Kulepaskan diri dari pegangan orang-orang. Aku benar-benar kalap. Kulihat sebuah batu besar di pinggir jalan. Kuangkat dan kulemparkan ke arah kepala Marry yang sedang dibantu duduk oleh beberapa orang. Mereka berteriak, tapi aku tak perduli.
Terbayang tubuh anakku yang bersimbah darah. Aku pun ingin melihat dia bersimbah darah. Kuambil lagi batu tadi, kuhantamkan berkali-kali ke kepala Marry. Orang-orang menjerit. Darah muncrat dari kepalanya, mengalir membasahi jalan...
Sirine dua ambulans meraung-raung beriringan membelah jalan kota, bersaing dengan raunganku yang mendekap Leang.Aku menyebut nama putraku dan nama Tuhan berganti-ganti. Aku mengiba, memohon, agar Tuhan memberikan keajaiban bagi anakku.
Leang tak bergerak, kesadarannya telah lenyap, nafasnya yang lambat terdengar seperti dengkuran halus, matanya terpejam rapat, detak jantungnya yang kurapatkan ke dada adalah harapan terbesarku agar ia terus terpompa dan mendenyutkan nadi-nadi kecilnya.
Aku tergugu pilu.
Tuhan, aku tak ingin kehilangan anakku. Ia cahaya mataku, pelipur laraku, penguat semangatku.Setiba di rumah sakit tampak beberapa petugas berlari menyongsong ambulans. Mereka membawa brankar dan bergegas menyambut Leang dari dekapanku.
Beberapa petugas lainnya menurunkan brankar yang berisi tubuh Marry dari ambulans kedua. Bergegas mereka mendorong brankar masuk ke Instalasi Darurat Medik.
Aku terus tersedu-sedu melihat kondisi putraku. Mama mertua menghampiriku, kami menangis sambil berpelukan.
"Mengapa harus seperti ini, Nay..? Mengapa jadi seperti ini..?" Isaknya.
Lily tampak sebal menatap kami. Ia berbisik-bisik dengan Naura dan Anggun. Lalu mendekat kearah kami.
"Anak mama itu lagi sekarat di dalam, mama malah peluk-pelukan sama menantu mama. Menangis pun percuma, ma.. tak akan membuat Marry langsung sembuh.." ujarnya setengah membentak.
Aku menatapnya sengit.
"Kau pikir cuma adikmu yang sekarat? Kau tahu, anakku juga sekarat disana.." Aku menekan suaraku."Kau tak punya adik, jadi tak tahu rasanya.." Lily menjawab.
"Kau pun tak punya anak, jadi kau pun tak tahu bagaimana rasanya.." sahutku.
Lily terdiam, wajahnya merah padam.
Di usianya kini, mestinya dia sudah memiliki lima anak. Aku tahu ucapanku menyakitinya, tapi aku tak peduli."Sudah.. sudah.. jangan ribut, malu.." Naura, adik Lily, menengahi.
Selama ini Naura memang tak terlalu ikut campur urusan kami, meski aku tahu ia pun sering menerima laporan-laporan palsu tentang aku dari Lily dan Marry.
Ia tinggal bersama keluarga kecilnya di kelurahan yang berbeda, hanya sesekali dalam sebulan ia datang ke rumah mertuaku.
Sementara Anggun menghampiri Mama dan mengajak duduk di kursi tunggu.Di kejauhan nampak Nandean berlari-lari dari halaman parkir menuju ke arah kami, di belakangnya terlihat Bapak berjalan tergesa. Seorang tetangga telah menghubungi mereka dan menganjurkan untuk langsung ke rumah sakit ini.
"Kenapa jadi begini sih..?" Tanya Bapak, entah ditujukan pada siapa.
"Kau tahu sendirilah anakmu itu seperti apa dengan si Naya.." Mama menjawab.
"Tak habis pikir aku, ada dendam apa lah dua orang ini..." Gerutu Bapak.
Nandean menghampiriku.
Air mataku semakin membanjir."Tenanglah..." Bisiknya sambil merengkuh bahuku.Seorang perawat keluar dari ruangan,"Keluarga Ananda Leang.." panggilnya lembut.
Aku langsung menghampiri nya,"saya ibunya, mba..." Jawabku.
"Silakan masuk, Bu.. Bapak, ayahnya..?" Tanyanya kepada Nandean. Kami mengiyakan.
"Berdua boleh masuk.." ujarnya sambil tersenyum.
Aku dan suamiku memasuki ruang IDM. Kulihat Leang terbaring tenang. Darah sudah bersih dari wajahnya, perban terbalut penuh hampir di seluruh tubuhnya. Air mataku tak henti mengalir. Kucium pipinya penuh kasih. Demi Tuhan, aku tak ingin kehilangan anak ini.
Nandean mengusap pipi Leang perlahan, tangisnya pecah.
Orangtua mana yang tahan melihat penderitaan anaknya...?Dokter mengajak kami duduk.
"Bapak dan ibu, kita mengupayakan yang terbaik yaa.. kondisinya sangat parah, perlu pemeriksaan lanjutan bagi Leang untuk mengetahui cedera tubuh di bagian dalam. Diduga ada beberapa retakan di bahu dan kaki kanan. Namun mengingat Leang masih anak-anak, biasanya retakan lebih cepat pulih. Kita berharap semoga saja retakan itu tidak ada. Pendarahan di bagian kepala kita harapkan juga tidak sampai ke bagian otak. Namun untuk hasil diagnosa pastinya kita tunggu hasil rontgent.Bapak dan ibu, mohon bersabar dan terus berdoa untuk kesembuhan dan keselamatan anak ini..." Papar dokter.Kami hanya bisa mengangguk. Ribuan tanya tertumpuk oleh jutaan harap.
"Saat ini hanya perawat yang boleh menunggu disini, kami akan panggil bapak dan ibu jika ada tindakan lanjutan.." kata dokter lagi.
"Baik, dokter.. terimakasih.." jawabku dan Nandean berbarengan.
Aku menghampiri anakku, mengecup pipinya. Membisikkan doa-doa penuh pengharapan. Lalu keluar ruangan.
"Bagaimana...?" Tanya Bapak dan Mama.
"Masih tunggu pemeriksaan lanjutan.."
Jawab Nandean pelan."Marry bagaimana..?" Lily menyela ketus.
"Kau tanya sendiri sama dokternya sana.." jawab Nandean tak kalah ketus.
"Kalian kan dari dalam, kenapa tak menyempatkan melihat Marry..?" Gerutu Anggun.
"Sudah ada panggilan untuk keluarga Marry belum..?" Nandean balik bertanya.
Mereka diam."Kalau belum dipanggil berarti belum ada yang bisa dikonsultasikan dokter.. kok maksa... Aneh .." gerutu Nandean.
"Sabar sih, nak... Keluarga kita ini sedang dalam musibah.. yang sabar, jangan saling menyalahkan, bertengkar, tak enak didengar orang..." Mama urun bicara.
"Suruh siapa juga datang ke rumah, bawa sial..!" Lily bergumam.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Lily. Tampak Bapak menatapnya dengan penuh amarah.
"Bukan kau yang dikunjungi, bukan rumahmu yang didatangi. Tapi kami, mertuanya, neneknya, yang dikunjungi. Rumah kami yang didatangi. Lebih berhak mereka yang ada di rumah kami daripada kau. Paham kau...?" Bentak Bapak.
Naura dan Anggun memegangi Bapak.
"Sudah, pak... Sudah... Malu dilihat orang.." bujuk mereka."Pergi kau dari sini...!!" Usir Bapak
Wajah Lily pucat. Dia tak menyangka Bapak akan marah padanya. Selama ini dia beranggapan Bapak paling menyayanginya."Aku mengawatirkan Marry, pak..." Ujarnya terbata.
"Kau pikir aku tak khawatir pada anakku? Pada cucuku? Khawatirku berlipat, sebagai Bapak dan sebagai kakek.." jawab Bapak.
"Sudah, ly.. kita pergi dulu.." ajak Naura.
Mereka berlalu menjauh.Aku berpamitan pada Nandean untuk ke musholla Rumah Sakit.
"Mau kemana, Nay...?" Tanya mama.
"Ke musholla, ma.." jawabku.
"Mama ikut..." Katanya.
"Pergilah, ma... Kalau ada panggilan dokter biar saya sama si Anggun yang masuk.." ujar Bapak.Aku bergandengan tangan dengan Mama ke musholla.
Kami sholat hajat dua raka'at, dalam deraian air mata yang tak henti mengalir. Memanjatkan doa, melangitkan permohonan, mengiba kasih sayang, dari Sang Pemilik Semesta. Isak kami bersahutan. Masing-masing khusyuk dan tenggelam dalam lautan permohonan. Hanya kepadaNya kami meminta pertolongan.
Aku menyalami Mama dan bersimpuh di pangkuannya, memohon maaf karena telah melukai anaknya dan lengah pada cucunya. Mama pun memohon maaf atas segala perlakuan Marry kepadaku dan kepada Leang, memintaku untuk mengikhlaskan semua kesalahan Marry.
Kami menangis sejadi-jadinya.
Seburuk-buruknya Marry, tetaplah anaknya. Tak ada orangtua yang ingin kehilangan anak. Sesedih-sedihnya aku, mungkin kesedihan mama jauh lebih dalam, memikirkan kelakuan anak-anaknya.Aku sendiri heran, mama dan bapak begitu baik, begitu santun, mengapa anak-anaknya memiliki temperamen dan karakter yang jauh berbeda.Kami kembali ke ruang tunggu IDM, kulihat ayah dan ibuku sudah datang. Mereka terlibat pembicaraan dengan Bapak, Nandean, dan Pak Syam, seorang tetangga yang kebetulan ikut ke Rumah Sakit karena menangani pertolongan Leang saat kejadian."Saya sedang berdiri di depan pagar rumah saya. Tiba-tiba pintu pagar Pak Regar terbuka lebar, suaranya keras. Saya agak terkejut. Saya lihat Marry yang membuka sambil marah dan entah mengatakan apa. Leang kecil melesat lari keluar, dikejar oleh ibunya, namun ada mobil lewat ngebut tak sempat menghindar. Saya dan beberapa orang yang kebetulan melihat menjerit, pak... Ngeri kami melihat tubuh kecil itu terpental dan terlempar lagi oleh mobil lain..." Pak Syam menceritakan kronologi kejadian.Ayah dan ibuku tercengang."Ibunya Leang menjerit sambil memeluk anaknya.." lanjut si Bapak.&
Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk."Makan, Nay." Ajak Mama.Aku menggeleng."Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak."Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.Aku mengunyah pelan.Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri.Betapa sulit aku menelan makanan ini.Aku menyerah di suapan kedua."Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk."Terimakasih" Ucapku pelan.Lily melirik benci.
"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum."Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami."Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat."Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pi
"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.