Share

Tawaran Tak Terduga

Astaghfirullah, aku harap yang kudengar ini salah. Menikahiku hanya untuk menjadikanku pembantu, tidak mengakui ku sebagai istri di depan orang lain, bahkan mendua di belakangku, itu semua masih bisa kuterima. Tapi menipu kedua orang tuaku untuk kepentingan pribadi mereka, ini sudah keterlaluan!

"Jadi, mereka tega menipu Bapak untuk menjual tanah itu?" tanyaku dengan suara parau.

"Bapak benar-benar tidak tahu mereka berbohong. Bapak pikir kamu benar-benar sakit," ucap Bapak.

"Ternyata begini kelakuan suamimu dan keluarganya, Wawa? Ibu gak ikhlas! Kamu harus minta pisah!" ucap Ibuk penuh emosi.

Aku mengelus pundak Ibuk, mencoba menenangkannya.

"Sabar, Buk," ucapku pelan.

Aku tak mampu mengatakan apa yang mereka lakukan padaku selama ini. Jika aku jujur, itu akan mematahkan hati mereka. Mereka pasti akan merasakan lebih sakit dari apa yang kurasakan.

"Kita laporkan saja mereka pada polisi!" sahut Bapak.

Aku membuang napas.

"Jangan dulu, Pak. Sabar dulu. Kita akan kalah di pengadilan kalau bertindak terburu-buru. Wawa saat ini sedang menyusun rencana sekaligus mengumpulkan bukti," ucapku.

"Tapi tanah itu seharusnya kita hibahkan untuk pembangunan masjid, Nduk. Cuma itu yang kami punya untuk bekal kalau kelak kami sudah meninggal," ucap Ibuk, mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti.

Aku seketika merangkul wanita yang telah melahirkan ku itu. Hatiku perih. Uangku mungkin cukup untuk menebus tanah itu kembali, tapi pasti sulit sekali meyakinkan Pak Tomo untuk menjual kembali tanah yang sudah diincarnya sejak lama, dan akhirnya dia dapatkan. Aku harus mencari cara untuk mendapatkannya kembali!

"Wawa janji akan mendapatkan tanah itu kembali, Buk. Wawa janji," ucapku.

Ibuk melepaskan diri dari pelukanku. Dia meraba pundak dan tanganku.

"Kamu selama ini bahagia, kan, Nduk? Tubuh kamu makin kurus saja," ucap Ibuk sambil menatap cemas padaku.

Aku mencoba tersenyum dengan bibir bergetar menahan tangis. Ingin rasanya aku memeluk Ibuk dan mencurahkan semua yang kurasakan. Tapi untuk saat ini, aku tidak boleh lemah.

"Wawa baik-baik saja, Buk," jawabku dengan suara parau.

Tiba-tiba gawaiku berdering. Aku segera mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Non Wawa," ucap Bik Lastri dari seberang telpon.

"Waalaikumussalam, ada apa, Bik?"

"Nyonya Ratno dan Tuan Indra sudah pulang, Non."

Aku tersentak. Tumben jam segini sudah pulang.

"Lalu, apa yang Bibik katakan?" tanyaku lagi.

"Bibik bilang Non Wawa pergi belanja, soalnya sayuran sudah habis. Maaf, ya Non, Bibik terpaksa buang sebagian sayuran yang ada di kulkas," jawabnya.

"Gak apa-apa, Bik. Terima kasih. Aku akan pulang sekarang," ucapku.

Aku segera berpamitan pada orang tuaku, dan langsung meluncur pulang. Aku sudah menghapus make up ku sebelum pergi ke rumah orang tuaku, jadi hanya tinggal mengganti pakaianku saja. Tak lupa aku membeli beberapa macam sayuran di pasar dekat rumah orang tuaku.

Di sepanjang perjalanan aku berusaha menguasai diriku, agar nanti bisa tetap tenang saat menghadapi suamiku dan keluarganya. Aku harus menahan diri, agar bisa menuntut pertanggung jawaban atas perbuatan mereka suatu hari nanti.

"Kamu kemana saja sih, Najwa?" omel ibu mertuaku begitu sampai di rumah. "Pergi belanja kok lama bener! Jangan-jangan kamu keluyuran, lagi!"

"Nggak, Buk. Supermarket dekat rumah kita sedang direnovasi, jadi Wawa terpaksa belanja ke pasar," jawabku. Untungnya supermarket itu benar-benar sedang direnovasi.

"Ya sudah, cepat masak sana yang banyak! Malam ini Pak Tomo akan ke sini untuk makan malam!"

Mataku membulat. Pak Tomo mau datang untuk makan malam? Ternyata keluarga ini benar-benar sudah berhasil mengambil hati keluarga itu. Semoga saja mereka tidak berencana menipu keluarga Pak Tomo seperti yang sudah mereka lakukan pada keluargaku.

"Kenapa malah ngelamun? Cepat pergi ke dapur!" bentak Ibu mertuaku lagi.

Aku hanya mengangguk lalu berjalan menuju dapur. Bik Lastri sudah di sana, wajahnya tampak cemas. Dia langsung berhambur ke arahku begitu melihatku.

"Gimana, Non? Gak ketahuan, kan?" tanyanya setengah berbisik.

Aku tersenyum lalu mengangkat jempolku.

"Pokoknya Bik Lastri is the best," ucapku.

Bik Lastri tersenyum bangga mendengar pujianku.

"Ya sudah ayo masak, Bik. Hari ini Pak Tomo mau datang untuk makan malam."

"Loh, bukannya Pak Tomo itu bosnya Non Wawa?" tanya Bik Lastri. "Nanti dia kenal Non Wawa dong."

"Gak akan lah, Bik. Kan penampilan Wawa kalau di rumah kayak gini," ucapku sambil menenteng dasterku.

Bik Lastri cekikikan.

"Iya juga ya, Non," ucapnya kemudian.

.

.

.

"Kamu nanti di dapur saja, gak usah keluar. Kalau butuh apa-apa, biar Bik Lastri yang ke depan," ucap Ibu mertuaku saat mereka sudah bersiap menyambut Pak Tomo. 

Aku hanya mengangguk mendengar titah Ibu mertuaku. Aku melirik Mas Indra yang juga sudah berpenampilan rapi. Dia malah menghindar ketika sadar aku menatapnya. Aku membuang napas, sebelum dadaku semakin sesak.

Terdengar suara mobil datang di depan. Aku mengintip dari ruangan di samping ruang makan. Ibu mertuaku dengan ramah menyambut Pak Tomo dan Davian. Rupanya hanya mereka berdua yang datang, tanpa Ibu Davian.

Ibu mertuaku mempersilahkan Pak Tomo duduk, sedangkan Risma tampak bergelayut manja di lengan Davian. Entah kenapa aku kesal melihat sandiwara mereka.

"Terima kasih, berkat Bu Ratno proyek baru saya akhirnya bisa terlaksana juga," ucap Pak Tomo.

Proyek baru? Apa mereka membicarakan proyek di tanah orang tuaku?

"Sudah pasti dong, Pak. Saya tahu Bapak menginginkan tanah itu sudah lama. Makanya kami berusaha membantu Bapak," jawab Ibu mertuaku.

Seketika aku mengepalkan tangan. Jadi ini alasan dia mengijinkan Mas Indra menikahiku, padahal sebelumnya begitu menentangnya? Karena dia tahu orang tuaku pemilik tanah yang diinginkan oleh Pak Tomo, dan menggunakannya untuk mendekati keluarga itu.

Semua sudah mereka rencanakan sejak awal. Bahkan rasa cinta Mas Indra yang dulu pernah ada sekarang sudah ditelan oleh keserakahan. Sekarang aku sudah tidak punya alasan lagi untuk bertahan. Baiklah, Mas, aku akan ikuti permainan kalian.

"Oh, iya, sebenarnya selain datang untuk makan malam, saya sedang mencari seseorang," ucap Pak Tomo kemudian.

Ibu mertuaku tampak bingung, juga Mas Indra.

"Siapa, Om?" tanya Risma heran. "Selain kami sudah tidak ada lagi orang lain di sini."

"Saya ingin bertemu dengan ART kalian," kata Pak Tomo lagi.

"Bik Lastri?" tanya Ibu mertuaku heran. "Untuk apa, Pak?"

Pak Tomo tersenyum.

"Boleh saya minta dia dipanggil ke sini?" ucapnya.

Ibu mertuaku dengan wajah masih kebingungan akhirnya memanggil Bik Lastri.

"Bik, Bik Lastri!"

Bik Lastri langsung datang dari dapur.

"Iya, Nyonya?" ucapnya tak kalah kebingungan.

Pak Tomo memperhatikan Bik Lastri, lalu menatap Davian. Davian seketika tersenyum.

"Bukan dia, Buk. Yang satunya," ucap Davian pada Ibu mertuaku.

"Maksudmu Mbak Wawa?" tanya Risma pada Davian dengan mata membulat.

Aku yang sedari tadi mendengarkan juga terkejut bukan main. Pak Tomo mencariku? untuk apa?

"Iya, Yang," jawab Davian."Bisa tolong panggilkan dia ke sini?"

"Untuk apa sih, Yang?" protes Risma kesal.

"Tolong panggilkan dia ke sini," titah Pak Tomo.

Karena Pak Tomo yang minta, akhirnya mereka menurut.

"Wawaaa!" panggil ibu mertuaku.

Aku tersentak kaget dan bergegas berjalan ke ruang makan sambil menunduk. Aku mengangguk hormat pada Pak Tomo yang tersenyum padaku.

"Davian memperlihatkan foto Anda beberapa waktu yang lalu padaku, dan saya tertarik," ucap Pak Tomo padaku. "Karena itu saya menawarkan pada Anda untuk menjadi ikon model di perusahaan saya."

Aku tersentak kaget. Mas Indra tersedak makanannya, Ibu mertuaku shock. Dan yang lebih parah, wajah Risma berubah merah padam.

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
mantap Najwa Semangat terima saja kan Pak Tomo yang minta ngapain mau menjaga perasaan manusia hati batu
goodnovel comment avatar
Wenny Winnie
susah betul mau lanjut baca bab seterusnya
goodnovel comment avatar
RIZNOAL VLOG
Teruskan cerita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status