"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.
Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum.
"Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.
Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami.
"Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.
Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.
Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.
Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat.
"Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pindah kamar ya?" Lanjutnya.
Leang tersenyum.Beberapa langkah kemudian terdengar suara Lily,
"Dia senang anaknya sudah sadar, Marry belum. Entah sampai kapan. Perempuan gak tau diri!" Gerutunya.Aku pura-pura tidak mendengar. Kulirik suamiku. Ia tampak berhenti sejenak dan menoleh pada kedua saudaranya.Pagi ini Leang menempati ruang rawat inap sehingga bisa dikunjungi oleh beberapa orang sekaligus.
Bapak dan mama duduk di sisi kiri dan kanan tempat tidur Leang. Mengajaknya ngobrol. Leang pun tampak riang, wajah pucatnya berangsur hilang.
"Kalian jaga anak ini baik-baik." kata Bapak kepada aku dan Nandean.
"Dialah generasi penerus pembawa nama besar klan kita, jadikan dia orang baik. Sedikit saja sikap buruknya, akan terbawa buruk nama marga." lanjut Bapak berpesan.
"Khawatir benar saya kemarin melihat kondisinya, terasa nyawa saya yang akan hilang. Sudah putus rasanya harapan saya." suara Bapak terdengar parau.
"Tapi Allah Maha Besar.. diselamatkanNya cucu saya." Bapak terisak-isak.
Aku mengelus punggung Bapak.
"Mohon doakan Leang segera sehat lagi ya, pak." Pintaku."Siang malam doa saya untuk anak, cucu, dan menantu saya, tak pernah lepas nama kalian dari bibir saya." ujar Bapak.
Air mataku mengalir.Aku duduk disisi Bapak, menyentuh tangan tuanya.
"Pak, Saya minta maaf." ucapku terbata."Mohon maaf sudah melukai kak Marry, saya salah, pak. Saya benar-benar khilaf." kataku bersungguh-sungguh.
"Tidak ada orang yang tak khilaf melihat anaknya meregang nyawa. Kau masih muda, emosimu masih tinggi. Bahkan mamamu pun masih emosi saya rasa kalau melihat anaknya seperti Leang kemarin. " sahut Bapak.
"Tapi mau bagaimana lagi. Diterima saja, ini musibah bersama, musibah keluarga kita. Mungkin sudah terlalu banyak dosa-dosa kita, dosa-dosa si Marry, sehingga harus mendapat cobaan seperti ini." Bapak melanjutkan.
"Mama kemarin gak bisa ngomong lagi, Nay." Kata Mama.
"Mama yang setiap hari lihat kelakuan si Marry, menyaksikan perbuatannya padamu, melihat sikapnya pada anakmu. Tidak ada orangtua yang tak sakit hati saat anaknya diperlakukan buruk walaupun oleh saudara sendiri. Mama sudah pernah mengalami, jadi mama tahu perasaanmu." ujar mama lagi.
"Kalian bersabarlah, perjalanan hidup masih panjang. Kami cuma bisa mendoakan kalian bisa rukun dan hidup dengan tenang." kata Bapak.
"Assalamualaikum..." Terdengar ucapan salam dan ketukan di pintu.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh..." Jawab kami serempak.
Suamiku membuka pintu kamar.
Tampak ayah dan ibuku berdiri disana, diikuti kedua kakak lelakiku.Aku menyambut keempatnya, menyalami dan mencium punggung tangan mereka.Kedua kakakku datang dari pulau seberang. Mereka memelukku hangat.
"Adikku ini kok tambah kecil saja." Canda Kak Ilham, kakak tertuaku."Mana si jagoan?" Tanya kak Irfan, si kakak kedua.
"Leang, Heeeiii... Apa kabar jagoan Pakde ini?" Mereka menyapa Leang yang tertawa gembira di pembaringan.
Ayah, Ibu, Bapak, dan Mama seperti biasa langsung terlibat perbincangan akrab. Bersyukur sekali memiliki orangtua dan mertua yang akur dan kompak seperti ini.
Bapak dan mama menanyakan kabar serta tugas baru kak Ilham dan kak Irfan.
Ayah dan ibu juga menanyakan perkembangan kondisi Marry. Aku tau, keluargaku pun menanggung beban moral atas peristiwa kemarin. Mereka pasti tak pernah menyangka putrinya bertindak bar-bar tak terkontrol.
Ayah ibu pun menyampaikan permohonan maaf kepada mertuaku atas perbuatanku.
"Ah, sudahlah, Pak Ikram. Naya tak sepenuhnya salah. Marry juga salah, sampai cucu kami harus menanggung akibatnya." jawab Bapak.
"Biar jadi pengalaman dan pembelajaran, Bu. Supaya ke depannya lebih hati-hati pada ipar dan keponakan." Sambung Mama.
Sementara kak Ilham dan kak Irfan asyik bercanda dengan Leang. Menyuapi bubur, merayu minum obat, menjanjikan naik pesawat jika nanti sudah sembuh.
Sebuah bentuk komunikasi yang tak pernah Leang dapatkan dari saudara-saudara ayahnya.
Jam 9 pagi Leang tertidur. Kedua kakakku berbincang hangat dengan mertuaku.
Nandean pamit untuk ke toko sebentar, kami punya sebuah toko alat optik di pasar kota.Tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Kepala Lily muncul."Pak, dipanggil dokter, mau laporan keadaan Marry. Ditungguin dari tadi malah enak-enakan ngobrol disini." katanya kepada Bapak."Mama ini juga, bukannya nungguin anaknya malah ngobrol gak penting di kamar orang." Omelnya pada Mama.
Ayah dan Ibuku tampak terkejut, bahkan kedua kakakku menatapnya penuh keheranan.
"Tak ada lagi rupanya sopan santunmu? bicaralah yang benar pada orangtua." Jawab Bapak.
Tapi Lily langsung beranjak pergi."Maaf, Pak Ikram dan ibu, kami tinggal dulu ya." pamit Bapak dan Mama.
"Oh, iya, Pak. Semoga ada kabar bagus dan menggembirakan dari dokter tentang Marry." Jawab Ayah.
Bapak dan Mama meninggalkan kamar tergesa."Itu tadi iparmu, Nay?" Tanya kak Ilham.
Aku tersenyum, "iya.." jawabku.
Tiba-tiba Kak Irfan terbahak.
"Pantas saja yang satu dihajar Naya. Kelihatannya yang lain nunggu giliran, Nay.hahahaha.." ledek Kak Irfan.
"Hussss! Provokasi." Sungut kak Ilham.Ayah dan Ibu tersenyum."Bicara sama orangtuanya saja begitu, apalagi dengan orang lain." kata Ayah.
"Kemarin tak ada yang basa basi menegur ayah dan ibu. Ibu pikir karena mereka masih marah dan kesal pada Naya. Tapi ternyata memang sifatnya begitu rupanya." Ujar ibu sambil tersenyum.
"Mungkin memang wataknya seperti itu, Bu." sahut Kak Ilham.
"Tapi Bapak dan Mamanya ramah ya. " kata Kak Irfan.
"Jadi penasaran pengen ketemu saudaranya Nandean yang lain." Ujar kak Irfan lagi.
"Nanti, sambil jenguk yang namanya Marry." kata Ibu.
Mereka menyetujui.Lalu perbincangan mengalir tentang kronologi kejadian kemarin. Aku ceritakan semuanya.
"Tapi memang sejak dulu Marry memusuhimu ya?" Tanya kak Ilham.
"Begitulah..." Jawabku mengambang."Coba cerita yang jujur, Nay. Biar kami tahu dan tak salah mengambil keputusan atau tindakan yang diperlukan jika suatu saat keluarga Nandean menuntutmu ke ranah hukum karena kasus ini." Kata Kak Irfan.
Aku pun bercerita tentang bagaimana perlakuan mereka selama aku menikah dengan suamiku.
"Gila, empat tahun dibully ipar dan kau telan sendiri?" Tanya kak Ilham.
"Wajar saja kemarin meledak. Itu pun setelah Leang jadi korban." Kata kak Irfan.
Aku terdiam.
Ayah dan ibu menatapku prihatin.Mungkin mereka kecewa, sedih, dan entahlah. Saat tahu bahwa anaknya jadi korban bullying keluarga suami."Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.
"Sama-sama, pak. Inilah fungsinya keluarga, saling mengingatkan. Kami mohon pamit, untuk bantuannya akan kami kirim ke rekening Naya agar dapat segera diserahkan kepada Bapak. Jumlahnya 50 juta." Kata Ayah."Nah, kalau begitu kan jelas. Biar transparan. Ya Nggak, Nay?" Kata Rara.Naura langsung menyikutnya,"Apa sih, Ra?"Sementara mata Bang Ishaq melotot pada istrinya.Ayah, ibu, kak Ilham dan kak Irfan pun pamit pulang.Mereka memelukku hangat dan erat."Tenang, Nay. Kami selalu di belakangmu untuk menguatkan dan mendukungmu." Bisik Kak Irfan.Terimakasih, Tuhan.Kau berikan aku cinta berkelimpahan.Pasti akan ada cerita baru tentang ipar-iparku setelah pertemuan sore ini.Menjelang Maghrib kondisi Leang kembali mengkhawatirkan. Demam tinggi. Berkali-kali infus lepas dan pindah tempat."Ibu, kepala Eang sakit." Rintihnya."Sabar ya, nak. Nanti setelah minum obat sembuh." Bujukku samb
"Kak Rara diajak Bang Ishaq pulang, Dzaki rewel katanya. Lily hipertensinya kambuh." Urai Rossy."Bang Ishaq tampaknya marah." Rossy bergumam."Kenapa?" Tanya Nandean."Katanya karena kak Lily nyuruh kak Rara minta biaya rumah sakit pada ayahnya kak Naya, kak Lily juga marah pada kak Rara karena menceritakan dalam pertemuan tadi sore." Jawab Rossy.Kami tersenyum, ada-ada saja mereka ini."Kalian sudah makan belum?" Tanya suamiku."Belum. Kakak dan Abang juga belum kan? Nanti sekalian aku pesan." Jawab Rossy."Tidak. Biar aku saja yang beli, sekalian keluar nanti." Kata suamiku.Suamiku beranjak keluar kamar.Rossy duduk di sisi pembaringan, tangannya mengelus pipi Leang perlahan. Selama ini jarang sekali dia melakukan kontak fisik dengan anakku."Kak, maaf ya atas kelakuan kakak-kakak kami." Tiba-tiba Rossy bersuara.Aku tersenyum, "tidak apa-apa.""Kak, bisa tidak kakak memaafkan kak Marry?" Tanyanya
Hingga Nandean datang, Rossy masih menangis."Kenapa?" Bisik Nandean kepadaku.Aku menggeleng.Aku tak mampu bersuara.Tenggorokanku seperti tercekat.Aku menghampiri Rossy yang tertelungkup di samping Leang. Mengusap-usap punggungnya.Bahkan aku saja terperanjat mendengar ceritanya, apalagi dia yang mendengar langsung dan mengetahui fakta tentang kejahatan kakaknya."Bapak sama Mama mau kesini katanya." Ujar Nandean memecah kebisuan.Aku membereskan makanan yang tadi dibawa Nandean."Kok banyak amat ini?" Tanyaku."Bapak dan Mama mau makan bareng disini." Jawab Nandean.Rossy bangkit mengusap matanya, kemudian ke kamar mandi. Gemercik suara air terdengar, tampaknya ia mencuci muka.Tak lama ada suara salam dan ketukan di pintu kamar. Aku gegas membukanya, tampak wajah Bapak dan Mama yang terlihat letih."Bagaimana si Leang?" Tanya Bapak."Sedang tidur, pak. Tadi demam tingg