Share

BAB 6

"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.

Air mataku mengalir lagi.

Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini.

"Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum.

"Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.

Mama mengiyakan.

Seorang perawat menghampiri kami.

"Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah.

"Oh, iya mba." Jawabku.

Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.

Suamiku sudah berdiri di depan pintu.

"Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.

Para perawat yang mengantar tertawa.

"Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.

Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat.

"Leang." Sapa Anggun

"Heiii..." Sapa Lily

"Mau pindah kamar ya?" Lanjutnya.

Leang tersenyum.

Beberapa langkah kemudian terdengar suara Lily,

"Dia senang anaknya sudah sadar, Marry belum. Entah sampai kapan. Perempuan gak tau diri!" Gerutunya.

Aku pura-pura tidak mendengar. 

Kulirik suamiku. Ia tampak berhenti sejenak dan menoleh pada kedua saudaranya.

Pagi ini Leang menempati ruang rawat inap sehingga bisa dikunjungi oleh beberapa orang sekaligus.

Bapak dan mama duduk di sisi kiri dan kanan tempat tidur Leang. Mengajaknya ngobrol. Leang pun tampak riang, wajah pucatnya berangsur hilang.

"Kalian jaga anak ini baik-baik." kata Bapak kepada aku dan Nandean.

"Dialah generasi penerus pembawa nama besar klan kita, jadikan dia orang baik. Sedikit saja sikap buruknya, akan terbawa buruk nama marga." lanjut Bapak berpesan.

"Khawatir benar saya kemarin melihat kondisinya, terasa nyawa saya yang akan hilang. Sudah putus rasanya harapan saya." suara Bapak terdengar parau.

"Tapi Allah Maha Besar.. diselamatkanNya cucu saya." Bapak terisak-isak.

Aku mengelus punggung Bapak.

"Mohon doakan Leang segera sehat lagi ya, pak." Pintaku.

"Siang malam doa saya untuk anak, cucu, dan menantu saya, tak pernah lepas nama kalian dari bibir saya." ujar Bapak.

Air mataku mengalir.

Aku duduk disisi Bapak, menyentuh tangan tuanya.

"Pak, Saya minta maaf." ucapku terbata.

"Mohon maaf sudah melukai kak Marry, saya salah, pak. Saya benar-benar khilaf." kataku bersungguh-sungguh.

"Tidak ada orang yang tak khilaf melihat anaknya meregang nyawa. Kau masih muda, emosimu masih tinggi. Bahkan mamamu pun masih emosi saya rasa kalau melihat anaknya seperti Leang kemarin. " sahut Bapak.

"Tapi mau bagaimana lagi. Diterima saja, ini musibah bersama, musibah keluarga kita. Mungkin sudah terlalu banyak dosa-dosa kita, dosa-dosa si Marry, sehingga harus mendapat cobaan seperti ini." Bapak melanjutkan.

"Mama kemarin gak bisa ngomong lagi, Nay." Kata Mama.

"Mama yang setiap hari lihat kelakuan si Marry, menyaksikan perbuatannya padamu, melihat sikapnya pada anakmu. Tidak ada orangtua yang tak sakit hati saat anaknya diperlakukan buruk walaupun oleh saudara sendiri. Mama sudah pernah mengalami, jadi mama tahu perasaanmu." ujar mama lagi.

"Kalian bersabarlah, perjalanan hidup masih panjang. Kami cuma bisa mendoakan kalian bisa rukun dan hidup dengan tenang." kata Bapak.

"Assalamualaikum..." Terdengar ucapan salam dan ketukan di pintu.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh..." Jawab kami serempak.

Suamiku membuka pintu kamar.

Tampak ayah dan ibuku berdiri disana, diikuti kedua kakak lelakiku.

Aku menyambut keempatnya, menyalami dan mencium punggung tangan mereka. 

Kedua kakakku datang dari pulau seberang. Mereka memelukku hangat.

"Adikku ini kok tambah kecil saja." Canda Kak Ilham, kakak tertuaku.

"Mana si jagoan?" Tanya kak Irfan, si kakak kedua.

"Leang, Heeeiii... Apa kabar jagoan Pakde ini?" Mereka menyapa Leang yang tertawa gembira di pembaringan.

Ayah, Ibu, Bapak, dan Mama seperti biasa langsung terlibat perbincangan akrab. Bersyukur sekali memiliki orangtua dan mertua yang akur dan kompak seperti ini.

Bapak dan mama menanyakan kabar serta tugas baru kak Ilham dan kak Irfan. 

Ayah dan ibu juga menanyakan perkembangan kondisi Marry. Aku tau, keluargaku pun menanggung beban moral atas peristiwa kemarin. Mereka pasti tak pernah menyangka putrinya bertindak bar-bar tak terkontrol. 

Ayah ibu pun menyampaikan permohonan maaf kepada mertuaku atas perbuatanku.

"Ah, sudahlah, Pak Ikram. Naya tak sepenuhnya salah. Marry juga salah, sampai cucu kami harus menanggung akibatnya." jawab Bapak.

"Biar jadi pengalaman dan pembelajaran, Bu. Supaya ke depannya lebih hati-hati pada ipar dan keponakan." Sambung Mama.

Sementara kak Ilham dan kak Irfan asyik bercanda dengan Leang. Menyuapi bubur, merayu minum obat, menjanjikan naik pesawat jika nanti sudah sembuh. 

Sebuah bentuk komunikasi yang tak pernah Leang dapatkan dari saudara-saudara ayahnya.

Jam 9 pagi Leang tertidur. Kedua kakakku berbincang hangat dengan mertuaku. 

Nandean pamit untuk ke toko sebentar, kami punya sebuah toko alat optik di pasar kota.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. 

Kepala Lily muncul.

"Pak, dipanggil dokter, mau laporan keadaan Marry. Ditungguin dari tadi malah enak-enakan ngobrol disini." katanya kepada Bapak.

"Mama ini juga, bukannya nungguin anaknya malah ngobrol gak penting di kamar orang." Omelnya pada Mama.

Ayah dan Ibuku tampak terkejut, bahkan kedua kakakku menatapnya penuh keheranan.

"Tak ada lagi rupanya sopan santunmu? bicaralah yang benar pada orangtua." Jawab Bapak.

Tapi Lily langsung beranjak pergi.

"Maaf, Pak Ikram dan ibu, kami tinggal dulu ya." pamit Bapak dan Mama.

"Oh, iya, Pak. Semoga ada kabar bagus dan menggembirakan dari dokter tentang Marry." Jawab Ayah.

Bapak dan Mama meninggalkan kamar tergesa.

"Itu tadi iparmu, Nay?" Tanya kak Ilham.

Aku tersenyum, "iya.." jawabku.

Tiba-tiba Kak Irfan terbahak.

"Pantas saja yang satu dihajar Naya. Kelihatannya yang lain nunggu giliran, Nay.

 hahahaha.." ledek Kak Irfan.

"Hussss! Provokasi." Sungut kak Ilham.

Ayah dan Ibu tersenyum.

"Bicara sama orangtuanya saja begitu, apalagi dengan orang lain." kata Ayah.

"Kemarin tak ada yang basa basi menegur ayah dan ibu. Ibu pikir karena mereka masih marah dan kesal pada Naya. Tapi ternyata memang sifatnya begitu rupanya." Ujar ibu sambil tersenyum.

"Mungkin memang wataknya seperti itu, Bu." sahut Kak Ilham.

"Tapi Bapak dan Mamanya ramah ya. " kata Kak Irfan.

"Jadi penasaran pengen ketemu saudaranya Nandean yang lain." Ujar kak Irfan lagi.

"Nanti, sambil jenguk yang namanya Marry." kata Ibu. 

Mereka menyetujui.

Lalu perbincangan mengalir tentang kronologi kejadian kemarin. Aku ceritakan semuanya. 

"Tapi memang sejak dulu Marry memusuhimu ya?" Tanya kak Ilham.

"Begitulah..." Jawabku mengambang.

"Coba cerita yang jujur, Nay. Biar kami tahu dan tak salah mengambil keputusan atau tindakan yang diperlukan jika suatu saat keluarga Nandean menuntutmu ke ranah hukum karena kasus ini." Kata Kak Irfan.

Aku pun bercerita tentang bagaimana perlakuan mereka selama aku menikah dengan suamiku.

"Gila, empat tahun dibully ipar dan kau telan sendiri?" Tanya kak Ilham.

"Wajar saja kemarin meledak. Itu pun setelah Leang jadi korban." Kata kak Irfan.

Aku terdiam.

Ayah dan ibu menatapku prihatin.

Mungkin mereka kecewa, sedih, dan entahlah. Saat tahu bahwa anaknya jadi korban bullying keluarga suami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status