Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.
Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk.
"Makan, Nay." Ajak Mama.
Aku menggeleng."Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak.
"Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.
Aku mengunyah pelan.Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri.
Betapa sulit aku menelan makanan ini.Aku menyerah di suapan kedua."Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk.
"Terimakasih" Ucapku pelan.
Lily melirik benci.Aku menyesap es jeruk pelan-pelan."Makan yang banyak, Gun, nanti sakit ngerepotin orang." ucap Lily pada Anggun sambil mencibir ke arahku.
Anggun yang melihat tatapanku ke arahnya hanya diam, tak menanggapi.
"Udah bikin heboh orang sekampung, bikin malu keluarga. Dasar pengacau!" Umpat Lily pelan.Aku menghampiri mereka.
"Lebih repot dan heboh mana, aku sakit atau kakak kubuat seperti kak Marry?" Tanyaku tajam.Kutatap tepat bola matanya dengan tatapan intimidasi.
"Lebih malu mana, aku sakit karena tak makan atau kakak sakit karena kupukuli?" Tanganku mengepal.Lily gelagapan.Dia mungkin tak pernah menyangka aku bisa mengintimidasi, karena selama ini aku hanya mengalah dan memilih diam.
Kutelusuri manik matanya, ada ketakutan disana."Aku bicara pada Anggun." katanya panik.
"Pada Kak Anggun, atau pada iparnya Kak Anggun?" Tanyaku lebih tajam.
"Pada Anggun. Ya kan, Gun?" Dia meminta pembelaan.
Anggun hanya diam sambil melirik tanganku yang mengepal."Ingat yaa, aku sama sekali tidak takut pada kakak, juga tidak takut dipenjara. Jadi hati-hati. Jaga mulut kakak yang beracun itu." Ucapku penuh penekanan.
Rara dan Naura pura-pura tak menghiraukan kami. Mereka terus makan, meski aku tahu telinga mereka agak risau mendengar ancamanku pada Lily.
Aku kembali ke tempat dudukku. Nandean menawarkan makan lagi. Kali ini aku makan. Puas rasanya sudah bisa menakuti ipar beracun itu.
Bila yang mereka inginkan kekerasan, aku akan lakukan kekerasan. Toh anakku sudah jadi korban keburukan sikap mereka.
Jika mereka berani menyentuhku lagi, aku pastikan mereka menanggung akibatnya. Bukankah kasus Marry layak jadi pelajaran?
Pada saat Sholat Maghrib di petang itu, rangkaian doaku bertambah. Aku memohon ampunan Allah atas sikapku pada ipar sore tadi dan mendoakan semoga Allah berkenan melembutkan hati mereka.
Aku juga berdoa semoga kondisi Marry membaik, agar mendung di wajah mertuaku sedikit sirna.
Aku tahu, sangat tidak mudah bagi mertuaku menyikapi peristiwa ini. Anak dan menantu berseteru, cucu menjadi korban.Andai tidak terjadi apa-apa pada Leang, Marry pun tidak akan berada dalam kondisi seperti sekarang.
Malam itu kondisi Leang mengalami perubahan, ia mulai sadar beberapa menit meski kemudian lena lagi.
Sedangkan Marry belum juga siuman, meski oksigen, tekanan darah, dan detak jantungnya normal. Perban yang melilit kepalanya juga tetap bersih, berarti tak ada lagi darah yang merembes dari lukanya.Aku mengintensifkan doaku di sepertiga malam, saat langit dunia terbuka, ketika para malaikat turun menjemput doa-doa.
Semoga sulur doaku mampu menjangkau 'arsy dan mendapat perkenan Sang Maha Rahman.Kulihat Mama pun sama khusyuknya berdoa. Kami dua orang ibu, terikat hubungan mertua dan menantu, memiliki doa yang sama.
Aku bersyukur memiliki mertua seperti mereka, hingga hari ini tak ada celaan meski hanya sekata dari mulut mereka kepadaku. Padahal aku telah menyerang anaknya dengan membabi-buta hingga dalam kondisi koma.
Benar kata ayahku, aku harus mengenggam erat-erat sabar, ikhlas, dan syukur. Berbagai masalah yang kuhadapi hingga saat ini bukanlah apa-apa dibandingkan lautan nikmat lainnya yang kurasakan.
Segala puji bagi Allah.Usai sholat subuh, aku melangitkan puji-pujian kepada Allah dengan dada lebih lapang. Kutebalkan keyakinan bahwa saat kita mengangkat tangan keatas maka Allah akan turun tangan. Jika suatu urusan terasa berat, maka selesaikanlah semampu kita dan sisanya biarkan Allah yang mengaturnya untuk kita.
Langkahku terasa ringan menuju ruang kaca tempat anakku terbaring.
Dokter jaga menyapaku sambil tersenyum."Ibu, itu Leang sudah mulai sadar, tadi bahkan sudah menanyakan ibu."Robbana, lakalhamdu (Tuhan kami, segala puji bagiMu)... Ucapku sambil meneteskan air mata.
Segera kuhampiri Leang di pembaringan, seorang perawat sedang menemaninya.Air mataku tak terbendung."Nak..." Sapaku penuh rindu.
Leang tersenyum. Terimakasih, Tuhan. Malaikat kecilku sudah bisa menggerakkan bibirnya."Ibu..." Panggilnya.Aku memeluk dan menciumnya."Ibu darimana? Eang cari ibu." Mata polosnya menatapku penuh tanya.
Alhamdulillah... ya Allah, Engkau mendengarkan doaku... ini benar-benar keajaiban. Anakku bicara selancar ini padahal perban masih membebat sebagian kepala dan tubuhnya.Satu jam yang lalu bahkan jiwanya pun entah ada dimana.
Air mataku menganaksungai."Ibu sholat, sayang." Jawabku sambil terus menciuminya."Ibu habis mendoakan Eang?" Ini pertanyaan rutinnya tiap kali aku selesai sholat.
"Iya, sayang." Aku masih terisak haru.
"Ibu kenapa nangis? Tadi sholatnya jauh ya? Ibu takut?"
"Bukan sayang, ibu tidak takut. Ibu cuma ingin peluk Leang."
"Ibu, tangan Eang sakit. Gak bisa peluk Ibu." keluhnya.
"Iya, nak. Biar ibu saja yang peluk Leang." ucapku.
"Bapak..." Serunya sambil tertawa lebar.Ternyata Nandean sudah ada di belakangku. Kulihat matanya berkaca-kaca.Suamiku mengusap kepala Leang, mencium pipinya. Ia tidak mengatakan apa pun.
Mungkin lidahnya terasa kelu, dadanya terlalu sesak."Bapak urus pindah kamar dulu ya, nak. Biar kita tidur di kamar yang lebih rapi." ujar suamiku.
Leang tersenyum."Jangan lama-lama ya, pak. Eang mau digendong Bapak." pesannya.
Ayah putraku mengangguk.
"Ibu, disini saja ya. Jangan pergi-pergi, nanti ibu hilang. Ini tempat asing." kata Leang.Aku tersenyum, masih dalam linangan air mata.
Nikmat Tuhan manakah yang hendak aku dustakan? Semuanya benar-benar terasa ajaib. Dalam hitungan jam, kondisi anakku berubah.Beberapa menit kemudian mama masuk. Leang tersenyum menyambutnya.
"Kemarin Eang main ke rumah nenek. Sekarang nenek ada disini juga?" Tanyanya polos.
Mama tersenyum dalam linang air mata."Cepat sembuh ya, cung. Biar main di rumah nenek lagi." jawab Mama.
"Di rumah nenek ada Tante galak, suka marah." Jawab Leang sambil tertawa.
Aku dan mama pun ikut tertawa."Bagaimana keadaan Kak Marry, ma?" Tanyaku.
"Belum ada perubahan. Kata dokter jaga tunggu dokter spesialis syaraf memeriksa hasil rontgentnya dulu." jawab Mama."Maafkan aku ya, ma." Bisikku.
Kugenggam tangan mertuaku."Iya, Nay. Jangan terlalu dipikirkan. Mama paham, kau melakukan itu karena histeris melihat anakmu." kata mama pelan."Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum."Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami."Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat."Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pi
"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.
"Sama-sama, pak. Inilah fungsinya keluarga, saling mengingatkan. Kami mohon pamit, untuk bantuannya akan kami kirim ke rekening Naya agar dapat segera diserahkan kepada Bapak. Jumlahnya 50 juta." Kata Ayah."Nah, kalau begitu kan jelas. Biar transparan. Ya Nggak, Nay?" Kata Rara.Naura langsung menyikutnya,"Apa sih, Ra?"Sementara mata Bang Ishaq melotot pada istrinya.Ayah, ibu, kak Ilham dan kak Irfan pun pamit pulang.Mereka memelukku hangat dan erat."Tenang, Nay. Kami selalu di belakangmu untuk menguatkan dan mendukungmu." Bisik Kak Irfan.Terimakasih, Tuhan.Kau berikan aku cinta berkelimpahan.Pasti akan ada cerita baru tentang ipar-iparku setelah pertemuan sore ini.Menjelang Maghrib kondisi Leang kembali mengkhawatirkan. Demam tinggi. Berkali-kali infus lepas dan pindah tempat."Ibu, kepala Eang sakit." Rintihnya."Sabar ya, nak. Nanti setelah minum obat sembuh." Bujukku samb
"Kak Rara diajak Bang Ishaq pulang, Dzaki rewel katanya. Lily hipertensinya kambuh." Urai Rossy."Bang Ishaq tampaknya marah." Rossy bergumam."Kenapa?" Tanya Nandean."Katanya karena kak Lily nyuruh kak Rara minta biaya rumah sakit pada ayahnya kak Naya, kak Lily juga marah pada kak Rara karena menceritakan dalam pertemuan tadi sore." Jawab Rossy.Kami tersenyum, ada-ada saja mereka ini."Kalian sudah makan belum?" Tanya suamiku."Belum. Kakak dan Abang juga belum kan? Nanti sekalian aku pesan." Jawab Rossy."Tidak. Biar aku saja yang beli, sekalian keluar nanti." Kata suamiku.Suamiku beranjak keluar kamar.Rossy duduk di sisi pembaringan, tangannya mengelus pipi Leang perlahan. Selama ini jarang sekali dia melakukan kontak fisik dengan anakku."Kak, maaf ya atas kelakuan kakak-kakak kami." Tiba-tiba Rossy bersuara.Aku tersenyum, "tidak apa-apa.""Kak, bisa tidak kakak memaafkan kak Marry?" Tanyanya