaranya melirik Hanan sekilas lalu melanjutkan makannya. "Mau makan apa, Mas?" tanya penjaga warteg pada Hanan dan Anjas. "Maaf, Bu. Cuma mau tanya motor yang ada gambar laba-labanya ini punya siapa ya?" tanya Hanan sembari menunjuk salah satu motor yang terparkir di depan warung. "Punya Pak Sapri itu, Mas. Kenapa memangnya?" sahut salah seorang bapak yang duduk paling ujung. "Pak Saprinya ke mana ya, Pak?" tanya Hanan karena menyadari pemilik motor itu tak ada di sini. "Lagi ke toilet, Mas. Sebentar lagi juga ke sini," ucap pemilik warung sembari menunjuk toilet di belakang. Anjas duduk di salah satu kursi, sedangkan Hanan mengambil air mineral dari lemari pendingin lalu meneguknya beberapa kali hingga tandas tak bersisa. Sepertinya dia cukup kehausan saat perjalanan mencari dalang peneroran keluarganya itu. Sekitar sepuluh menit men
Nuri, penjaga toko bunga itu mulai menjelaskan seorang laki-laki yang ada di layar handphone Hanan. "Namanya Ahmad. Rumahnya di gang sebelah, Mas. Dia memang sering beli bunga di toko ini untuk pesanan offline maupun online, tapi maaf saya nggak tahu kalau dia terlibat kriminal," ucap perempuan bernama Nuri itu dengan cemas. Mungkin takut akan terlibat kasus ini karena menyangkut toko bunga yang dia jaga. "Ta-- tapi saya nggak ikut campur dan nggak tahu menahu soal itu ya, Mas. Lagipula di sini saya cuma bekerja sebagai penjaga toko saja. Nggak ada kepentingan lain di dalamnya." Perempuan muda itu semakin gugup membayangkan kata kriminal yang diucapkan Hanan padanya. Pikirannya semakin kemana-mana. Takut jika ikut terseret masalah ini, sementara dia merasa tak ada sangkut pautnya. Selama ini hanya sekadar melayani pembeli dengan ramah, siapapun orangnya. "Tenang saja, Mbak. Kami nggak akan melibatkan Mbak terlalu dalam soal ini. Kami hanya ingin Mbak menunjukkan di mana rumah M
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan