Share

Surat-surat Berharga

Part 3 Surat-surat Berharga

"Ikut, Mas." Mas Umair menggandeng tanganku. Mengajakku keluar kamar dan menemui mama yang sedang bersantai di depan televisi.

"Ma, boleh aku minta waktunya ?" tanya mas Umair pada mama yang tak mengalihkan pandangannya pada televisi. 

"Apa?" jawabnya ketus.

"Sebenarnya aku dapat bonus voucher makan malam di restoran Bintang dari pihak WO tadi, Mama mau? Karena aku gak terbiasa makan di restoran seperti itu," ujar suamiku yang membuat mama sedetik kemudian menoleh karahnya.

"Restoran Bintang?" sahut Santi, anak bungsu di rumah ini. Tepatnya adik tiriku. "Itu 'kan restoran mahal Ma," katanya lagi.

"Jangan bercanda kamu," ucap mama seraya memindah chanel televisi.

"Enggak, Ma."

"Untuk berapa orang?" tanya mbak Sinta.

"Sekeluarga Mbak. Kalau mama mau, nanti mas Umair konfirmasi lagi kedatangannya, tapi mas Umair dan aku gak ikut. Mas Umair gak mau bikin malu karena belum pernah makan di restoran. Sementara kami akan mencari makan di sekitar sini saja," jelasku yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh mas Umair.

"Sadar diri juga ternyata kamu, ya," sahut mas Bima yang sibuk menatap benda pipihnya. Membuatku harus menambah kesabaran.

"Yaudah, konfirmasi ulang. Vouchernya kita ambil. Dan keputusanmu gak ikut, itu bagus untuk kami," kata mbak Sinta membuatku menelan ludahku sendiri.

"Yaudah, ayo siap-siap," ajak mama beranjak dari duduknya dan berlalu begitu saja.

Aku dan mas Umair saling pandang dan tersenyum. Rencana pertama berhasil. Setidaknya kami bisa lebih leluasa untuk membobol kamar mama. Entah bagaimana caranya nanti.

Mama dan yang lainnya sudah pergi. Mas Umair sendiri juga sudah menelpon pihak restoran untuk memberikan pelayanan VIP untuk mereka. Dan pembayaran sudah dilunasi melalui m-banking milik mas Umair. Karena sebenarnya tak ada bonus voucher dari pihak WO. Itu semua hanya karangan mas Umair. 

"Mas?"

"Aku memang orang desa. Terlahir di desa. Tinggal di desa. Usaha keluargaku juga di desa. Semua serba di desa. Tapi kamu tahu latar belakang pendidikanku 'kan? Jadi hal seperti ini mudah bagiku," ujar suamiku seakan mengerti arah pembicaraanku. 

Ya. Aku tahu usaha keluarganya. Meskipun berada di desa, tapi jika diuangkan itu lebih dan berkali kali lipat dari aset punya ayah. Latar pendidikannya, itu bahkan lebih tinggi dari mas Bima yang selalu dibangga-banggakan oleh mama dan mbak Sinta. Meskipun masih dalam bentuk cerita. Itu pun baru tadi sore. 

Mas Umair lalu melanjutkan aktivitasnya mengutak-atik gagang pintu kamar mama. Tak membutuhkan waktu lama, pintu kamar pun terbuka. 

"Ah, sombong kamu, Mas," kataku dengan sedikit menggoda.

"Tidak sombong, memang kenyataanya seperti itu," balasnya yang membuatku tertawa kecil.

Aku pun langsung menuju brangkas yang berada di atas meja. Membukanya, dan mengambil surat-surat berharganya. 

Setelah dirasa cukup, aku dan mas Umair kembali menutup kamar. Sengaja memang hanya ditutup begitu saja. Ingin tahu reaksi mama jika ada orang yang masuk ke kamarnya tanpa izin. 

Karena tujuan kami sudah didapat, aku dan mas Umair lalu bergegas keluar rumah untuk mencari makan malam. Kami juga mengajak bi Iyem supaya menghidari dari tuduhan mama nantinya.

Selain itu, kasihan jika harus ditinggal di rumah sendiri, apalagi selama ini bi Iyem banyak membantuku. 

Tak perlu jauh-jauh dari rumah, kami memutuskan untuk mencari makan tak jauh kompleks yang dimana berlawanan arah dengan restotan tempat mama makan.

“Mereka baru saja pulang,” kata mas mas umair usai menutup teleponnya. Dimana telepon tersebut dari pihak restoran bintang. 

Aku tersenyum. “Ayo Mas!” ajakku, lalu mas Umair melajukan mobilnya.

Aku dan mas Umair menunggu di tepi jalan tak jauh dari depan kompleks. Selang beberapa menit akhirnya yang kami tunggu muncul juga. Mobil mama masuk ke dalam kompleks, dan mas Umair mengikutinya dari belakang dengan tetap menjaga jarak.

Saat mobil yang kami tumpangi mulai memasuki halaman rumah. Terdengar teriakan dari dalam, yang ku yakini itu adalah suara mama.

Aku, mas Umair dan Bi Iyem pun dengan cepat masuk ke dalam rumah. Berpura-pura tak mengetahui apa yang terjadi.

“Kenapa Ma?” tanyaku ketika sampai di ruang tengah dimana semua anggota berkumpul.

“Kamu ‘kan yang udah nyelonong masuk ke kamar mama,” ucap mbak Sinta menuduhku seraya mendorong sisi pundakku. Membuatku hampir jatuh dibuatnya. Untungnya dengan cepat suamiku menahannya.

“Kami baru samapi lho, Mbak. Ada apa sebenarnya,” kata mas Umair mengelak.

“Halah! Pasti kamu ‘kan yang bobol pintu kamar saya? Orang misk*n seperti kamu itu mana bisa diam aja liat barang mewah,” cerca mama pada mas Umair. Yang sejujurnya membuatku naik darah dengan perkataanya yang terus-terusan menghina suamiku.

“Maksudnya apa sih, Ma?” tanyaku lagi berpura-pura tak tahu.

“Kamu lagi, sok-sokan gak tahu. Kamu ‘kan tahu semua sertifikat yang berkaitan dengan aset ayahmu itu berada di kamar mama!” katanya yang terlihat benar-benar sudah meledak emosinya.

“Jadi mama kehilangan itu?” Aku bertanya lagi. “Dengar ya Ma, selama ini kamar mama selalu dikunci, dan kuncinya mama yang simpan. Sejak dulu, mama gak pernah membiarkan siapapun masuk tanpa izin dari mama. Termasuk bi Iyem. Sekarang nuduh-nuduh kami yang jelas-jelas kami juga baru saja pulang,” jelasku panjang lebar. “Lagipula aku gak tahu soal sertifikat itu, 'kan mama yang mau urus ke notaris,” imbuhku.

Mama dan yang lainnya seketika terdiam. Meraka saling pandang satu sama lain. Mungkin membenarkan perkataanku barusan.

Memang awalnya aku tak tahu menahu, tapi beberapa hari sebelum ayah meninggal beliau memberitahuku soal ini. Beliau juga memberiku pesan untuk berlaku adil dengan mama dengan memberiakan haknya sebagai istrinya.

Tapi dilain sisi pula ayah memintaku juga untuk tetap berhati-hati dengan mama juga anak-anaknya. Karena dari awal pernikahan mereka memang mengincar kekayaan milik ayah dan ibuku. Itu semua ayah ketahui dan beliau sadari beberapa hari sebelum beliau meninggal.

“Ayah tetap mencintai mama Ros, Nak. Entalah, apa yang membuat ayah begitu menginginkannya,” kata ayah kala itu.

Aku hanya bisa menghela nafas kala ayah berkata demikian. Aku sendiri bingung dengan pemikiran ayah. Sebegitu cintakah beliau pada mama Ros? 

Memang mama Ros terlihat juga mencintai ayah, bahkan merawatnya dengan baik dikala ayah menjalani pengobatan di akhir-akhir hidupnya. Karena ayah memang meninggal dunia karena sakit ia derita. 

“Ayo, Mas, kita harus istirahat, besok kita akan menempuh perjalanan jauh ‘kan,” ajakku pada suamiku. 

Ku tinggalkan mereka yang masih saling terdiam. Toh, saat ini aku tak lagi sendiri untuk melawan mereka. Ada mas Umair, lelaki pilihan ayahku yang akan setia padaku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status