Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Suamiku berasal dari sebuah keluarga besar. Ia lelaki satu-satunya. Enam lainnya perempuan. Dua orang dari mereka sudah menikah, Rara dan Naura namanya. Rara memiliki enam anak lelaki, satu perempuan.Empat Iparku yang lain belum menikah. Usia mereka delapan hingga duabelas tahun diatasku. Ada juga yang sebaya denganku, Rossy, adik suamiku. Sedangkan Nandean, suamiku, anak ke enam.Dari keenam iparku, dua orang membenciku. Sebabnya? aku tidak tahu. Mereka menunjukkan ketidaksukaannya sejak pertama bertemu. Terutama Marry, dia terang-terangan menunjukkan kebenciannya dengan cara yang vulgar.Sedangkan Lily, lebih pada munafik. Di depanku ia baik, di belakangku ia mempengaruhi Marry agar bersikap jahat padaku.Nandean selalu meminta kesabaranku dalam menghadapi saudara-saudaranya. Itu sebabnya aku tetap bersikap baik, meski tak selalu dibalas baik.Tetap menyapa dengan sopan, meski sapaanku seperti angin yang tak diperhitungkan.Berbeda d
Marry berdiri dekat pintu kamar, ia menguping pertengkaran kami.Pertengkaran aku dan Nandean, ini memang tujuan mereka.Aku terus berjalan, melintasi dapur, menuju pintu keluar.Nandean menangkapku.Enam orang anak berbaris memperhatikan kami."Kau lihat Mama Tari kerepotan sendirian? Lalu kau masih mau pergi ?" Bentak Nandean."Itu bukan urusanku..!!!" Aku juga berteriak."Aku bisa mengurus anakku, tapi aku capek kalau harus mengurus delapan anak sekaligus..!!!" teriakku."Iya, itu memang urusanku!!! Aku tak memintamu mengurus anakku!!!" Teriak Rara."Tapi kenapa aku yang harus menyiapkan makanan mereka setiap hari..?" Tanyaku."Jadi kau keberatan???.. hah?" Tanya Nandean.Aku sempat melirik Marry dan Lily yang tersenyum simpul.Tiba-tiba Bapak muncul."Ada apa sih..??" Tanyanya."Gak tau.. ribut aja!!" Marry bersungut-sungut."bikin malu..!!" timpal Lily."Diam kau.
Kulepaskan diri dari pegangan orang-orang. Aku benar-benar kalap. Kulihat sebuah batu besar di pinggir jalan. Kuangkat dan kulemparkan ke arah kepala Marry yang sedang dibantu duduk oleh beberapa orang. Mereka berteriak, tapi aku tak perduli.Terbayang tubuh anakku yang bersimbah darah. Aku pun ingin melihat dia bersimbah darah. Kuambil lagi batu tadi, kuhantamkan berkali-kali ke kepala Marry. Orang-orang menjerit. Darah muncrat dari kepalanya, mengalir membasahi jalan...Sirine dua ambulans meraung-raung beriringan membelah jalan kota, bersaing dengan raunganku yang mendekap Leang.Aku menyebut nama putraku dan nama Tuhan berganti-ganti. Aku mengiba, memohon, agar Tuhan memberikan keajaiban bagi anakku.Leang tak bergerak, kesadarannya telah lenyap, nafasnya yang lambat terdengar seperti dengkuran halus, matanya terpejam rapat, detak jantungnya yang kurapatkan ke dada adalah harapan terbesarku agar ia terus terpompa dan mendenyutkan na
Aku sendiri heran, mama dan bapak begitu baik, begitu santun, mengapa anak-anaknya memiliki temperamen dan karakter yang jauh berbeda.Kami kembali ke ruang tunggu IDM, kulihat ayah dan ibuku sudah datang. Mereka terlibat pembicaraan dengan Bapak, Nandean, dan Pak Syam, seorang tetangga yang kebetulan ikut ke Rumah Sakit karena menangani pertolongan Leang saat kejadian."Saya sedang berdiri di depan pagar rumah saya. Tiba-tiba pintu pagar Pak Regar terbuka lebar, suaranya keras. Saya agak terkejut. Saya lihat Marry yang membuka sambil marah dan entah mengatakan apa. Leang kecil melesat lari keluar, dikejar oleh ibunya, namun ada mobil lewat ngebut tak sempat menghindar. Saya dan beberapa orang yang kebetulan melihat menjerit, pak... Ngeri kami melihat tubuh kecil itu terpental dan terlempar lagi oleh mobil lain..." Pak Syam menceritakan kronologi kejadian.Ayah dan ibuku tercengang."Ibunya Leang menjerit sambil memeluk anaknya.." lanjut si Bapak.&
Namun jika menurut Tuhan kami tak layak untuk menjaga dan merawatnya lagi, maka aku mohon Tuhan memberikan kesabaran yang panjang dan keikhlasan yang tebal dalam jiwa kami agar mampu menerima takdir terbaikNya.Tak kuhiraukan Rara, Lily, Naura, Anggun, dan Rossy, yang kasak kusuk, mondar mandir tak jelas. Aku hanya fokus menguatkan hatiku agar siap menghadapi segala kemungkinan. Berharap yang terbaik, bersiap yang terburuk."Makan, Nay." Ajak Mama.Aku menggeleng."Makanlah walau sedikit, nanti kau sakit." bujuk Bapak."Makan, Nay." Nandean menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.Aku mengunyah pelan.Pepatah yang mengatakan nasi dimakan terasa sekam air diminum terasa duri ada benarnya, kini aku merasakannya sendiri.Betapa sulit aku menelan makanan ini.Aku menyerah di suapan kedua."Minum, kak." Rossy menghampiriku, membawakan satu cup es jeruk."Terimakasih" Ucapku pelan.Lily melirik benci.
"Mama dan bapak juga tahu, sudah bertahun-tahun kau sabar menghadapi kelakuan Marry." Lanjut mama.Air mataku mengalir lagi.Terimakasih, Tuhan, Kau berikan aku mertua sebaik ini."Leang, nenek keluar dulu yaaa. Mau beli jus untuk Leang. " pamit mama sambil tersenyum."Jus jambu ya, nek. Eang mau dua." kata Leang.Mama mengiyakan.Seorang perawat menghampiri kami."Ibu, kamar untuk Leang sudah siap. Kita pindah yaa. " Katanya ramah."Oh, iya mba." Jawabku.Beberapa perawat lain dengan sigap memindahkan Leang ke tempat tidur lain dan mendorongnya keluar.Suamiku sudah berdiri di depan pintu."Ibu, ini mobilan ya? Panjang tapi gak ada atap dan kacanya." tanya Leang.Para perawat yang mengantar tertawa."Iya, dek. Kaca dan atapnya belum dipasang." jawab salah satu dari mereka.Aku melihat Lily dan anggun di ruang tunggu. Mereka mendekat."Leang." Sapa Anggun"Heiii..." Sapa Lily"Mau pi
"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham."Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang."Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku.Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku.Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara