Share

BAB 2 TRAGEDI

 Marry berdiri dekat pintu kamar, ia menguping pertengkaran kami. 

Pertengkaran aku dan Nandean, ini memang tujuan mereka.

Aku terus berjalan, melintasi dapur, menuju pintu keluar.

Nandean menangkapku.

Enam orang anak berbaris memperhatikan kami.

"Kau lihat Mama Tari kerepotan sendirian? Lalu kau masih mau pergi ?" Bentak Nandean.

"Itu bukan urusanku..!!!" Aku juga berteriak.

"Aku bisa mengurus anakku, tapi aku capek kalau harus mengurus delapan anak sekaligus..!!!" teriakku.

"Iya, itu memang urusanku!!! Aku tak memintamu mengurus anakku!!!" Teriak Rara.

"Tapi kenapa aku yang harus menyiapkan makanan mereka setiap hari..?" Tanyaku.

"Jadi kau keberatan???.. hah?" Tanya Nandean.

Aku sempat melirik Marry dan Lily yang tersenyum simpul.

Tiba-tiba Bapak muncul.

"Ada apa sih..??" Tanyanya.

"Gak tau.. ribut aja!!" Marry bersungut-sungut.

"bikin malu..!!" timpal Lily.

"Diam kau..!" bentak Bapak pada keduanya.

"Jangan kau tambah-tambah keributan disini.."

Lily dan Marry diam.

"Kau, Rara.. kenapa kau marah-marah, teriak-teriak di rumahku?" Tanya Bapak.

"Aku capek, pak! Kerja seharian,  Anakku di rumah kelaparan!" Jawab Rara tak kalah keras suaranya.

"Itu urusanmu! Kenapa pula kau marah-marah disini?" gerutu bapak.

"Siapa pula yang nyuruh kau taruh anakmu disini..?" tanya Bapak lagi.

"Lily dan Marry yang nyuruh aku nitip anak-anak disini, biar aku bisa kerja..!" jawab Rara.

"Ini rumah saya, sudah izin kau sama saya..?" tanya Bapak.

Rara terdiam.

"Bukan haknya Lily dan Marry mengatur orang-orang ini. Saya yang berhak ngatur di rumah ini, paham kau..??"

"Bodohnya kau, diatur-atur adikmu.."

Diam-diam Lily dan Marry meninggalkan ruangan.

"Kau juga, Nandean.. kenapa pula kau marah-marahi si Naya..?"

"Dia pergi seharian.." jawab Nandean.

"Sudah kau tanya kenapa dia pergi?" Tanya Bapak lagi.

"Dia capek ngurus anak-anak ini.." kata Nandean. "Iya kan..?" Tambahnya lagi kepadaku.

"Macam mana dia tak capek. Sudah capek pun dia urus bayimu, dia urus urusan rumah ini, ditambah pula urusan anak si Rara. Wajar kalau dia capek. Dia bukan ibu asrama, bukan ibu panti asuhan." Kata Bapak.

"Naya, kau masuklah.. istirahat di kamarmu.." ujar bapak kepadaku.

"Kau, Nandean.. jangan kau marah-marahi istrimu karena urusan orang lain.."

"Dan kau, Rara.. tak pantas kau marah-marah di rumah ini, marah-marah pada menantu kami. Kurang ajarnya kau ini. Pulang ke rumahmu sana, bawa semua anakmu. Jangan kau merecoki rumah tangga orang lain..!" 

Aku masuk ke kamar. Mendekap anakku erat-erat.

Nandean masuk, memelukku.

Ku dengar Rara memanggil anak-anaknya.

Lalu rumah sepi. Mereka pulang.

=000=

Keesokan harinya Lily dan Marry menghampiriku saat aku menyapu halaman.

"Puas kau ya.. sudah membuat keluarga orang berantakan..!!" Seru Marry sambil menjambak rambutku. 

Aku meringis kesakitan. 

"Kalau tidak mau mengurus orang rumah ini, sana cari kontrakan! Gak usah tinggal disini..!" Kata Lily, matanya membelalak.

"Nanti aku bicarakan dengan bapak, aku akan pergi dari sini.." jawabku.

"Bapak.. Bapak.. itu Bapak kami, bukan Bapakmu!" Kata Marry, telapak tangannya mendorong keras pipiku.

Aku masuk ke rumah. Mengemasi pakaian anakku.

"Mau kemana..?" Tanya Nandean. Dia dari kamar mandi, tidak tahu keributan di depan tadi.

"Kita pindah saja.." jawabku. Tak bisa kutahan air mata.

"Mama belum pulang, " kata Nandean.

" Kita cari dulu saja kontrakannya.." jawabku.

Aku sudah tak tahan lagi. Mereka sudah menggunakan kekerasan fisik.

Nandean ke luar kamar. Tak lama ku dengar teriakan mereka bersahutan. Bertengkar. Aku tak ingin tahu isi pertengkaran mereka, aku hanya ingin secepatnya pergi dari rumah ini.

"Ayo, kita pergi.." ajak Nandean saat ia kembali masuk kamar.

Aku menggendong Leang, Nandean membawa perlengkapan bayi.

Seharian itu kami mencari rumah kontrakan. Menjelang malam, kami menemukan sebuah rumah petak kecil. Nandean langsung membayar biaya sewa untuk satu bulan. Kami putuskan untuk langsung bermalam disana malam itu. 

Seorang tetangga di rumah petak sebelah meminjamkan tikar untuk kami tidur. Bahkan kami hanya memakai pakaian yang melekat di badan. Esok harinya Nandean pulang dan kembali ke kontrakan membawa beberapa helai pakaian.

Seminggu kemudian, Mama mertuaku pulang. Kami kesana, berpamitan, dan membawa pakaian yang tersisa.

"Kalian bilanglah sama Bapak.." kata Mama.

"Sudah bulat tekadmu mau keluar dari rumah ini..?" Tanya Bapak.

Aku dan Nandean mengiyakan.

"Yah.. mau bagaimana lagi. Memang harus ada yang mengalah .." kata bapak.

"Saudara-saudara mu ini belum menikah, maka mereka masih menjadi tanggungjawab saya. Kalian pun sudah punya tanggungjawab sendiri.." katanya lagi.

"Kalau memang dirasa baik untuk pindah, silakan pindah, belajar mandiri.. itu juga bagus.." kata bapak.

"Baik-baik dengan tetangga disana ya, Nay.." pesan mama.

Aku mengangguk. Menyalami kedua orangtua itu dengan hormat.

Sejak itu aku hanya sesekali berkunjung ke rumah mertuaku, saat hari raya atau hari tertentu jika Mama meminta kami datang. Lily dan Marry masih menampakkan permusuhan. Terutama Marry, bahkan dia sudah membanting pintu saat melihat aku memasuki halaman rumah.

Anakku, Leang, tumbuh semakin besar, sehat dan lincah. Ia selalu ketakutan melihat Marry. Aku pernah melihat Marry menyalakan api di sepotong kayu dan mendekatkankannya ke wajah Leang, untung saat itu aku segera datang. Dia langsung melempar potongan kayu itu ke jalan. Tapi itu membuatku jadi lebih berhati-hati saat membawa Leang ke rumah kakek dan neneknya.

Suatu hari kami berkunjung kesana. Leang berumur dua tahun. Dia sudah berlari cepat dan tak bisa diam. Aku dan mama mengobrol di teras depan. Leang bermain di halaman. 

Tak lama Marry keluar dari kamar.

"Aku mau pergi, ma..!!" Dia berteriak kepada Mama 

"Gerah aku di rumah ini kedatangan anak setan..!!" Katanya.

Aku dan mama hanya diam, tidak menanggapi.

Dia berjalan ke arah pintu pagar, membuka pagar lebar-lebar. 

"Jangan lebar-lebar, nak.. ada anak kecil ini, nanti dia lari ke jalan.." kata Mama mengingatkan, sambil bangkit hendak menutup pintu pagar.

"Biar saja! Biar mati ketabrak mobil sekalian!!" Jawab Marry keras.

Leang berlari cepat ke arah pintu pagar yang terbuka. Aku berlari mengejar anakku. Tapi Leang sudah keluar pagar, berlari ke arah jalan. 

Di saat bersamaan sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi. Tak bisa menghindar dari Leang yang berlari. Tubuh kecilnya terlempar ke udara lalu jatuh beberapa puluh meter mengenai ujung mobil yang juga sedang melintas di jalur lain. Leang tergeletak di aspal. 

Aku menjerit. Berlari menubruk tubuh Leang, darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinganya. Matanya tertutup. 

"Leeeaaaaaaangng....!!!!!" Teriakanku mengangkasa menyebut namanya. Orang-orang ikut menjerit. 

Aku melihat ke arah Marry tadi pergi. Ia masih terlihat, belum jauh berjalan. Kuletakkan tubuh Leang dan bangkit berlari mengejar Marry.

Kutarik pakaiannya. Tenagaku berlipat ganda. Kutinju wajahnya, kudorong tubuhnya, kuinjak-injak perutnya, dadanya. Ia berteriak-teriak. Orang-orang berusaha memegangi aku. Tapi aku sudah kerasukan setan. Aku terus menendangnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status