Dean dan Kensky sedang duduk di ruang tamu sambil menunggu anak semata wayang mereka pulang.
Setelah melahirkan seorang bayi perempuan yang bernama Clare Agatha Stewart delapan belas tahun yang lalu Kensky telah divonis penyakit yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Kensky sudah tidak bisa hamil lagi dan hal itu menyebabkannya frustasi. Tapi berkat dorongan dan semangat yang diberikan sang suami dan anak semata wayangnya Kensky melewati masa-masa itu dan menjalani hidup sebaik mungkin. Ia menganggap hal itu tidak pernah terjadi dan merasa bahwa dirinya memang tidak ingin menambah anak dengan alasan tidak ingin cintanya kepada Clare terbagi.
Sekarang dengan wajah puas ia dan suaminya sedang membicarakan tentang masa depan sang anak. "Kau yakin dia mau menerima keputusan ini?" tanya Kensky kepada Dean.
Dean yang duduk di sampingnya langsung tersenyum sambil menggenggam tangan istri tercintanya. "Usia Clare sudah delapan belas tahun dan sebentar lagi dia akan duduk di bangku Universitas. Jadi, sudah saatnya ia tahu tentang ini. Aku takut kalau kita menunda untuk mengatakannya yang ada dia akan jatuh cinta kepada pria lain."
"Malam," sapa Clare dari arah depan. Ia segera menghampiri kedua orangtuanya kemudian mencium mereka secara bergantian. Gadis yang rambut panjangnya berwarna cokelat kehijauan itu mengambil posisi di samping Kensky. Sambil memeluk sang ibu ia berkata, "Mami dan Papi kenapa belum tidur, ini kan sudah larut malam?"
Kensky hanya tersenyum sayang sambil mengusap belakang kepala Clare saat gadis itu memeluknya.
Dean berkomentar. "Ada hal penting yang ingin kami sampaikan. Itu sebabnya kami belum tidur dan menunggumu pulang."
Saat itulah Clare bangkit dari tubuh Kensky dan memasang wajah datar. "Hal apa itu, Pi?"
Dean dan Kensky saling menatap sebelum akhirnya mereka kembali menatap Clare. "Maafkan kami jika hal ini mengejutkanmu. Tapi kau harus percaya, rencana ini sudah kami siapkan jauh sebelum mami dan papi menikah," kata Dean.
Clare semakin bingung. Ia menatap kedua orangtuanya secara bergantian dengan mata abu-abunya yang diwariskan oleh sang ayah.
"Setelah mendengar ini papi harap kau tidak keberatan atau menolaknya, Clare."
Kensky hanya tersenyum.
Clare yang semakin penasaran terus bertanya kepada mereka dengan kedua alis terangkat untuk menunggu penjelasan.
"Kami telah menjodohkanmu dengan seseorang," kata Dean.
Clare terkejut "Dijodohkan?" Mulutnya terbuka lebar, "Oh, Papi ... mengapa harus dijodohkan? Memangnya Papi pikir tidak akan ada laki-laki yang mau padaku, hah? Anakmu ini cantik, Pi. Tidak perlu dijodohkan pun aku pasti akan laku. Lihat, aku ini perpaduan dari kalian berdua. Rambutku indah seperti rambut Mami, mataku juga indah seperti mata Papi. Apa yang kurang, hah? Tubuhku tinggi seperti Papi dan seksi seperti Mami."
Dean menggeleng kepala dan tertawa.
Kensky ikut tertawa dan berkomentar. "Bukan begitu, Sayang. Kamu jangan salah paham, ya? Kami menjodohkanmu bukan berarti dirimu tidak akan laku. Perjodohan ini sudah terjadi sejak pesta pernikahan kami berlangsung dan jauh sebelum kau hadir di perut mami."
Mulut Clare terbuka lebar karena kaget. "Aku sudah dijodohkan bahkan sejak aku belum hadir di perut Mami?"
Dean yang melihat ekspresi anaknya ikut tertawa.
Kensky menjelaskan. "Saat pernikahan pesta kami di adakan, salah satu teman papi datang bersama istri dan anaknya yang masih sangat kecil. Usia kalian hanya selisih satu tahun, dan mami sendiri yang langsung memutuskan untuk menjodohkan anak itu dengan anak kami jika nanti mami melahirkan anak perempuan."
Clare tertawa. "Untung Tuhan mendengarkan doa Mami. Coba kalau tidak, pasti anak Mami dan Papi laki-laki dan perjodohan itu tidak akan terjadi."
Kensky tersenyum sambil melirik suaminya yang juga tersenyum. "Anak itu sangat tampan, Sayang. Dia anak pengusaha kaya, sama seperti papi. Hanya saja sekarang ini mereka semua ada di Amerika."
Clare terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata. "Aku percaya kepada kalian. Apa yang sudah kalian putuskan itu berarti hal yang terbaik buatku. Jika menurut Mami dan Papi laki-laki itu yang terbaik buatku, aku akan menerima perjodohan ini."
Kensky dan Dean terkejut dan bahagia. Saking bahagianya mereka saling bertatapan dengan senyum yang sangat lebar.
"Tapi dengan satu syarat," balas Clare cepat.
Ekspresi Dean dan Kensky langsung berubah.
"Kau ingin bernegosiasi dengan papi?" tanya Dean denyan nada meledek.
Clare tertawa. Ia merasa lucu saat melihat ekspresi di wajah kedua orangtuanya yang kini berubah kusut. "Bukan, Papi. Kalau pun aku ingin bernegosiasi yang ada aku akan kalah dari Papi."
Dean tersenyum. "Kalau begitu apa? Katakan, apa syaratnya?"
Clare tersenyum sambil menatap Dean dan Kensky secara bergantian. "Aku ingin dijodohkan dengannya, tapi aku ingin bertemu dengannya setelah lulus kuliah. Aku tidak ingin melihatnya sekarang, karena aku tidak ingin hal itu mengganggu pikiran dan sekolahku."
Kensky meledek. "Anak mami takut jatuh cinta, ya?"
Wajah Clare lagi-lagi memerah. Ia tak sanggup menjawab akibat rasa malu yang menyerangnya.
"Tidak masalah," jawab Dean, "Lagi pula memang itu yang kami inginkan. Papi dan mami sudah membicarakan hal itu dengan keluarganya; kami akan mempertemukan kalian setelah kau lulus kuliah nanti."
Clare tersenyum sayang. "Aku percaya pada Mami dan Papi, kalian adalah orang tua yang paling baik yang pernah kutemui."
Kensky memeluknya. "Kami sangat mencintaimu, Nak. Sebagai orang tua kami ingin yang terbaik untukmu."
"Aku percaya, Mami. Aku percaya," balas Clare.
"Kalau begitu pembicaraan selesai," kata Dean, "Hanya itu yang ingin kami sampaikan."
Clare berdiri dan mencium pipi kedua orangtuanya. "Aku juga harus istirahat, besok hari pertama orientasi studi dan pengenalan kampus. Aku tidak boleh terlambat, selamat malam."
"Malam, Sayang," balas Kensky. Ia dan Dean masih di posisi yang sama sambil mengungkapkan tubuh Clare ketika gadis itu menaiki tangga, "Oh, Dean, aku sangat senang."
Dean mendekati sang istri lalu memeluknya dengan erat. "Besok aku akan menelepon Alex dan memberitahukan kabar baik ini."
Setelah menikah Kensky dan Dean sudah pindah ke Eropa. Karena Mrs. Stewart, nenek Kensky sekaligus ibu angkatnya Dean ingin menikmati sisa umur di tanah kelahirannya, mereka memutuskan untuk pindah ke Eropa. Perusahaan mereka yang ada di Amerika saat ini di bawah naungan Eduardus, ayah Kensky. Tak ingin mertuanya melakukan apa saja yang berdampak pada kerugian, Dean menyuruh orang untuk mengawasinya. Saat ini meskipun ada tangan kanan yang menjadi wakil pimpinan di kedua perusahaannya di Amerika dan Eropa, Dean tetaplah CEO dan menjadi pewaris tunggal di perusahan itu.
***
Keesokan hari Clare berlari dengan napas terengah-engah di pagi hari. Karena lupa memasang alarm sebelum tidur ia akhirnya terlambat ke kampus dan orang terakhir yang muncul di saat semua mahasiswa baru sedang menerima penyampaian dari kakak tingkat.
Tanpa merasa bersalah Clare segera bergabung dengan tim-nya. Tapi saat ia hendak menuju ke dalam barisan yang sedang berdiri dengan kostum masing-masing, tiba-tiba suara laki-laki dengan keras meneriakinya.
"Hei, kamu! Siapa yang menyuruhmu masuk, hah?"
Teriakan laki-laki itu mengundang semua mata untuk menatap gadis cantik bertubuh tinggi yang ada di samping mereka.
Clare terperanjat. Dengan jantung berdetak cepat ia menatap sosok yang berdiri di depan dengan pakaian putih dipadu almamater abu-abu.
"Kemari kau!"
Semua mata mengikuti langkah Clare. Ada yang menatap kaget karena takut, ada juga yang menatap iri karena kecantikannya. Meski memakai kaos kaki dua warna dan rambut dua warna serta tali yang menjuntai di dada, Clare tetap terlihat cantik dan menarik.
"Siapa yang menyuruhmu masuk ke barisan, hah?" ketus laki-laki yang merupakan wakil panita dari kegiatan tersebut. Ia melihat sosok tinggi di sampingnya, "Ketua, kita apakan gadis ini? Sepertinya dia tidak tahu diri, sudah terlambat tapi tidak merasa bersalah."
Wajah Clare pucat. Ia menatap ke arah pria berambut cokelat yang merupakan ketua dari kegiatan tersebut.
"Suruh bersihkan toilet saja, Ketua!" kata gadis yang merupakan sekertaris kegiatan. Ia berdiri di samping wakil ketua dan melihat Clare dengan pandangan tidak suka.
Laki-laki yang merupakan ketua itu tersenyum sambil menatap Clare. "Siapa namamu, Nona?"
Karena nama sekolahnya adalah Agatha Clare dengan cepat menyebutkan nama sambil menatap pria itu. "Namaku Agatha."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. "Kenalkan, namaku Reagan Harvest. Kau tidak usah memanggilku ketua, kau panggil saja aku Reagan."
Semua mahasiswa senior itu bersorak seolah meledek. Tapi Clare sama sekali tidak membalas uluran tangan Reagan dan tidak peduli dengan ledekan mereka.
Bersambung___
Reagan tersenyum samar. Karena cukup lama tangannya melayang di udara tapi diabaikan, ia kembali menarik perhatian lalu berdeham. Ini pertama kali dia dibaikan oleh seorang perempuan. Jika biasanya para mahasiswi akan berbondong-bondong bertemu dengan mahasiswa yang paling top di universitas itu Clare justru mengabaikannya. "Kurangajar sekali kau. Ketua ingin berkenalan kau malah mengabaikan," kata wakil ketua yang bernama panggilan Luke. Clare sama sekali tidak merasa takut. Ia terus berdiri dan menatap wajah mereka dengan santa
"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Ansley kepada Clare. "Aku mau ke kantin, perutku lapar." Ansley tersenyum lagi. "Aku bawakan makanan dan minuman untukmu," ia menunjukan sebuah kantong palstik yang berisi paper bag dan minuman cup rasa cokelat, "Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu, makanan ini bukan aku yang membelinya." Clare terkejut. "Kalau bukan kau lalu siapa?" "Ketua," jawab Ansley sambil tersenyum lebar, "Dia menemuiku tadi dan menyuruhku untuk memberikan ini kepadamu. Sepertinya dia menyukaimu, Clare." Clare menatap ragu. "Dari mana dia tahu kau mengenaliku?" "Aku yang mengatakannya. Sebenarnya dia ingin memberikan ini secara langsung padamu, tapi takut kau akan menolaknya," ia memberikan bungkusan itu kepada Clare, "Makanlah. Kau sudah lapar, kan?" "Tidak, aku tidak mau." Ansley terkejut. "Kenapa?" "Jika aku menerima makanan ini itu artinya aku memberikan lampu hijau kepadanya. Aku tidak mau mem
Ting! Bunyi notifikasi dari ponsel Willy mengejutkan Reagan. Dengan cepat ia menoleh dan menatap pria itu. Willy yang juga sadar akan segera melihat ponselnya lalu berkata, "Uangnya sudah masuk, Tuan." "Bagus, mana kartumu?" Dengan sigap Willy meraih dompet dari saku celana kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dan memberikannya kepada Reagan. "Ini, Tuan."
Reagan mengendus. "Aku tidak peduli, Milly. Suka atau tidak suka yang pasti aku sudah mendapatkan perempuan yang cocok denganku." "Reagan, kau mabuk cinta. Bisa saja sekarang kau merasa bahwa dia yang terbaik, tapi bisa jadi nanti kau akan merasa bosan dan menyesal karena sudah mencintainya." Reagan diam sesaat, apa yang dikatakan kakaknya benar. Saat ini ia hanya sedang mabuk, mabuk cinta terhadap gadis bernama Agatha. "Lalu menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Reagan pelan.
Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku." Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian. Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru. Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?" "Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi." Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya." Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare. "Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang mel
Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley. Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka. "Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke. "Clare, kamu di mana?" pekik Ansley. Klik! Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala. "Aku di sini!" Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?" Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
Dengan ekspresi serius Clare sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan bersama beberapa mahasiswi yang seangkatan dengannya. Namun bukannya duduk bersama, Clare mengambil posisi di pojok ruangan untuk menyendiri. Bukannya tidak ingin bergaul, tapi menyendiri dan fokus belajar membuat Clare merasa nyaman. Baginya Ansley sudah cukup untuk menjadi sahabat sekaligus saudaranya di universiras tersebut. Bagi Clare satu teman yang sangat bermanfaat jauh lebih baik, daripada banyak tapi berteman hanya karena memanfaatkannya. "Clare!" Suara Ansley mengejutkannya. Dengan senyum manis ia menutup laptop kemudian menyapa wanita itu. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang bahagia?" tanya Clare. Ansley menarik kursi yang ada di samping Clare. "Kau sudah selesai?" Mengingat di ruangan itu hampir semua penghuni adalah mahasiswa baru, Ansley mengedarkan pandangan lalu berkata, "Untuk para mahasiswa baru, lima belas menit lagi kalian harus berkumpul di lapangan, ada hal penting y
Dengan penuh percaya diri Reagan maju ke depan sambil tersenyum samar. Rambutnya yang berwarna cokelat tampak mengembang akibat tiupan angin yang sebentar lagi akan menyambut musim dingin. "Halo, Semua. Apa kalian baik-baik saja?" sapa Reagan dengan senyum melebar. "Baik, Ketua!" sahut mereka semua. Ansley dan Luke yang sedang berdiri di belakangnya menahan tawa mendengar kekonyolan sahabat mereka. "Sepertinya dia sedang gugup," kata Luke. Ansley menatap ke arah Clare. "Sepertinya begitu. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gugup." "Jadi, begini," lanjut Reagan seraya menatap semua wajah-wajah yang tampak penasaran menanti penjelasannya, "Karena hari ini adalah aktivitas terakhir kita dalam kegiatan ini, besok kita akan melaksanakan game sekaligus acara puncak dan pengumpulan tugas yang saya berikan tadi. Setelah__ kami para panitia telah mendiskusikan hal ini kemarin__ memutuskan untuk melaksanakan acara tersebut di sebuah vila."