Share

Bertahan Untuk Menang

Sesampainya di rumah aku segera menekan bel pintu. Tak berapa lama Bik Lastri membukakannya untukku.

"Assalamualaikum, Bik," ucapku sambil bergegas masuk.

"Waalaikumussalam," jawab Bik Lastri sambil memperhatikanku.

"Ini, Bik, aku bawa makanan buat Bibik. Bibik angetin dulu, ya, sebelum di makan?"

"Loh, ternyata Non Najwa?" tanya Bik Lastri.

Oh, iya, aku lupa belum mengganti pakaian dan menghapus make upku. Aku harus cepat-cepat melakukannya sebelum Mas Indra dan keluarganya pulang.

"Iya, Bik. Ini Najwa," jawabku sambil tersenyum.

"Masya Allah, Non Najwa! Bibik Sampek nggak ngenalin. Cantik banget, Non! Bibik kira artis dari mana tadi yang datang," ucap Bik Lastri dengan ekspresi wajah yang lucu.

Aku tertawa. Lucu banget Bik Lastri ini.

"Cepat bawa ke dapur semua makanannya, Bik, jangan Sampek ketahuan," ucapku kemudian.

"Siap, Non," jawab Bik Lastri.

"Oh, iya, Bik," aku merogoh tas dan mengeluarkan sejumlah uang, lalu memberikannya pada Bik Lastri.

Bik Lastri tampak bingung waktu menerimanya.

"Gaji Bibik bulan ini telat, kan? Kirim saja dulu uang ini ke kampung, buat keperluan anak Bibik," ucapku.

"Masya Allah, Non," Bik Lastri tidak bisa menahan air mata. Dia berulang kali mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, Non. Saya tidak akan melupakan kebaikan Non Wawa," ucapnya sambil mengusap air mata.

Aku mengelus pundaknya.

"Di rumah ini cuma Bibik yang baik padaku. Bibik juga dengan setia menjaga rahasia ku. Aku yang harus berterima kasih, Bik," ucapku penuh keharuan.

Bik Lastri mengangguk seraya tersenyum.

"Pinjam kamar Bibik seperti biasanya, ya?"

"Silahkan, Non."

Aku bergegas menuju kamar Bik Lastri untuk mengganti baju dan menghapus make up. Kamar Bik Lastri berada di samping gudang, tempatku menyimpan laptop dan semua peralatan yang kugunakan untuk bekerja. Pada saat semua terlelap dalam tidurnya, aku mulai melakukan pekerjaanku di kamar Bik Lastri.

Untuk sementara aku akan bertahan sebentar lagi dalam keluarga ini, hingga uang yang aku kumpulkan dari hasil jerih payahku cukup untuk membuat mereka menyesal karena sudah menyia-nyiakan pengabdianku.

.

.

.

"Hari ini Mas ada lembur, Dek. Jadi pulang agak terlambat," ucap Mas Indra sambil memakai jasnya.

Aku tersenyum miris. Lembur? Lembur dengan calon istri barumu maksudnya? Batinku.

"Iya, Mas," jawabku lirih.

"Oh, iya. Aku akan mengajak Ibuk. Jadi kamu baik-baik saja di rumah," ucapnya lagi.

Dalam hati aku tertawa. Ada lembur, tapi mengajak ibu mertuaku? Kamu benar-benar menganggapku bodoh ya, Mas?

"Iya, Mas," jawabku lagi, mencoba bersikap selembut mungkin.

"Ya sudah, Mas berangkat dulu."

Aku mengantar Mas Indra sampai ke depan pintu, lalu mencium tangannya seperti biasa. Hatiku yang biasanya melakukan hal itu penuh cinta setiap pagi, kini terasa hambar.

"Mbak Wawa!" 

Aku menoleh. Risma yang hanya memakai lingerie karena baru saja bangun tidur, berjalan ke arahku.

"Hari ini Davian mau datang. Mbak gak usah muncul di depannya, ya? Biar Bik Lastri aja nanti yang melayaninya," ucapnya jutek.

Aku membuang napas. Sebegitu cemburunya kah dia padaku? Pada seorang wanita dengan penampilan seperti pembantu. Apa dia tidak percaya diri dengan wajahnya sendiri, hingga takut kusaingi?

"Iya, hari ini Ibuk nyuruh Embak membersihkan taman belakang. Embak gak akan ke depan, kok," jawabku.

"Bagus lah," sahutnya sambil melangkah pergi.

Aku membuang napas lagi, masih memperhatikan punggung Risma yang semakin menjauh. Dari dulu aku ingin sekali punya adik, karena aku anak tunggal. Seandainya dia bersikap baik padaku, aku pasti akan sangat menyayangi dan memanjakannya.

Aku segera beranjak dari tempatku dan mengambil peralatan bersih-bersih. Taman belakang rumah cukup luas, dan ditanami berbagai jenis tanaman dan bunga, terutama anggrek. Ibu mertuaku memang hobby bertanam. Berbagai koleksi bunga-bunga mahal berjejer rapi di sepanjang area taman.

Aku mulai membersihkan tempat itu sambil sesekali membelai bunga-bunga cantik yang tumbuh segar karena terawat. Ternyata merawat bunga-bunga seperti itu membuat lupa waktu, tapi cukup mengembalikan suasana hati yang semula jelek menjadi bahagia.

"Davi! Kamu ngapain sih, di sini?"

Aku yang sedang tersenyum sambil membelai kuntum bunga anggrek bulan, seketika tersentak kaget. Aku menoleh ke arah suara. Rupanya Davi sudah ada di pintu masuk taman. Risma tampak marah sekali padanya.

"Jadi selama aku tinggal mandi, kamu ada di sini?" tanya Risma.

"Kenapa sih, kamu itu curiga terus? Tadi aku mau ke toilet, gak sengaja nyasar ke sini," jawab Davian dengan nada suara yang sangat sabar.

Davian sejak tadi di sini? Kenapa aku tak menyadarinya? Apa yang dia lakukan sejak tadi?

"Ayo cepat masuk!" Risma mendorong tubuh jangkung Davian masuk ke dalam rumah, sambil menatapku penuh kebencian.

Aku hanya bisa membuang napas lalu mengangkat bahu, karena benar-benar tidak tahu apa-apa. Tanpa mau berpikir lagi masalah itu, aku meneruskan pekerjaanku.

.

.

.

Malam itu seperti biasa aku sudah berkonsentrasi di depan laptop. Hari ini aku harus menyelesaikan desain yang akan dipromosikan oleh perusahaan Pak Tomo besok. Ditambah lagi aku belum mengerjakan apa yang diminta Davian untuk membuatkan desain pakaian artis. Pekerjaanku bertambah setelah ini.

"Ini teh hangatnya, Non."

Aku tersentak, lalu menoleh. Bik Lastri meletakkan teh hangat di samping laptopku.

"Terima kasih, ya, Bik," ucapku sambil menyeruput teh buatannya.

"Bibik juga berterima kasih sama Non Wawa. Berkat Non Wawa kemarin Bibik bisa kirim uang. Dulu juga Non Wawa sampek pernah jual cincin waktu anak Bibik sakit, karena Nyonya Ratno gak mau minjemin uang," ucap Bik Lastri panjang lebar.

Aku seketika tersenyum.

"Kan memang sudah jadi tugas kita untuk saling menolong yang kesusahan, Bik," jawabku.

"Iya, tapi Non Wawa beda dengan semua orang di keluarga ini. Mereka kaya, tapi miskin hati."

Aku tersenyum lagi mendengarnya.

"Pokoknya kalau Non Wawa sukses nanti, Bibik mau tetap ikut Non. Paling juga sebentar lagi Non Wawa bisa jauh lebih kaya dari keluarga yang hampir miskin ini."

Aku tersentak kaget.

"Maksud Bibik?"

Bik Lastri menatapku.

"Loh, rupanya Non Wawa belum tahu? Gak sengaja Bibik dengar pembicaraan Pak Indra dengan Nyonya Ratno. Perusahaan Pak Indra bangkrut, dan keluarga ini punya banyak sekali hutang."

Mataku membulat seketika mendengar penuturan Bik Lastri. Apakah semua itu benar?

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Heri Mardani
semangat mbak najwa
goodnovel comment avatar
Naz Nazhiera
......cerita nya bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Luckhy Mtr
masyallah sungguh mulia hatimu apa kah di jaman ini masih ada manusia berhati mulia perhatian pada org susah di sekitar nya, cepatlah selesai kan misimu dan buat lah orang orang di sekitar mu yang memandang rendah diri mu jadi menyesal se umur hidup nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status