Ting!
Bunyi notifikasi dari ponsel Willy mengejutkan Reagan. Dengan cepat ia menoleh dan menatap pria itu.
Willy yang juga sadar akan segera melihat ponselnya lalu berkata, "Uangnya sudah masuk, Tuan."
"Bagus, mana kartumu?"
Dengan sigap Willy meraih dompet dari saku celana kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dan memberikannya kepada Reagan. "Ini, Tuan."
Reagan tersenyum lebar. Dengan gerakan cepat ia langsung meraih kartu itu kemudian kembali ke meja kasir. "Nona, aku ingin membayar ponsel yang tadi," kata Reagan seraya memberikan kartu hitam itu kepadanya.
"Baik."
Dengan senyum penuh kemenangan Reagan mengalihkan pandangan dan berkata dalam hati, "Maafkan aku, Daddy. Tapi sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menikah dengan gadis pilihanmu."
"Silahkan masukan pinnya," kata si kasir.
Willy segera maju dan menekan angka di atas mesin transaksi, sedangkan Reagan yang melihat mereka kini tersenyum penuh kemenangan.
"Baik, terima kasih," kata si kasir sambil memberikan kantong kertas berwarna putih kepada Reagan.
Reagan tak menjawab, ia segera merogoh benda itu dari dalam paper bag dan mengembalikan paper bag itu kepada Willy.
"Tuan, setelah ini kita akan ke mana?" tanya Willy. Saat ini ia mengekor dan berjalan di belakang Reagan menuju ke tempat parkiran.
"Kita kembali, aku hanya membutuhkan ini."
"Baik, Tuan."
Dengan cepat Willy memastikan Reagan dan membukakan pintu untuk sang tuan muda.
Reagan yang sudah senang karena tujuannya sudah selesai kini merogoh sesuatu berupa chip dari saku celana kemudian dipasangkan ke dalam ponsel baru. Setelah mengaktifkan ponsel itu senyumnya pun melebar. "Willy, aku minta nomor Milly dan mommy."
"Baik, Tuan."
Dilihatnya pria itu sedang merogoh ponsel dari saku celana kemudian memberikan kepadanya.
"Nama mereka ditulis nyonya besar dan nyonya muda, Tuan," kata Willy.
Tanpa menjawab perkataan sang supir Reagan segera mencari nama mereka kemudian menyalin ke ponsel barunya. Setelah selesai ia pun mengembalikan ponsel itu kepada Willy dan berterima kasih.
Willy yang tahu sang atasan sudah selesai segera menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan tempat area parkiran.
Sambil menatap keluar jendela Reagan menempelkan ponselnya ke telinga.
Zet!
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah___"
Tut! Tut!
Reagan memutuskan panggilan dengan kesal. "Kak Milly sedang apa, kenapa ponselnya tidak aktif?"
Reagan mencoba lagi, tapi hasilnya sama.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah___"
Tut! Tut!
karena kontak yang dihubungi tidak bisa terhubung ia mencoba kontak lain yang ternyata adalah kontak sang ibu. Reagan menatap layar dan melihat deret huruf yang tertulis nama ibu. Ia pun hendak menekan radial, tapi tiba-tiba ingatannya terganggu. "Kalau aku hubungi mommy sekarang yang ada daddy pasti akan mendengar pembicaraan kami. Apa sebaiknya besok saja, ya?" katanya pelan, "Oke, besok saja. Willy?"
"Iya, Tuan?"
"Besok ingatkan aku untuk menghubungi mommy sebelum ke kampus. Tapi pastikan kau mengingatkannya di jam kantor daddy, ya? Aku tidak mau daddy tahu aku bicara dengan mommy."
"Baik, Tuan. Tapi kalau nyonya bertanya kepada tuan besar, bagaimana?"
"Tidak, aku akan membujuk mommy untuk tidak mengatakannya.
"Baik, nanti akan kuingatkan."
***
Bunyi alarm dari nakas membuat Clare terbangun. Dengan tubuh malas dan mata terpejam ia meraih benda itu dan mematikan suaranya. Karena tahu waktunya sudah pagi ia segera bangun dan bersiap-siap.
Clare tidak mau lagi kena hukuman seperti kemarin. Akibat hukuman yang diberikan Reagan kakinya sakit dan sedikit sulit digerakan. Tapi mengingat dirinya adalah mahasiswi baru dan anak dari pemilik kampus itu, Clare tetap bangun meski kakinya sedang sakit.
Drttt... Drttt...
Bunyi getaran ponsel mengejutkannya. Dilihatnya nama Ansley sebagai pemanggil di layar ponsel. "Tumben dia meneleponku pagi-pagi begini?" tanpa berlama-lama lagi ia segera menekan tombol hijau untuk menghubungkan panggilan, "Halo?" sapa Clare kemudian menguap karena rasa kantuk.
"Kau sudah bangun? Aku pikir kau belum bangun."
Clare melirik jam dinding yang menunjukan pukul setengah enam. "Aku baru saja bangun. Aku sudah memasang alarm biar tidak terlambat lagi seperti kemarin."
Tawa Ansley terdengar. "Aku rasa mungkin gadis-gadis lain akan sengaja membuat mereka terlambat, biar mendapat hukuman dari Reagan."
"Tidak bagiku, Ans. Apalagi karena dia kakiku sakit sekali pagi ini. Kakiku sulit digerakan, tapi aku harus berusaha dan ke kampus hari ini."
"Gadis yang baik," kata Ansley, "Kalau begitu bersiaplah, jam tujuh lebih sedikit ada kegiatan di lapangan. Kau harus hadir, ya?"
"Tentu saja, tapi kau belum mengatakan apa tujuanmu meneleponku."
Ansley tertawa. "Aku menelepon hanya untuk membangunkanmu, Clare."
Clare balas tertawa. "Kau ini, tapi terima kasih. Aku siap-siap dulu, sampai ketemu di kampus."
Tut! Tut!
Di sisi lain.
Reagan yang sudah wangi dan rapi kini tampak bahagia akibat pikiran yang terus melayang sejak kemarin. Jika biasanya ia paling malas bangun pagi meski harus kuliah, sekarang tanpa alarm pun dirinya sudah siap dan penuh semangat untuk menjalani hari.
"Tumben Tuan sudah bangun," kata Willy begitu melihat pria tinggi dan tampan keluar dari apartemen.
"Aku sedang bahagia, Willy. Ayo, aku ingin ke kedai Bebbi, aku ingin sarapan di sana sebelum ke kampus."
Sang supir mengungkapkan bingung. Tapi karena perintah yang dilayangkan sang majikan sudah berlalu beberapa detik yang lalu, ia segera berlari ke mobil untuk membuka pintu di bagian belakang.
Reagan masuk. Dan saat tubuhnya sudah duduk dengan nyaman, saat itulah ponselnya bergetar.
Drttt... Drttt...
Dengan cepat Reagan meraih benda itu dari dalam ransel. Dilihatnya nama Emelly sebagai pemanggil. "Halo, Milly?" sapanya pelan.
"Reagan! Kau sudah bangun? Tumben jam begini kau sudah bangun."
Laki-laki itu berdecak. "Kalau bukan karena kau menelepon, mungkin aku belum bangun. Kau membangunkan tidurku, Milly."
"Dasar kau! Ngomong-ngomong kenapa kau meneleponku semalam? Aku baru saja menghidupkan ponsel dan baru sempat melihat pesan yang kau kirim semalam."
Mata Reagan menghadap ke luar jendela. "Apa daddy masih sering membahas soal perjodohanku?"
"Iya, kenapa?"
"Sebenarnya aku tidak ingin dijodohkan. Aku ingin menikah dengan perempuan yang aku cintai, Milly. Bukan perempuan yang tidak kukenali."
"Kau gila, ya? sejak awal kau sudah setuju dengan perjodohan itu lalu kenapa sekarang pikiranmu tiba-tiba berubah?"
Reagan tersenyum samar. "Aku sedang jatuh cinta, Milly. Jatuh cinta pada wanita lain."
"Apa?!"
Perkataan Reagan membuat Milly dan Willy kaget. Pria itu menatap Reagan dari kaca spion dengan terkejut. Meski hanya supir, tapi Willy sudah tahu soal perjodohan itu.
"Aku sudah punya perempuan yang ingin kunikahi, Milly."
Milly tertawa. "Seorang laki-laki dingin sepertimu bisa jatuh cinta? Apa aku tidak salah dengar, hah?"
Wajah Reagan berubah garang. "Jadi kau meremehkanku?"
"Reagan, Reagan. Kau itu adikku, aku paling tahu siapa kau. Apalagi soal perempuan ... pasti kau belum mengungkapkan perasaanmu kepadanya, kan?"
Wajah Reagan merah karena malu. "Kau benar, aku belum mengutarakan perasaanku. Tapi dia sudah menerima hadiah dariku, Milly."
"Hadiah? Kau telah memberikannya hadiah?"
"Iya."
"Bisa aku tahu hadiah apa yang kau berikan kepadanya sampai dia mau menerima hadiah itu?"
"Dua buah burger dan satu cup minuman cokelat."
Zet!
Tawa Milly terdengar jelas dari balik telepon. Sedangkan Willy yang ikut tertawa tanpa bersuara.
"Kau mendapat ide dari mana, hah? Terus siapa yang memberitahumu kalau makanan adalah sesuatu yang spesial untuk diberikan kepada perempuan?"
Reagan mengingat. "Kemarin dia terlambat dan aku menghukumnya. Aku menyuruh dia mengelilingi universitas sebanyak seratus kali. Jadi karena dia tanpa protes melakukan apa yang kuperintahkan, aku menghadiahkan dia burger dan minuman cokelat kesukaannya."
Lagi-lagi tawa Milly terdengar. "Reagan, Reagan, sebaiknya kau buang jauh-jauh perasaanmu itu. Ingat, kau sudah dijodohkan dan kau tidak boleh menikah dengan perempuan lain selain wanita itu."
Bersambung___
Reagan mengendus. "Aku tidak peduli, Milly. Suka atau tidak suka yang pasti aku sudah mendapatkan perempuan yang cocok denganku." "Reagan, kau mabuk cinta. Bisa saja sekarang kau merasa bahwa dia yang terbaik, tapi bisa jadi nanti kau akan merasa bosan dan menyesal karena sudah mencintainya." Reagan diam sesaat, apa yang dikatakan kakaknya benar. Saat ini ia hanya sedang mabuk, mabuk cinta terhadap gadis bernama Agatha. "Lalu menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Reagan pelan.
Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku." Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian. Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru. Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?" "Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi." Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya." Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare. "Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang mel
Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley. Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka. "Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke. "Clare, kamu di mana?" pekik Ansley. Klik! Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala. "Aku di sini!" Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?" Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
Dengan ekspresi serius Clare sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan bersama beberapa mahasiswi yang seangkatan dengannya. Namun bukannya duduk bersama, Clare mengambil posisi di pojok ruangan untuk menyendiri. Bukannya tidak ingin bergaul, tapi menyendiri dan fokus belajar membuat Clare merasa nyaman. Baginya Ansley sudah cukup untuk menjadi sahabat sekaligus saudaranya di universiras tersebut. Bagi Clare satu teman yang sangat bermanfaat jauh lebih baik, daripada banyak tapi berteman hanya karena memanfaatkannya. "Clare!" Suara Ansley mengejutkannya. Dengan senyum manis ia menutup laptop kemudian menyapa wanita itu. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang bahagia?" tanya Clare. Ansley menarik kursi yang ada di samping Clare. "Kau sudah selesai?" Mengingat di ruangan itu hampir semua penghuni adalah mahasiswa baru, Ansley mengedarkan pandangan lalu berkata, "Untuk para mahasiswa baru, lima belas menit lagi kalian harus berkumpul di lapangan, ada hal penting y
Dengan penuh percaya diri Reagan maju ke depan sambil tersenyum samar. Rambutnya yang berwarna cokelat tampak mengembang akibat tiupan angin yang sebentar lagi akan menyambut musim dingin. "Halo, Semua. Apa kalian baik-baik saja?" sapa Reagan dengan senyum melebar. "Baik, Ketua!" sahut mereka semua. Ansley dan Luke yang sedang berdiri di belakangnya menahan tawa mendengar kekonyolan sahabat mereka. "Sepertinya dia sedang gugup," kata Luke. Ansley menatap ke arah Clare. "Sepertinya begitu. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gugup." "Jadi, begini," lanjut Reagan seraya menatap semua wajah-wajah yang tampak penasaran menanti penjelasannya, "Karena hari ini adalah aktivitas terakhir kita dalam kegiatan ini, besok kita akan melaksanakan game sekaligus acara puncak dan pengumpulan tugas yang saya berikan tadi. Setelah__ kami para panitia telah mendiskusikan hal ini kemarin__ memutuskan untuk melaksanakan acara tersebut di sebuah vila."
"Kalau diskors mungkin aku percaya, tapi kalau sampai dikeluarkan aku rasa itu tidak mungkin."Ansley menelan habis isi gelasnya sebagai alasan untuk memikirkan apa yang tepat untuk jawaban dari perkataannya sendiri. Tidak mungkin jika dia harus mengakui bahwa ayah Clare-lah pemilik kampus itu. Apalagi Clare sendiri telah melarangnya untuk tidak membongkar informasi tersebut kepada siapapun.Setelah isi gelasnya habis Ansley membersihkan mulutnya dengan tisu lalu berkata, "Kan kau tahu sendiri Reagan adalah anak dari salah satu investor terbesar di kampus ini. Sekali saja keluhan yang dikatakan Reagan rektor pasti akan segera bertindak. Apalagi kesalahan yang dilakukan Chloe bukan hal biasa, tapi dia telah mengunci gadis yang disukai Reagan.""Kau benar, berarti sebentar lagi perang akan segera dimulai.""Perang, maksudmu?"Luke menatap Ansley. "Chloe sangat mencintai Reagan dan dia tidak akan pernah mengijinkan satu pun gadis di kampus ini yang bo
"Memangnya kenapa? Dia hanya mahasiswi biasa yang masih baru di kampus ini, Ans," kata Chloe dengan nada meremehkan. Luke dan Reagan hanya menggeleng kepala melihat sikap Chloe yang begitu sombong. "Dia memang mahasiswi baru di kampus ini, tapi kau sendiri yang melihat bagaimana emosi rektor saat tahu kau menguncinya di dalam toilet?" "Apa jangan-jangan dia juga anak salah satu investor di kampus ini?" tanya Luke, "Investor kampus ini kan banyak." Reagan terkejut dan menatap Ansley. "Apa itu benar?" Gadis itu menelan ludah. Seandainya Clare tidak memperingatkannya mungkin saat ini dengan bangga ia akan membuka latar belakang Clare yang sebenarnya kepada mereka agar Chloe tidak meremehkannya lagi. Tapi karena sahabatnya itu sudah memperingatkannya Ansley pun terpaksa memendam informasi itu sampai batas kemampuannya. "Aku tidak tahu, sumpah. Tapi coba kalian pikir secara logika, mana mungkin kalau dia hanya orang biasa rektor akan marah-
Soraya tersenyum lebar. "Aku baik-baik saja, aku hanya sedang mengingat nama kerabat saya. Awalnya aku pikir nama orangtuamu sama dengan nama kerabatku yang kebetulan tinggal di sini juga tapi ternyata tidak. Nama belakang kalian memang sama, tapi nama depannya bukan. Maaf, tadi aku cukup kaget mendengar nama belakangmu yang kebetulan sama dengannya.""Oh," balas Clare.Soraya berpamitan. "Baiklah, aku harus pergi. Sampai nanti.""Iya. Hati-hati, Nyonya.""Terima kasih."Clare pun melanjutkan kembali aktivitasnya untuk membersihkan mobil.Soraya dengan cepat berjalan ke depan kampus untuk mencari taksi. Tak menunggu lama taksi pun melintas dan Soraya menaikinya."Selamat sore, Bu. Mau ke mana?" tanya si supir dengan nada sopan.Soraya marah. "Aku belum ibu ya, Pak! Panggil saja nyonya. Jalan saja, nanti kalau sudah di depan aku akan mengatakannya."Si supir merasa bersalah. "Baik, Nyonya."Dengan tergesa-gesa Sora