Share

Batas Kesabaran

"Ini, Mas. Mbak Wawa nyuri-nyuri pandang sama Davian. Jangan-jangan ada maksud lagi," Risma mengadu.

"Bener itu, Dek?" tanya Mas Indra lagi.

"Astaghfirullah, enggak lah Mas. Mungkin dia melihatku karena seperti mengenalku, karena dia teman SMA ku dulu," aku mencoba menjelaskan.

"Bohong! Gak mungkin orang sekaya Davian pernah satu kelas sama Embak!" sahut Risma.

Ya Allah, aku harus gimana lagi menjelaskan pada mereka? Akhirnya aku diam saja, membiarkan mereka berkata apapun padaku.

"Mulai sekarang dia akan sering datang ke sini. Awas saja kalau Embak sampek berani muncul di hadapan dia!" ucap Risma lagi sambil berlalu pergi.

"Mas gak nyangka kamu begitu, Dek. Apa kurangnya Mas sampek kamu tega melirik pria lain?" ucap Mas Indra, sebelum pergi masuk ke dalam kamar.

Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Meskipun sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti ini, tapi kali ini sungguh menyakitkan.

"Najwa, cepat bereskan semuanya. Ibuk mau semua sudah bersih sebelum makan malam," titah ibu mertuaku sambil melewatiku begitu saja.

Ya Allah, kuatkan aku. Sesaat kemudian gawaiku berdering. Satu pesan masuk, dari Pak Tomo.

[ Mbak Najwa, bisakah datang ke kantor besok pagi? Saya butuh Mbak untuk menandatangani kontrak kerja kita ]

Aku membuang napas. Kebetulan besok keluarga ini ada acara, tentu saja tanpa aku di dalamnya. Perlahan aku mengetik balasan.

[ Baiklah, Pak. Sampai bertemu besok ]

.

.

.

Kalian mau pergi ke mana sih, Mas? Kok pada dandan rapi bener?" tanyaku sambil menyiapkan jas milik Mas Indra.

"Mau ketemu keluarga besarnya Davian, Dek. Kita kan belum ketemu dengan Papanya," jawab Mas Indra.

"Oh," aku langsung terdiam mendengar jawabannya.

Mas Indra mendekatiku.

"Hari ini kamu gak usah ikut, ya? Mas janji lain kali bakal ngajak kamu," ucapnya.

Aku tersenyum getir 

"Gak papa kok, Mas," jawabku.

Aku mengantar Mas Indra sampai ke depan pintu. Ibu mertuaku dan Risma juga sudah bersiap berangkat dengan penampilan mewah mereka.

"Najwa, hari ini kamu jaga rumah sama Bik Lastri, ya? Gak usah masak, kami mau makan di luar soalnya," ucap Ibu mertuaku sambil menenteng tas mewahnya.

"Iya, Buk," jawabku.

Aku masih berdiri di depan sampai mobil yang membawa mereka benar-benar sudah tidak kelihatan lagi. Setelah itu, aku bergegas ke dalam dan memanggil Bik Lastri.

"Bik, saya mau keluar dulu, ya? Nanti saya bawain oleh-oleh buat Bibik," ucapku dengan wajah seceria mungkin.

"Masya Allah, baru kali ini Bibik lihat wajah Non Najwa bahagia begini," ucap Bik Lastri sumringah.

Aku memegang lengan ART kami yang sudah kuanggap sebagai ibu ke duaku itu.

"Najwa dapet rezeki Bik," jawabku.

"Alhamdulillah, Non. Semoga selalu dilancarkan oleh Gusti Allah. Bibik seneng lihat Non Najwa bahagia, sudah gak nangis terus gara-gara mereka."

"Aamiin," ucapku sambil tersenyum.

Aku bergegas mengganti pakaian dan memesan taksi online. Hari ini aku akan memanjakan diriku di salon, sebelum bertemu dengan Pak Tomo. Sejak menikah, aku tak pernah sempat lagi merawat diri. Mulai sekarang aku harus sering melakukannya.

.

.

.

Aku melihat diriku dalam cermin sekali lagi, sebelum keluar dari salon kecantikan yang sudah berhasil me-make over penampilanku. Aku cukup takjub pada diriku sendiri, karena aku saat ini jauh berbeda dengan Najwa yang biasanya. Bahkan ibuku sendiri mungkin sulit mengenaliku dengan penampilan seperti ini.

Aku segera memanggil taksi dan meluncur ke arah kantor perusahaan yang akan mengontrak ku. Dengan penuh percaya diri aku masuk ke dalam gedung besar bertingkat itu.

"Selamat siang, apa Anda sudah membuat janji?" tanya staf yang ada di loby kantor.

"Benar, ini dengan Najwa Saraswati," jawabku.

"Najwa?"

Aku tersentak, dan seketika menoleh. Davian berdiri di depanku dengan senyum keheranan.

Aku membalas senyumnya itu.

"Iya, gimana kabarmu, Dav?" tanyaku sambil mengulurkan tanganku.

"Ya Allah, ternyata beneran kamu!" ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. "Belakangan ini aku sepertinya salah terus mengenali orang."

Aku tersenyum.

"Apa maksudmu?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Iya, kemarin aku salah mengenali seorang ART yang mirip sama kamu, ternyata salah," ucapnya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa.

"Seandainya itu benar-benar aku apa yang akan kamu lakukan? Pasti kau akan menertawakannya, haha," tanyaku di tengah tawa.

"Tentu saja tidak," sahutnya serius. "Aku bakal mengeluarkan dia dari rumah itu dan memberinya pekerjaan yang sesuai dengannya."

Aku seketika terdiam, dan tertunduk malu. Dalam hati aku salut padanya. Dari dulu dia tidak berubah, tidak pernah membeda-bedakan teman hanya karena kekayaan.

"Oh, iya, sedang apa kamu di sini?" tanya Davian sambil menatapku.

"Aku ada janji bertemu dengan seseorang," jawabku seraya tersenyum. " Kamu sendiri?"

"Ini kantor perusahaan Papaku," jawabnya.

Aku tersentak kaget. Papanya? Jangan-jangan ...

"Tunggu dulu, jangan-jangan kamu designer interior dan properti yang Papa ceritakan?" tanya Davian lagi.

Aku tersenyum, lalu mengangguk malu.

"Sudah kuduga, kamu memang berbakat dalam hal seperti ini," ucap Davian lagi. "Aku juga butuh seorang designer pakaian untuk para artis. Apa kau mau bekerja sama denganku?" tanyanya.

Aku membulatkan mata seketika, tak percaya dengan yang kudengar.

"Tak enak bicara di sini. Biar kuantar kamu menemui Papa, sekaligus membicarakan masalah ini," ucap Davian sambil mempersilahkan ku masuk ke dalam.

Davian membawaku menuju ruangan Papanya. Di sana kami disambut oleh Pak Tomo, yang ternyata adalah Papa Davian.

"Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Pak Tomo ramah.

"Dia ini teman Davi waktu di SMA, Pa," jawab Davian.

Aku tersenyum seraya mengangguk hormat.

"Wah, kebetulan sekali. Ayo, silahkan duduk," Pak Tomo mempersilahkan ku duduk dengan sangat ramah, lalu memberikan dokumen padaku.

"Kami sudah memasarkan desain buatanmu ke barbagai perusahaan, dan banyak sekali yang tertarik. Kami akan memperpanjang kontrak jika makin banyak yang tertarik," ucap Pak Tomo.

"Alhamdulillah, terima kasih, Pak," jawabku bahagia.

"Oh iya, sekalian ajak dia makan siang dengan keluarga kita," ucapnya kemudian pada Davian.

Makan siang keluarga? Jangan-jangan ... Ah, bisa gawat kalau aku ketahuan.

"Dengan senang hati, Pa," sahut Davian. "Ayo, ikut kita ke atas," ajaknya padaku.

"Tidak usah, Pak. Saya tidak enak mengganggu acara keluarga Bapak," ucapku beralasan.

"Kamu gak boleh nolak. Ini ajakan resmi dari saya," ucap Pak Tomo.

"Ikut saja, nanti kuperkenalkan pada calon istriku," sahut Davian.

Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi. Kami bertiga menaiki lift menuju restoran yang ada di tingkat teratas gedung. Jantungku berdebar, takut nanti Mas Indra dan keluarganya akan mengenaliku.

Sesampainya di area restoran, dari jauh kulihat ibu mertuaku duduk sambil mengobrol dengan Risma. Sedangkan Mas Indra ...

Deg! Kulihat dia berbicara mesra dengan seorang wanita cantik. Siapa wanita itu?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Heri Mardani
untung ngak ketahuan
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
mamamakakaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status