****"Aku, aku cuma ingin Dinda menerima pernikahan keduaku," sahut Helmi tanpa rasa salah sedikit pun."Lalu bagaimana jika anakku tidak bisa?" tanya Abi lagi."Dinda harus Mau, Abi. Karena aku dan Mama menginginkan anak perempuan. Kita semua tahu juga, kalau Dinda tak mungkin bisa hamil lagi, karena sudah nggak memiliki rahim, bukan?" jelas Helmi lantang menyudutkan Dinda."Jadi itu alasanmu, Helmi? Sampai-sampai kamu tega mengecewakan anak kami." ujar Abi. Ia mengulas senyum getir di bibirnya."Iya, Helmi diam-diam menikah itu karena punya alasan yang kuat. Sedangkan anak kalian, wataknya keras dan tidak bisa di ajak bicara baik-baik." sela Wulan semakin menyudutkan posisi Dinda. Dinda terus membaca istighfar sebanyak mungkin, menenangkan hati yang rapuh karena mendengar mereka yang terus menyudutkannya atas pernikahan kedua Helmi."Bagaimana, Dinda? Kamu sudah mendengar semuanya, silahkan mengambil keputusan. Ambil menurutmu yang terbaik untuk kamu, Adam dan Alif!" tegas Abi menat
****Semalam, Helmi pulang larut malam bersama Mariah, Wajah kusut keduanya membuat Dinda sangat penasaran. Namun, belum juga Dinda mendekat, mereka menatapnya dengan berang seperti hendak menerkam.Melihat tatapannya, nyali Dinda tidak menciut sedikit pun, malah ia melangkah dengan penuh percaya diri menghampirinya."Bersyukurlah, kalian tidak menginap di balik jeruji besi," ejek Dinda penuh kemenangan."Aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu, Mbak!" pekik Mariah, meluapkan kemarahannya pada Dinda."Punya bukti?" tanya Dinda, dengan tatapan penuh ejekan."Akan segera kudapatkan, tunggu saja!" ucap Mariah dengan ketus."Silakan!" Dinda tak kalah tegas."Oh, iya, Mas. besok pagi kalian semua harus sudah angkat kaki dari rumah ini!" lanjut Dinda kemudian."Dinda, kamu itu keterlaluan sekali, pengacaramu saja memberikanku waktu 1×24 jam untuk berpikir, kenapa kamu malah mengusirku?" sergah Helmi."Untuk apa berpikir? Semuanya sudah selesai, Mas!" bentak Dinda."Uangku sudah kamu bekuk
****'Secantik apapun kamu merawat diri dan menjaga hati, kalau memang sudah dasarnya lelaki itu tak setia, tetap saja dia akan berpaling dari kamu, Din!''Hai, lihatlah dunia tak berhenti ketika ucapan talak itu jatuh. Kamu masih punya Adam dan Alif yang harus kamu jaga dan besarkan!'Dinda terus menata hati dengan hal-hal yang mampu membangkitkan semangatnya. Malam kemarin ia habiskan dengan menangis, menyesalkan kepercayaan penuh yang ia berikan untuk Helmi. Tetapi, tidak untuk hari ini, ia harus lebih siap menyambut bahagia bersama kedua anak lelakinya.Siang ini, Dinda berkutat dengan pekerjaan barunya. Ia berniat mengganti semua peraturan yang sudah di buat oleh Helmi sejak lama. Ia hanya perlu memanggil satu orang karyawan dari setiap toko untuk diberikan pengarahan."Selamat siang! Berhubung toko-toko saya yang kelola, mungkin saya akan menerapkan peraturan baru. Saya ingin, karyawan perempuan yang bekerja di sini semua memakai hijab dan berpakaian yang tidak menampakkan lekuk
****Hancur, adalah kata yang paling tepat untuk kehidupan Helmi saat ini. dia tak memiliki apa-apa, bahkan untuk sekadar menyewa rumah yang layak untuk Mariah saja, dia tak sanggup. Akhirnya, dia memutuskan untuk menitipkan Mariah di rumah Wulan, mamanya.Helmi tak menyangka, Dinda yang dulu penurut dan tak pernah menentang apa yang Helmi katakan, sekarang dia menjelma bak monster, memberontak sekaligus.Rumah, serta usaha yang mereka bangun selama belasan tahun, Dinda ambil semuanya. Dinda hanya mau membagi toko yang baru menetas, dan belum memiliki pelanggan tetap untuk Helmi.Gara-gara video Helmi dengan Mariah yang viral di jagat maya, mau tak mau Helmi harus berurusan dengan polisi juga.Helmi berusaha membujuk Luna, dia karyawan Helmi di tempat lama. Luna, Hana, Mariah mereka masih kerabat dekat. Besar harapannya, mereka bersedia membantu untuk mengembangkan bisnisnya di Jakart
****"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik, Din?" tanya Vio, sahabat terdekat perempuan yang beberapa hari lalu di talak suaminya karena tak ingin di madu."Ya, memangnya kenapa, Vi?" Dinda balik bertanya."Enggak, sih! Membuang buaya buntung itu udah yang paling tepat, tapi bagai mana dengan Adam dan Alif?" ujar Vio."Mungkin, nanti aku akan cari waktu yang tepat untuk menjelaskan pada anak-anak," lirih Dinda hampir tak terdengar.Dinda tahu, hal yang paling menyakitkan untuk dirinya adalah ketika kedua anaknya tahu kebenarannya. Mungkin saja sekarang Alif terlihat biasa saja karena belum paham, Namun beda lagi ceritanya dengan Adam, dia cukup dewasa untuk mengerti semuanya."Hai, jangan melamun! Aku tahu kamu dalam situasi sulit, yang sabar, pasti ada jalan!" ucap Vio sambil menepuk pelan bahu Dinda."Apapun keputusan kamu, aku do'akan agar menjadi keputusan yang
****Pagi-pagi sekali Dinda dapat kabar dari Bu Nuri, kalau adam sedang sakit. tentu saja membuatnya sangat khawatir dengan kondisi Adam saat ini, apalagi Adam tengah jauh dari dirinya."Ibu Dinda tenang saja, semalam sudah di bawa ke klinik terdekat. Tapi, jika siang ini Adam belum membaik Ibu dan Bapak boleh menjemputnya, untuk di rawat di rumah saja." Bu Nuri pelan-pelan menjelaskan lewat sambungan telepon.Kekhawatiran Dinda mulai menjadi ketika mengingat rumah tangganya yang telah pincang, bagai mana jika Adam menanyakan Mas Helmi ketika di rumah nanti? Apa yang akan ia katakan pada putra sulungnya?Dinda terus merapalkan do'a untuk kesembuhan Adam, walau bagaimanapun ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Adam, apalagi saat ini ia sedang sakit.Akhirnya Dinda meminta saran Umi Aisyah, karena masalah ini menyangkut kesehatan putranya, tak mungkin juga ia tega membiark
****"Assalamu'alaikum, Mas Adam!" Suara itu begitu Adam kenal, ia menoleh. Seketika saja ia tersenyum. Dinda, hanya menunduk karena tak sanggup menahan air mata yang memaksa jatuh, demi melihat pemandangan yang begitu menyakitkan di depan matanya."Ayah," panggil Adam."Maaf, Ayah baru datang. Ayah ..." ucap Helmi ragu."Adam tahu, Ayah sibuk, kan?" sahut Adam, wajahnya tertunduk lesu."Maaf," ucap Helmi, ia mengusap rambut putranya dengan lembut.Setelah bercengkrama sejenak dengan Adam, Helmi meminta Dinda untuk berbicara di luar saja.Dinda mengangguk, meski dalam hatinya amarah membuncah untuk Helmi.Ketika di luar, Dinda tampak berdiri di dekat pintu ruangan, meskipun beberapa kali Helmi memintanya untuk duduk di sampingnya."Dinda, demi Tuhan aku tak sengaja, aku baru mengecek ponsel tadi subuh, aku enggak tahu kamu mengh
****"Ma, gimana aku mau punya bayi perempuan, Mas Helmi, tuh sibuk mulu sama Mbak Dinda!" adu Mariah pada Wulan, ibu mertuanya."Hm, kamu itu sebenarnya bisa gak buat Helmi itu benar-benar jatuh cinta sama kamu? Atau jangan-jangan kamu hanya sekadar pelampiasan saja?" sahut Wulan."Ih, Mama bukannya bantuin aku malah ngomong gitu. Payah!" gerutu Mariah jengkel."Daripada kamu mikir yang tidak-tidak, mending kamu cuciin baju Mama, ya!" titah Wulan dengan senyum yang menampakkan barisan giginya yang masih utuh di usianya."Loh, kok, aku? Kan ada Bibi, Ma." Mariah menolak."Eh, kamu nggak sadar apa? Helmi itu sudah nggak bisa bayar pembantu, kamu lupa gara-gara siapa? Gara-gara kamu!" cecar Wulan."Kok, sekarang malah nyalahin aku, sih!" Mariah bingung dengan sikap Mama mertuanya, bentar-bentar baik, bentar-bentar judes lagi."Terus nyalahin siapa? Nyalahin ru