Share

BAB 5 LEANG SADAR

 Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.

Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk.

"Makan, Nay." Ajak Mama.

Aku menggeleng.

"Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak.

"Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.

Aku mengunyah pelan. 

Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri. 

Betapa sulit aku menelan makanan ini.

Aku menyerah di suapan kedua.

"Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk.

"Terimakasih" Ucapku pelan.

Lily melirik benci.

Aku menyesap es jeruk pelan-pelan.

"Makan yang banyak, Gun, nanti sakit ngerepotin orang." ucap Lily pada Anggun sambil mencibir ke arahku. 

Anggun yang melihat tatapanku ke arahnya hanya diam, tak menanggapi.

"Udah bikin heboh orang sekampung, bikin malu keluarga. Dasar pengacau!" Umpat Lily pelan.

Aku menghampiri mereka.

"Lebih repot dan heboh mana, aku sakit atau kakak kubuat seperti kak Marry?" Tanyaku tajam. 

Kutatap tepat bola matanya dengan tatapan intimidasi.

"Lebih malu mana, aku sakit karena tak makan atau kakak sakit karena kupukuli?" Tanganku mengepal.

Lily gelagapan. 

Dia mungkin tak pernah menyangka aku bisa mengintimidasi, karena selama ini aku hanya mengalah dan memilih diam. 

Kutelusuri manik matanya, ada ketakutan disana.

"Aku bicara pada Anggun." katanya panik.

"Pada Kak Anggun, atau pada iparnya Kak Anggun?" Tanyaku lebih tajam.

"Pada Anggun. Ya kan, Gun?" Dia meminta pembelaan. 

Anggun hanya diam sambil melirik tanganku yang mengepal.

"Ingat yaa, aku sama sekali tidak takut pada kakak, juga tidak takut dipenjara. Jadi hati-hati. Jaga mulut kakak yang beracun itu." Ucapku penuh penekanan.

Rara dan Naura pura-pura tak menghiraukan kami. Mereka terus makan, meski aku tahu telinga mereka agak risau mendengar ancamanku pada Lily.

Aku kembali ke tempat dudukku. Nandean menawarkan makan lagi. Kali ini aku makan. Puas rasanya sudah bisa menakuti ipar beracun itu. 

Bila yang mereka inginkan kekerasan, aku akan lakukan kekerasan. Toh anakku sudah jadi korban keburukan sikap mereka. 

Jika mereka berani menyentuhku lagi, aku pastikan mereka menanggung akibatnya. Bukankah kasus Marry layak jadi pelajaran?

Pada saat Sholat Maghrib di petang itu, rangkaian doaku bertambah. Aku memohon ampunan Allah atas sikapku pada ipar sore tadi dan mendoakan semoga Allah berkenan melembutkan hati mereka. 

Aku juga berdoa semoga kondisi Marry membaik, agar mendung di wajah mertuaku sedikit sirna.

Aku tahu, sangat tidak mudah bagi mertuaku menyikapi peristiwa ini. Anak dan menantu berseteru, cucu menjadi korban. 

Andai tidak terjadi apa-apa pada Leang, Marry pun tidak akan berada dalam kondisi seperti sekarang. 

Malam itu kondisi Leang mengalami perubahan, ia mulai sadar beberapa menit meski kemudian lena lagi. 

Sedangkan Marry belum juga siuman, meski oksigen, tekanan darah, dan detak jantungnya normal. Perban yang melilit kepalanya juga tetap bersih, berarti tak ada lagi darah yang merembes dari lukanya.

Aku mengintensifkan doaku di sepertiga malam, saat langit dunia terbuka, ketika para malaikat turun menjemput doa-doa. 

Semoga sulur doaku mampu menjangkau 'arsy dan mendapat perkenan  Sang Maha Rahman.

Kulihat Mama pun sama khusyuknya berdoa. Kami dua orang ibu, terikat hubungan mertua dan menantu, memiliki doa yang sama. 

Aku bersyukur memiliki mertua seperti mereka, hingga hari ini tak ada celaan meski hanya sekata dari mulut mereka kepadaku. Padahal aku telah menyerang anaknya dengan membabi-buta hingga dalam kondisi koma.

Benar kata ayahku, aku harus mengenggam erat-erat sabar, ikhlas, dan syukur. Berbagai masalah yang kuhadapi hingga saat ini bukanlah apa-apa dibandingkan lautan nikmat lainnya yang kurasakan. 

Segala puji bagi Allah.

Usai sholat subuh, aku melangitkan puji-pujian kepada Allah dengan dada lebih lapang. Kutebalkan keyakinan bahwa saat kita mengangkat tangan keatas maka Allah akan turun tangan. Jika suatu urusan terasa berat, maka selesaikanlah semampu kita dan sisanya biarkan Allah yang mengaturnya untuk kita.

Langkahku terasa ringan menuju ruang kaca tempat anakku terbaring. 

Dokter jaga menyapaku sambil tersenyum.

"Ibu,  itu Leang sudah mulai sadar, tadi bahkan sudah menanyakan ibu."

Robbana, lakalhamdu (Tuhan kami, segala puji bagiMu)... Ucapku sambil meneteskan air mata. 

Segera kuhampiri Leang di pembaringan, seorang perawat sedang menemaninya.

Air mataku tak terbendung.

"Nak..." Sapaku penuh rindu.

Leang tersenyum. Terimakasih, Tuhan. Malaikat kecilku sudah bisa menggerakkan bibirnya.

"Ibu..." Panggilnya.

Aku memeluk dan menciumnya.

"Ibu darimana? Eang cari ibu." Mata polosnya menatapku penuh tanya.

Alhamdulillah... ya Allah, Engkau mendengarkan doaku... ini benar-benar keajaiban. 

Anakku bicara selancar ini padahal perban masih membebat sebagian kepala dan tubuhnya. 

Satu jam yang lalu bahkan jiwanya pun entah ada dimana. 

Air mataku menganaksungai.

"Ibu sholat, sayang." Jawabku sambil terus menciuminya.

"Ibu habis mendoakan Eang?" Ini pertanyaan rutinnya tiap kali aku selesai sholat.

"Iya, sayang." Aku masih terisak haru.

"Ibu kenapa nangis? Tadi sholatnya jauh ya? Ibu takut?"

"Bukan sayang, ibu tidak takut. Ibu cuma ingin peluk Leang."

"Ibu, tangan Eang sakit. Gak bisa peluk Ibu." keluhnya.

"Iya, nak. Biar ibu saja yang peluk Leang." ucapku.

"Bapak..." Serunya sambil tertawa lebar.

Ternyata Nandean sudah ada di belakangku. Kulihat matanya berkaca-kaca.

Suamiku mengusap kepala Leang, mencium pipinya. Ia tidak mengatakan apa pun. 

Mungkin lidahnya terasa kelu, dadanya terlalu sesak.

"Bapak urus pindah kamar dulu ya, nak. Biar kita tidur di kamar yang lebih rapi." ujar suamiku.

Leang tersenyum.

"Jangan lama-lama ya, pak. Eang mau digendong Bapak." pesannya. 

Ayah putraku mengangguk.

"Ibu, disini saja ya. Jangan pergi-pergi, nanti ibu hilang. Ini tempat asing." kata Leang.

Aku tersenyum, masih dalam linangan air mata. 

Nikmat Tuhan manakah yang hendak aku dustakan? 

Semuanya benar-benar terasa ajaib. 

Dalam hitungan jam, kondisi anakku berubah.

Beberapa menit kemudian mama masuk. Leang tersenyum menyambutnya.

"Kemarin Eang main ke rumah nenek. Sekarang nenek ada disini juga?" Tanyanya polos.

Mama tersenyum dalam linang air mata.

"Cepat sembuh ya, cung. Biar main di rumah nenek lagi." jawab Mama.

"Di rumah nenek ada Tante galak, suka marah." Jawab Leang sambil tertawa.

Aku dan mama pun ikut tertawa.

"Bagaimana keadaan Kak Marry, ma?" Tanyaku.

"Belum ada perubahan. Kata dokter jaga tunggu dokter spesialis syaraf memeriksa hasil rontgentnya dulu." jawab Mama.

"Maafkan aku ya, ma." Bisikku.

Kugenggam tangan mertuaku.

"Iya, Nay. Jangan terlalu dipikirkan. Mama paham, kau melakukan itu karena histeris melihat anakmu." kata mama pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status