Share

Bab. 7

Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley.

Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka.

"Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke.

"Clare, kamu di mana?" pekik Ansley.

Klik!

Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala.

"Aku di sini!"

Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?"

Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."

"Sepertinya ada yang sengaja menguncimu di dalam," tanggapan Reagan mengundang mata Clare dan Ansley untuk melihatnya, "Sakelar lampunya sengaja dipadamkan, mungkin ada orang yang memang sengaja ingin mengerjaimu," kata Reagan.

Pikiran Clare tertuju kepada Chloe. "Aku tahu siapa orangnya," katanya pelan.

Ansley terkejut. "Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan temanmu," bisik Clare. Tak ingin dirinya semakin terancam karena adanya Reagan di situ, ia segera merapikan rambut lalu berkata, "Aku harus ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas. Terima kasih banyak atas bantuan kalian."

Ansley hendak menahannya, tapi Clare segera berjalan dan meninggalkan tempat itu.

Luke kesal. "Temanmu itu tidak tahu terima kasih, sudah ditolong malah pergi begitu saja."

"Kau tuli?" kata Reagan dengan wajah garang, "Dia tadi sudah berterima kasih."

Ansley mendekati kedua pria itu dan mengajak mereka keluar. Begitu tubuh mereka tiba di depan pintu utama masuk toilet ia menjawab dengan suara pelan, "Dia hanya menghindar agar tidak ada lagi masalah susulan."

Alis Reagan berkerut. "Maksudmu?"

"Sepertinya ada yang cemburu jika kau dekat-dekat dengannya. Tak mungkin orang itu mencelakaimu, dia melakukan hal ini kepada Clare untuk melampiaskan rasa sakit hatinya."

Mata Reagan menyipit. Ia tahu siapa yang melakukannya dan tampak marah saat membayangkan siapa sosok tersebut. Tanpa berkata apa-apa Reagan pun segera bergerak meninggalkan Ansley dan Luke.

"Hei, kau mau ke mana?" teriak Luke.

"Kalian tunggu di kelas, aku akan kembali," balas Reagan.

Ansley dan Luke hanya bisa menatap tubuh tinggi Reagan yang menghilang di balik tembok koridor.

"Apa menurutmu Regan tahu siapa pelakunya?" tanya Luke kepada Ansley, "Reagan pasti akan mencari orang itu dan memberinya pelajaran."

"Aku saja bisa langsung tahu siapa pelakunya, apalagi Reagan. Ayo, kita ke kelas. Takutnya Reagan sudah ke sana, tapi kita tidak ada.

"Baiklah, ayo."

Di sisi lain.

Dalam sebuah rumah yang besar dan mewah wanita yang bernama Ellena sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Kakinya mulus yang saling bertumpang itu ditutupi gaun panjang berwarna creame. Ibu tiga anak itu masih sangat cantik meski usianya tak muda lagi.

"Halo, Sayang!"

Suara Alex mengejutkan istrinya. Ia mendongak menatap sang suami lalu melepaskan majalah dan kacamata. Alisnya berkerut-kerut tanda penasaran. "Ada apa? Sepertinya kau sedang bahagia, Sayang."

"Tentu saja," jawab Alex kemudian mengambil posisi di samping istrinya, "Aku punya kabar baik, ini tentang anak kita Levon."

"Oh, iya? Kabar apa?"

Alex menarik napas sebelum memulai. "Tadi aku menghubungi Dean dan membahas perjodohan anak kita. Kata Dean putrinya sudah setuju, hanya saja gadis itu belum mau bertemu Levon sampai kuliahnya selesai. Dia baru saja masuk kuliah, jadi itu artinya anak kita harus menunggu berapa tahun lagi baru bisa bertemu dengannya."

"Itu keputusan yang bijaksana, lagi pula saat ini Levon juga masih kuliah. Tapi, apa kau yakin anak kita mau menunggu selama itu?"

"Aku rasa dia mau. Lagi pula biarkan dia bebas sebelum menikah. Jadi, aku rasa ini keputusan yang bagus jika mereka memang harus menunggu beberapa tahun lagi sebelum bertemu. Meski sebenarnya mungkin mereka setiap hari sudah saling bertemu dan bertatap muka."

"Maksudmu?"

"Clare kuliah di universitas mereka. Itu artinya mereka kuliah di kampus yang sama, Sayang. Bukankah ini kabar gembira?"

Ekspresi Ellena berubah cemerlang. "Ini kabar baik, Alex. Tapi bagaimana kalau mereka tidak bertemu? Apa sebaiknya aku harus memberitahu Levon, agar___"

"Jangan, Sayang," sergah Alex, "Dean memintaku untuk tidak membocorkan hal itu kepadanya. Biarkan saja dulu seperti ini sampai waktunya tiba di mana mereka akan bertemu dan tahu bahwa mereka adalah calon pasangan suami-istri."

"Aku ragu, Sayang."

"Ragu kenapa?"

"Setidaknya kalau Levon tahu calon istrinya ada di satu kampus yang sama, dia pasti tidak akan melirik gadis lain."

Alex merangkul istrinya. "Kau tenang saja, putra kita tidak akan lupa dengan janjiannya."

Ellena pun tersenyum dan melingkarkan kedua tangan di perut suaminya. "Aku sangat bahagia, Sayang. Sebentar lagi anak bungsu kita akan segera menikah."

Alex tak menjawab. Ia hanya tersenyum kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Ellena.

***

Drttt... Drttt...

Bunyi getaran ponsel dari saku celana mengejutkan Mr. Harvest. Perlahan ia melepaskan sebelah tangannya dari tubuh sang istri untuk merogoh benda itu. Dilihatnya nama Reagan sebagai pemanggil.

"Siapa?" tanya Mrs. Harvest.

"Reagan."

Wanita itu tersenyum. "Tumben, mungkin ada hal penting. Tidak biasanya dia menghubungi kita di jam seperti ini."

Dengan cepat Mr. Harvest menekan tombol hijau untuk menyambungkan panggilan. "Ada apa?" ia terus menyimak apa yang dijelaskan anaknya, "Baiklah. Kalau begitu besok daddy akan menghubungi Dimitry untuk mengurusnya."

"Sungguh? Oh, terima kasih. I love you, Daddy."

Tut! Tut!

Alis Mr. Harvest bekerut-kerut sambil menatap layar ponsel yang kini menunjukkan fotonya bersama sang istri.

"Ada apa?" tanya Mrs. Harvest penasaran.

Mr. Harvest menatapnya. "Dia bilang i love you padaku. Bukankah itu aneh?"

Mrs. Harvest tertawa. "Aneh, bagaimana? Dia kan anakmu."

"Iya, tapi kan tidak biasanya."

"Mungkin dia sedang bahagia. Apa kau telah mengambulkan permintaannya?"

Lelaki itu tersenyum. "Dia hanya ingin menggunakan vila untuk acara kampusnya."

Mrs. Harvest terkejut. "Dia bilang begitu?"

"Iya. Karena dia sebagai ketua panitia dan besok adalah acara puncak mereka, dia ingin mengadakan acara itu di vila kita."

Mrs. Harvest mengalihkan pandangan ke arah lain. "Kalau anak kita tampak sebahagia itu pasti ada sesuatu yang membuatnya menarik, Sayang."

"Maksudmu?" tanya Mr. Harvest.

"Aku rasa ada hal yang lebih menarik dari acara itu. Aku sangat tahu Reagan, acara itu hanya khiasan saja dan yang utama baginya bukan acara itu."

Mr. Harvest membuang napas panjang. "Itu wajar kalau dia bahagia, kan dia akan menghabiskan waktu bersama teman-temannya."

"Justru itu, Sayang. Coba kau pikir kenapa dia sampai sebahagia itu ketika kau mengijinkannya menggunakan vila?" tanya Mrs. Harvest.

Mr. Harvest tampak berpikir. "Aku rasa itu hal yang wajar saja. Bukan begitu?"

Wanita itu menggeleng. "Aku rasa ada sesuatu yang menarik perhatian Reagan daripada acara itu dan kemungkinan hal itu adalah perasaan. Aku curiga Reagan sudah jatuh cinta kepada teman kampusnya, Sayang. Ingat, anak kita siswa tampan dan populer di kampus itu dan tidak sedikit gadis-gadis yang pasti ingin mendekatinya. Apalagi mungkin para mahasiswi baru itu cantik-cantik. Kita memang tidak melihat, tapi dari ucapan dan luapan yang Reagan ungkapkan tadi itu sudah cukup membuatku berpikir. Itu aneh, Sayang."

Ekspresi Mr. Harvest berubah datar. "Baiklah, besok aku akan menyuruh Dimitry untuk menyelidikinya. Dia tidak boleh berkencan dengan perempuan lain, dirinya sudah disiapkan untuk seseorang."

Bersambung___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status