Share

Mereka Bersekongkol

Yang belum subscribe, bisa tolong subscribe dulu ya, biar sama-sama semangat.

Selamat membaca!

****

"Mau kemana sepagi ini?" tanya Mas Helmi ketika melihat Dinda telah cantik dan berpakaian rapi.

"Ke toko, Mas." Dinda menjawab singkat.

"Untuk apa? Lagipula, toko baik-baik saja dan tak ada masalah. Kamu di rumah, biar Mas saja yang handle semuanya!" sahut Helmi lagi tak suka.

"Emh, kamu, kan sering bolak-balik Jakarta, apalagi kamu sering menginap di sana. Yang di Bandung biar aku saja yang handle. Lagipula, aku harus tahu betul model apa yang sedang trandy sekarang ini." Dinda beralasan.

'Tentu saja aku harus bermain cantik untuk menghempaskan benalu sepertimu, Mas!'

"Kan, ada Hana. Dia bisa menangani semuanya, Dinda!" Dalih Helmi terdengar mulai sewot.

"Mas, Hana itu hanya kerja dan dia di bayar untuk itu! Apa salahnya aku sebagai istri dari pemilik toko ingin ikut serta dalam membesarkan toko kita?" ucap Dinda. Kali ini dengan intonasi tinggi karena berpura-pura baik di depan orang yang sudah ketahuan berkhianat itu tidak mudah.

"Dinda, Aku tak mau kamu kelelahan. Kamu itu istriku sudah selayaknya aku memperlakukanmu bagai ratu, diam di rumah saja!" elak Helmi. Ia terus beralasan untuk menentang kemauan istrinya.

'Hahaha, Ratu di rumah saja. Lalu di luar sana kamu menghabiskan uang serta waktumu untuk berzina. Astagfirullah!'

"Mas, cukup aku tidak mau berdebat denganmu kali ini! Aku sudah membuat keputusan untuk kembali mengelola toko dan kamu tak perlu bersikeras untuk melarangku. Kamu fokus saja pada toko yang  di Jakarta!" Setelah berkata begitu, Dinda segera berlalu dari hadapannya.

"Din, Dinda!"

Teriakan Helmi tak di indahkan sama sekali oleh Dinda. Perempuan yang telah membersamainya selama 15 tahun itu telah berani mengacuhkan perintahnya.

****

"Selamat pagi, Ibu!" sapa Hana, sambil mengangguk hormat kepadaku.

Dinda menatapnya cukup lama. Andai saja ia punya bukti Hana ada andil dalam perselingkuhan suaminya, Dinda akan memecatnya secara tak hormat sekarang juga.

"Selamat pagi juga, Hana. Oya, setengah jam lagi tolong antarkan laporan keuangan tiga bulan yang lalu ke ruangan Bapak, ya!" perintah Dinda pada Hana.

"Baik, Bu." 

Setengah jam kemudian, Hana masuk setelah mengetuk pintu ruangan. Dinda mempersilakannya duduk terlebih dahulu, lalu Hana menyodorkan berkas-berkas itu pada Dinda.

"Hana, kemarin aku melihatmu berpelukan dengan perempuan yang datang bersama Mas Helmi kemari ...." Dinda sengaja menjeda ucapannya, lalu memperhatikan raut wajah Hana yang tiba-tiba berubah gelagapan dan salah tingkah di hadapan atasannya.

"Bisa kamu jelaskan padaku, siapa perempuan itu?" Dinda melanjutkan ucapannya, sembari menatapnya dengan penuh penekanan.

Hana Bergeming, jemarinya memainkan ujung kemeja yang di kenakannya.

"Hana, kamu tahu? Kamu sudah lama ikut denganku, aku memberikan kepercayaan penuh sama kamu, tapi kenapa ketika ada masalah seperti ini kamu tak bisa kasih tahu saya?" cecar Dinda. Emosi yang sedari ia redam hampir saja pecah bersamaan dengan air mata yang terjatuh di sudut matanya. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh itu dengan cepat sebelum Hana melihatnya.

"Hana, Aku tahu ibumu sedang sakit keras, gajimu sebagian besar kamu habiskan untuk membayar obat-obatan. Lalu, bagaimana kamu akan membayarnya jika aku memberhentikan kamu dari pekerjaan ini?" lanjut Dinda lagi.

Ia terpaksa mengancamnya, agar dia tak bungkam terus-terusan. Dinda butuh penjelasan darinya, karena Dinda sangat yakin, Hana tahu banyak tentang skandal suaminya dengan perempuan muda berambut pendek itu.

"Ibu, aku mohon jangan pecat aku!" ucap Hana pelan, sambil menatap atasannya.

"Baik, katakan semuanya yang kamu tahu sekarang juga, Hana!" gertak Dinda dengan suara lantang.

"Perempuan itu, sebenarnya anak dari orang yang meninggal gara-gara pak Helmi, Bu. Menurut pengakuan pak Helmi, ia tak sengaja menabraknya enam bulan yang lalu. Kasus itu berakhir damai dengan syarat pak Helmi harus menikahi putrinya." Hana menjelaskan dengan pelan.

'Tabrakan?'

Seketika saja Dinda teringat kejadian enam bulan yang lalu, suaminya pulang dengan mobil yang penyok bagian depannya.

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Dinda panik.

"Mobilku menabrak tiang listrik, Din. Aku ngantuk, jadi tak konsentrasi mengemudi," jawab Helmi. Ia terlihat sangat kacau.

"Buat apa bayar sopir kalau kamu lebih senang pergi sendiri? Jadinya seperti ini, kan!" gerutu Dinda. Tangannya dengan lihai mengompres kening Helmi yang sedikit lecet dan membiru.

"Besok minta pak Dahlan untuk menjual mobil ini, ya, Din! Aku nggak mau memakainya lagi." Helmi memijit keningnya, seperti gelisah.

"Loh, kok, langsung dijual? Kan, masih bisa di perbaiki dulu." Dinda mengernyitkan kening dan sedikit curiga. Aneh saja, Helmi langsung memutuskan untuk menjual mobilnya. Padahal, mobil itu salah satu mobil kesayangannya.

"Dinda, pernah dengar nggak cerita tentang mobil yang pernah kecelakaan, selanjutnya akan terus kecelakaan, bahkan memakan korban. Aku nggak mau kamu, atau anak-anak kita mengalami itu." Helmi menjelaskan dengan terburu-buru.

"Mitos itu, Mas! Yang pernah kudengar kalau kendaraan yang habis kecelakaan sampai ada korban jiwa , baru di sebut mobil bayangan dan di percaya akan kecelakaan terus," sahut Dinda.

"Sekarang juga kecelakaan, aku nabrak tiang listrik. Apa harus aku mati dulu baru kamu akan setuju untuk menjual mobil ini?" ujar Helmi dengan nada tinggi.

"Loh, kok, malah ngomongnya kemana-mana, sih? cuma gara-gara mitos doang. Terserah kamu, kalau mau jual mobilnya silakan saja!" timpal Dinda. Ia malas memperpanjang perdebatan itu.

****

'Apa itu ada hubungannya dengan penjelasan dari Hana?" 

"Bu, Bu Dinda," panggil Hana.

Dinda berusaha mengingat-ingat kejadian janggal sekitar enam bulan yang lalu.

"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Hana, wajahnya tampak khawatir.

"Ya, aku baik-baik saja. Apa kamu tahu hubungan mereka sejauh apa? Apa mereka sudah menikah, Hana?" tanya Dinda mulai kehilangan rasa sabarnya.

"Kalau masalah itu aku tidak tahu," jawab Hana.

"Ya sudah, kamu kembali bekerja saja!" titah Dinda pada Hana.

Tadinya, hari pertama Dinda datang ke toko, ia ingin mengecek laporan keuangan. Namun, ketika mendengar penjelasan Hana, niat itu tiba-tiba memudar.

'Jika memang, Helmi menabrak orang tua dari perempuan muda itu, apa perempuan itu tahu tentang kecelakaan bapaknya yang di sebabkan oleh Mas Helmi? Rasanya mustahil.'

Dinda harus bergerak cepat, jangan sampai Helmi kadung curiga dengan apa yang sedang di selidikinya saat ini.

Dinda memutuskan untuk pulang saja. Namun ketika Dinda hendak beranjak, tiba-tiba ia merasakan ingin buang air kecil dan segera bergegas ke toilet umum. Dinda baru saja masuk ke toilet, ia mendengar sayup-sayup suara seseorang sedang berbicara lewat sambungan telepon.

"Bapak tenang saja, aku yakin Bu Dinda pasti percaya." 

"Ok, jangan lupa transferannya, ya, Pak!"

Degh.

'Apa dia menyebut namaku?'

Dinda yakin sekali itu Hana. Hana sedang menelepon seseorang dan ia memanggilnya Bapak!

'Apa itu Helmi?'

Dinda perlahan membuka pintu toilet, namun tak ada siapapun di sana. Bahkan, semua pintu toilet dalam keadaan terbuka. ia bergegas keluar mencoba menyusul Hana barangkali dia ke toilet hanya sekadar untuk menelepon saja.

Dari kejauhan, Dinda melihat Hana berjalan menuju toko. Ia yakin sekali perempuan yang tadi menelepon di toilet itu adalah Hana.

'Awas kamu, Hana! Kamu berani main-main denganku dan bersekongkol dengan Mas Helmi!'

Dinda bergegas meninggalkan toko dan menuju parkiran. Tidak apa- apa ia belum punya bukti tentang Hana yang telah bersekongkol dengan suaminya, tapi ia sudah tahu Hana selicik apa?

Brug!

Seorang lelaki muda menabrak Dinda yang sedang berjalan. Lalu, lelaki itu segera bangun dan mengambil tas milik Dinda. Setelah itu, ia kembali berlari.

Dinda yang seperti terhipnotis mulai sadar kalau tasnya di ambil lelaki itu, ia berteriak meminta pertolongan dan berusaha mengejar orang itu.

"Jamred! Jamred! Tolong, tasku di jamred orang itu!"

Dinda berteriak-teriak. Namun, sayang lelaki itu telah menghilang dari pandangannya.

Dinda menghela napas, kesialan menimpanya bertubi-tubi. Ketika rumah tangganya sedang ada masalah, dan satu-satunya bukti yang akan memberatkan Helmi di pengadilan raib seketika.

________________..

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Saripa Santi
mauka ku rasa kasi pelajaran hana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status