Marry berdiri dekat pintu kamar, ia menguping pertengkaran kami.
Pertengkaran aku dan Nandean, ini memang tujuan mereka.Aku terus berjalan, melintasi dapur, menuju pintu keluar.Nandean menangkapku.Enam orang anak berbaris memperhatikan kami."Kau lihat Mama Tari kerepotan sendirian? Lalu kau masih mau pergi ?" Bentak Nandean."Itu bukan urusanku..!!!" Aku juga berteriak."Aku bisa mengurus anakku, tapi aku capek kalau harus mengurus delapan anak sekaligus..!!!" teriakku."Iya, itu memang urusanku!!! Aku tak memintamu mengurus anakku!!!" Teriak Rara."Tapi kenapa aku yang harus menyiapkan makanan mereka setiap hari..?" Tanyaku."Jadi kau keberatan???.. hah?" Tanya Nandean.Aku sempat melirik Marry dan Lily yang tersenyum simpul.Tiba-tiba Bapak muncul."Ada apa sih..??" Tanyanya."Gak tau.. ribut aja!!" Marry bersungut-sungut."bikin malu..!!" timpal Lily."Diam kau..!" bentak Bapak pada keduanya."Jangan kau tambah-tambah keributan disini.."Lily dan Marry diam."Kau, Rara.. kenapa kau marah-marah, teriak-teriak di rumahku?" Tanya Bapak."Aku capek, pak! Kerja seharian, Anakku di rumah kelaparan!" Jawab Rara tak kalah keras suaranya."Itu urusanmu! Kenapa pula kau marah-marah disini?" gerutu bapak."Siapa pula yang nyuruh kau taruh anakmu disini..?" tanya Bapak lagi."Lily dan Marry yang nyuruh aku nitip anak-anak disini, biar aku bisa kerja..!" jawab Rara."Ini rumah saya, sudah izin kau sama saya..?" tanya Bapak.Rara terdiam."Bukan haknya Lily dan Marry mengatur orang-orang ini. Saya yang berhak ngatur di rumah ini, paham kau..??""Bodohnya kau, diatur-atur adikmu.."Diam-diam Lily dan Marry meninggalkan ruangan."Kau juga, Nandean.. kenapa pula kau marah-marahi si Naya..?""Dia pergi seharian.." jawab Nandean."Sudah kau tanya kenapa dia pergi?" Tanya Bapak lagi."Dia capek ngurus anak-anak ini.." kata Nandean. "Iya kan..?" Tambahnya lagi kepadaku."Macam mana dia tak capek. Sudah capek pun dia urus bayimu, dia urus urusan rumah ini, ditambah pula urusan anak si Rara. Wajar kalau dia capek. Dia bukan ibu asrama, bukan ibu panti asuhan." Kata Bapak."Naya, kau masuklah.. istirahat di kamarmu.." ujar bapak kepadaku."Kau, Nandean.. jangan kau marah-marahi istrimu karena urusan orang lain..""Dan kau, Rara.. tak pantas kau marah-marah di rumah ini, marah-marah pada menantu kami. Kurang ajarnya kau ini. Pulang ke rumahmu sana, bawa semua anakmu. Jangan kau merecoki rumah tangga orang lain..!" Aku masuk ke kamar. Mendekap anakku erat-erat.Nandean masuk, memelukku.Ku dengar Rara memanggil anak-anaknya.Lalu rumah sepi. Mereka pulang.=000=
Keesokan harinya Lily dan Marry menghampiriku saat aku menyapu halaman.
"Puas kau ya.. sudah membuat keluarga orang berantakan..!!" Seru Marry sambil menjambak rambutku. Aku meringis kesakitan. "Kalau tidak mau mengurus orang rumah ini, sana cari kontrakan! Gak usah tinggal disini..!" Kata Lily, matanya membelalak."Nanti aku bicarakan dengan bapak, aku akan pergi dari sini.." jawabku."Bapak.. Bapak.. itu Bapak kami, bukan Bapakmu!" Kata Marry, telapak tangannya mendorong keras pipiku.Aku masuk ke rumah. Mengemasi pakaian anakku."Mau kemana..?" Tanya Nandean. Dia dari kamar mandi, tidak tahu keributan di depan tadi."Kita pindah saja.." jawabku. Tak bisa kutahan air mata."Mama belum pulang, " kata Nandean." Kita cari dulu saja kontrakannya.." jawabku.Aku sudah tak tahan lagi. Mereka sudah menggunakan kekerasan fisik.Nandean ke luar kamar. Tak lama ku dengar teriakan mereka bersahutan. Bertengkar. Aku tak ingin tahu isi pertengkaran mereka, aku hanya ingin secepatnya pergi dari rumah ini."Ayo, kita pergi.." ajak Nandean saat ia kembali masuk kamar.Aku menggendong Leang, Nandean membawa perlengkapan bayi.Seharian itu kami mencari rumah kontrakan. Menjelang malam, kami menemukan sebuah rumah petak kecil. Nandean langsung membayar biaya sewa untuk satu bulan. Kami putuskan untuk langsung bermalam disana malam itu.
Seorang tetangga di rumah petak sebelah meminjamkan tikar untuk kami tidur. Bahkan kami hanya memakai pakaian yang melekat di badan. Esok harinya Nandean pulang dan kembali ke kontrakan membawa beberapa helai pakaian.
Seminggu kemudian, Mama mertuaku pulang. Kami kesana, berpamitan, dan membawa pakaian yang tersisa.
"Kalian bilanglah sama Bapak.." kata Mama."Sudah bulat tekadmu mau keluar dari rumah ini..?" Tanya Bapak.Aku dan Nandean mengiyakan."Yah.. mau bagaimana lagi. Memang harus ada yang mengalah .." kata bapak."Saudara-saudara mu ini belum menikah, maka mereka masih menjadi tanggungjawab saya. Kalian pun sudah punya tanggungjawab sendiri.." katanya lagi."Kalau memang dirasa baik untuk pindah, silakan pindah, belajar mandiri.. itu juga bagus.." kata bapak."Baik-baik dengan tetangga disana ya, Nay.." pesan mama.Aku mengangguk. Menyalami kedua orangtua itu dengan hormat.Sejak itu aku hanya sesekali berkunjung ke rumah mertuaku, saat hari raya atau hari tertentu jika Mama meminta kami datang. Lily dan Marry masih menampakkan permusuhan. Terutama Marry, bahkan dia sudah membanting pintu saat melihat aku memasuki halaman rumah.
Anakku, Leang, tumbuh semakin besar, sehat dan lincah. Ia selalu ketakutan melihat Marry. Aku pernah melihat Marry menyalakan api di sepotong kayu dan mendekatkankannya ke wajah Leang, untung saat itu aku segera datang. Dia langsung melempar potongan kayu itu ke jalan. Tapi itu membuatku jadi lebih berhati-hati saat membawa Leang ke rumah kakek dan neneknya.
Suatu hari kami berkunjung kesana. Leang berumur dua tahun. Dia sudah berlari cepat dan tak bisa diam. Aku dan mama mengobrol di teras depan. Leang bermain di halaman.
Tak lama Marry keluar dari kamar.
"Aku mau pergi, ma..!!" Dia berteriak kepada Mama "Gerah aku di rumah ini kedatangan anak setan..!!" Katanya.Aku dan mama hanya diam, tidak menanggapi.Dia berjalan ke arah pintu pagar, membuka pagar lebar-lebar.
"Jangan lebar-lebar, nak.. ada anak kecil ini, nanti dia lari ke jalan.." kata Mama mengingatkan, sambil bangkit hendak menutup pintu pagar."Biar saja! Biar mati ketabrak mobil sekalian!!" Jawab Marry keras.Leang berlari cepat ke arah pintu pagar yang terbuka. Aku berlari mengejar anakku. Tapi Leang sudah keluar pagar, berlari ke arah jalan.
Di saat bersamaan sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Tak bisa menghindar dari Leang yang berlari. Tubuh kecilnya terlempar ke udara lalu jatuh beberapa puluh meter mengenai ujung mobil yang juga sedang melintas di jalur lain. Leang tergeletak di aspal.
Aku menjerit. Berlari menubruk tubuh Leang, darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Matanya tertutup.
"Leeeaaaaaaangng....!!!!!" Teriakanku mengangkasa menyebut namanya. Orang-orang ikut menjerit.Aku melihat ke arah Marry tadi pergi. Ia masih terlihat, belum jauh berjalan. Kuletakkan tubuh Leang dan bangkit berlari mengejar Marry.
Kutarik pakaiannya. Tenagaku berlipat ganda. Kutinju wajahnya, kudorong tubuhnya, kuinjak-injak perutnya, dadanya. Ia berteriak-teriak. Orang-orang berusaha memegangi aku. Tapi aku sudah kerasukan setan. Aku terus menendangnya.
Kulepaskan diri dari pegangan orang-orang. Aku benar-benar kalap. Kulihat sebuah batu besar di pinggir jalan. Kuangkat dan kulemparkan ke arah kepala Marry yang sedang dibantu duduk oleh beberapa orang. Mereka berteriak, tapi aku tak perduli.Terbayang tubuh anakku yang bersimbah darah. Aku pun ingin melihat dia bersimbah darah. Kuambil lagi batu tadi, kuhantamkan berkali-kali ke kepala Marry. Orang-orang menjerit. Darah muncrat dari kepalanya, mengalir membasahi jalan...Sirine dua ambulans meraung-raung beriringan membelah jalan kota, bersaing dengan raunganku yang mendekap Leang.Aku menyebut nama putraku dan nama Tuhan berganti-ganti. Aku mengiba, memohon, agar Tuhan memberikan keajaiban bagi anakku.Leang tak bergerak, kesadarannya telah lenyap, nafasnya yang lambat terdengar seperti dengkuran halus, matanya terpejam rapat, detak jantungnya yang kurapatkan ke dada adalah harapan terbesarku agar ia terus terpompa dan mendenyutkan na
Aku sendiri heran, mama dan bapak begitu baik, begitu santun, mengapa anak-anaknya memiliki temperamen dan karakter yang jauh berbeda.Kami kembali ke ruang tunggu IDM, kulihat ayah dan ibuku sudah datang. Mereka terlibat pembicaraan dengan Bapak, Nandean, dan Pak Syam, seorang tetangga yang kebetulan ikut ke Rumah Sakit karena menangani pertolongan Leang saat kejadian."Saya sedang berdiri di depan pagar rumah saya. Tiba-tiba pintu pagar Pak Regar terbuka lebar, suaranya keras. Saya agak terkejut. Saya lihat Marry yang membuka sambil marah dan entah mengatakan apa. Leang kecil melesat lari keluar, dikejar oleh ibunya, namun ada mobil lewat ngebut tak sempat menghindar. Saya dan beberapa orang yang kebetulan melihat menjerit, pak... Ngeri kami melihat tubuh kecil itu terpental dan terlempar lagi oleh mobil lain..." Pak Syam menceritakan kronologi kejadian.Ayah dan ibuku tercengang."Ibunya Leang menjerit sambil memeluk anaknya.." lanjut si Bapak.&
Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk."Makan, Nay." Ajak Mama.Aku menggeleng."Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak."Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.Aku mengunyah pelan.Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri.Betapa sulit aku menelan makanan ini.Aku menyerah di suapan kedua."Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk."Terimakasih" Ucapku pelan.Lily melirik benci.
"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum."Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami."Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat."Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pi
"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum