Share

BAB 7

"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham.

"Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.

Kedua kakakku bangkit.

Aku harus menunggui Leang di kamar.

"Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang.

"Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.

Mereka berlalu. 

Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku. 

Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku. 

Menghargai atau malah memusuhi? 

Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.

Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga. 

Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara kolektif dalam kehidupan, kita akan menemukan bahwa sejatinya lelaki dan perempuan itu seimbang dalam berbagai peran dan fungsi sosialnya di masyarakat.

Rasanya aku tak sabar menunggu kakak-kakakku bercerita setelah pertemuan mereka dengan ipar-iparku itu nanti.

Handphone-ku berdering.

Nama Kak Irfan tertera di screen.

"Assalamualaikum, iya, kak." Jawabku setelah menekan tombol hijau.

"Nay, biaya pengobatan Leang bagaimana? Kalian punya dananya?" Tanya kak Irfan.

"Ada asuransi, kak." Jawabku.

Hatiku bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba kakakku menanyakan hal ini.

"Oh, jadi sudah dicover asuransi ya. Baiklah." 

Panggilan diputus.

Lalu pesan W* masuk dari suamiku.

[Aku bawakan makan siang ya, sekalian untuk ayah, ibu, dan Pakde nya Leang]

[Ditunggu bawaannya, menantu dan adik ipar kesayangan 😘]

[Tolong sekalian beli juga untuk Bapak, Mama, dan Tante-tantenya Leang]

[Siap]

Satu jam kemudian suamiku datang, berbarengan dengan keluargaku yang kembali lagi ke kamar.

Kami makan bersama.

"Bapak Leang sudah tahu belum hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis untuk Marry?" Tanya Ayah.

"Belum, Yah" jawab suamiku.

"Bapaknya Leang kan baru datang, Yah. Belum ketemu sama Pak Regar." Kata Kak Irfan.

"Memang gimana katanya, Yah?" Tanya suamiku.

"Agak berat keliatannya. Harus dioperasi. 

Kemungkinan baiknya bisa sehat tapi tak bisa 100% seperti semula, kemungkinan buruknya kehilangan kemampuan pendengaran dan bicaranya, kemungkinan paling buruk jika tidak operasi tetap koma entah sampai kapan." Papar ayah.

"Biayanya diestimasikan diatas angka duaratus juta. Nah, tadi saudara-saudara mu bilang, karena musibah ini akibat ulah Naya maka keluarga Naya lah yang harus menanggung biayanya." Terang ayah lagi.

Nandean tertawa.

"Orang gila." Gumamnya sambil menggelengkan kepala.

"Yang ngomong seperti itu siapa, Yah?" Tanya Nandean.

"Rara sama Lily." Jawab Ayah.

"Terus Bapak bilang apa? Ada ngomong gak Bapak?" Tanya Nandean lagi.

"Bapakmu malah bilang, jangan didengarkan, pak. Nanti kami musyawarah keluarga dulu." Jawab ayah.

"Kebiasaan Bapak memang begitu, semua dimusyawarahkan dulu." Kata suamiku.

"Kadang aku juga bingung sama mereka yang perempuan-perempuan itu." Keluhnya.

"Tapi tanpa diminta pun nanti kami akan tetap membantu biayanya. Makanya tadi Irfan saya minta tanya Naya bagaimana biaya Leang, katanya sudah dicover asuransi, berarti persiapan bantuan untuk Leang kami alihkan untuk Marry." Kata Ayah.

"Kakak-kakaknya Nandean itu agak-agak aneh ya?" Gurau Kak Ilham sambil tertawa.

"Memang aneh." Tawa Nandean.

"Kalau tak aneh, tak akan ada cerita hari ini." Kata kak Irfan.

Ayah hanya tersenyum.

Kemudian mereka semua sholat Dzuhur ke musholla.

Aku dan ibu sholat di kamar.

"Nay," sapa ibu saat aku mencium tangannya setelah selesai sholat.

"Maafkan ibu ya. Ibu tak pernah tahu kesusahanmu." Ucap ibu sambil menangis.

"Ibu, Naya baik-baik saja, ibu tenanglah." Hiburku sambil tersenyum.

Kugenggam tangan hangat pemilik syurgaku, tangan yang dulu merawat dan membesarkan aku dengan seluruh kasih sayangnya. Tangan yang mengerjakan berbagai hal untuk memenuhi aneka kebutuhanku. Tangan yang senantiasa menengadah ke langit memohon kebaikan-kebaikan dalam hidupku.

Bahkan kini tangan itu pun melakukannya untuk putraku. 

Tiba-tiba aku menyadari satu hal, yang membuatku bertahan melalui ujian hidup hingga saat ini adalah doa ibuku.

-0-

Siang itu Bapak meminta kami berkumpul. Aku menitipkan penjagaan Leang pada Ibu yang kebetulan masih berada di Rumah Sakit. Ayah dan kakak-kakak ku juga tampaknya masih menunggu perkembangan berita dari keluarga mertuaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status