Share

Pulang ke Desa

Part 4 Pulang ke Desa

Hari ini hari terakhir aku di rumah ini. Urusan surat-surat sertifikat sudah ku serahkan pada notaris untuk mengganti semua aset milik ayah dan ibuku atas namaku. 

Dan untuk bagian mama, akan ku serahkan nanti jika semua sertifikat itu sudah selesai ditangani.

"Sudah semua, Mas? " tanyaku pada mas Umair saat kami tengah mempersiapkan barang bawaan untuk ke desa. 

"Sudah. "

Tiga buah koper besar berisikan barang dan pakaianku juga punya mas Umair siap dibawa. 

"Kamu yang betah disana, sereot apapun gubuknya itu juga gubuk suamimu, " kata mama ketika kami hendak berpamitan. 

Lagi, aku dibuatnya terdiam. Aku tahu maksud mama hanya ingin menghina mas Umair. Karena dimatanya, mas Umair yang notabene orang desa pasti rumahnya lebih kecil dari rumah ini. 

"Iya, Ma. Sepekan sekali insyaaAllah kami akan usahakan untuk pulang ke sini. Ngecek keuangan butik, " kataku usai mencium punggung tangan ibu tiriku itu. 

"Jangan aneh-aneh, deh, jarak rumahmu ke sini itu butuh perjalanan jauh. Bisa menyita waktu seharian untuk pulang pergi. Belum ongkosnya. Makan di jalan. Semua itu bisa kamu gunakan untuk makan sehari-hari kalian. Kalau kalian sering kesini yang ada nanti makin misk*n, " ujar mama panjang lebar.  Yang tak lain maksudnya pasti agar aku tak ikut campur soal keuangan butik. L*c*k! 

Mas Umair mencium takzim tangan mama untuk berpamitan. "Jangan khawatir soal itu, Ma, ku pastikan insyaaAllah Saudah tidak akan kekurangan uang nantinya, " ucap mas Umair. 

"Halah, gak usah bergaya. Petani sepertimu emang duitnya berapa, sih? "

Mas Umair tak menanggapi perkataan mama. Ia lebih memilih diam. Aku tahu, jika ia membalas perkataan mama, pasti juga ujung-ujungnya mama tidak akan percaya. 

"Mama beneran kehilangan sertifikat itu? " tanyaku yang membuatnya berhenti mengutak atik gawainya. 

Beberapa saat kemudian, mama masih terdiam. Tak ada jawaban darinya. 

"Saudah, kalau kamu gak betah, ya dibetah-betahin pokoknya. Jangan gampang minta pulang ke rumah, " kata mbak Sinta yang duduk di sebelah mama. 

Ah, perkataannya tidak mencerminkan dirinya. Dia saja masih ikut dengan ibunya sendiri. Apa yang bisa ku ambil nasihatnya? Manusia, oh manusia. 

Kami pun berjalan kearah luar. Menunggu mobil sewa yang sebentar lagi datang. Mama dan mbak Sinta mengikuti kami dari belakang. 

Mas Umair memang memilih untuk menyewa saja untuk perjalanan ke desa, agar kami tak kerepotan mengurus mobilku disana nantinya. 

"Sudah ada mobil disana, " kata mas Umair setalah kami sepakat untuk menyewa mobil. 

"Akan ku jadikan kamu jadi ratu di rumahku nanti, " bisik mas Umair kala mobil yang kami sewa telah memasuki halaman rumah. 

Aku tersenyum kearahnya. Tanpa dijadikan ratu pun aku akan tetap bahagia bersamanya. 

***

Urusan yang berkaitan dengan sertifikat sudah ku serahkan pada notaris. Termasuk hak mama yang nantinya akan ia terima. Aku dan mas Umair tinggal menunggu hasil. 

Begitu juga dengan keuangan butik. Sudah ku perintahkan pada Novi, orang kepercayaanku di butik. 

Novi juga adalah karyawan pertama ibuku dulu saat beliau membuka butik itu. Karena ketelatenan dan kejujurannyalah ia menjadi tangan kanan ibuku hingga menurun ke aku. 

Kurang lebih tiga jam perjalanan kami tempuh. Akhirnya aku sampai di tempat kelahiran suamiku dan ayahku. 

Ku amati rumah dihadapanku saat ini setelah turun dari mobil. Pandanganku berkeliaran ke sekitar rumah ini. Dan aku pun menyadari, bahwa rumah dihadapanku ini adalah rumah terbesar diantara yang ada. 

Pekarangan yang cukup luas. Dengan rumah yang memang besar meskipun tidak berlaintai dua. Lingkungan yang bersih dan tanaman bunga yang asri menghiasai di pinggiran pekarangan. 

"Selamat datang. " Sambut bu Nila yang juga ibu mertuaku. Beliau berjalan kearah kami. 

"Assalamualaikum, " ucap mas Umair seraya mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Lalu diikuti olehku. 

"W*'alaikumsalam, " balasnya seraya memeluk mas Umair dan bergantian denganku.

"Mas Umair! "

Seketika kami menoleh ke belakang dimana arah sumber suara. 

Ternyata seorang wanita muda yang ku perkiraan ia seumuran denganku bersama seorang wanita paruh baya berjalan kearah kami. 

"Riska, bu Lastri, " kata bu Nila melihat kearah mereka. 

"Oh, ini to istrimu Mair. Luamyanlah, seengaknya gak malu-maluin kalau diajak pergi. Tapi masih jauh sama anakku, sih," kata seseibu yang bernama Lastri tersebut. Ia memandangku dengan pandangan tak suka. 

"Mas, kamu nikah kok gak bilang-bilang, sih? Apa kamu sudah lupain aku gitu aja? " ucap wanita muda yang berada di samping bu Latri. Riska. 

Sebenarnya aku dibuat heran. Ada apa ini? Dan siapa mereka yang tiba-tiba datang mencela fisikku dan mempermasalahkan pernikahanku dengan mas Umair 

Sementara mas Umair terlihat bersikap biasa saja. Tapi entah kenapa, wanita bernama Riska ini seakan tak suka padaku. Sama halnya dengan ibunya. Bahkan ia melihatku dengan tatapan sinis. 

"Siapa mereka, Mas? " tanyaku pada mas Umair. 

"Aku tuh calon istrinya mas Umair. Tapi semuanya berantakan gara-gara kamu! " sahut Riska yang membuatku terperangah mendengarnya. 

"Maksudnya apa, Mas? " kali ini aku benar-benar kebingungan. Mas Umair tak kunjung menjelaskan. Begitu juga dengan bu Nila. Beliau hanya diam saja. 

"Jadi dugaanku benar kalau kamu juga penjahat?  Yang sama jahatnya dengan mama dan saudara tiriku? " kataku tak sabaran. Geram rasanya, apalagi lelaki berstatus suamiku ini tampak biasa-biasa saja sikapnya. 

"Jangan sembarangan kamu bilang, ya! Yang jahat itu kamu. Merusak kebahagiaan orang! " tegas bu Lastri. 

Ku buang nafas kasar. Mencoba menenangkan diri. "Bu, bisa jelaskan sama saya? " kataku sesopan mungkin pada bu Nila. 

Bu Nila bukannya menjawab pertanyaanku, beliau malah mengalihkan pandangannya kearah bu Lastri. Mengusap pelan sebelah pelipisnya lalu menghela nafas. 

"Cukup Bu Lastri? " tanya bu Nila. Membuatku semakin kebingungan. Cukup bagaimana maksudnya? Kenapa tidak langsung menegur dan mengingatkan saja. Menjelaskan yang sejelas-jelasnya padaku. 

"Belum! " balas bu Lastri. 

Bu Nila hanya membalas dengan senyuman sembari memajukan satu tangannya kearahku. Seakan mempersilakan bu Lastri untuk terus menghinaku. 

"Mas, jawab aku! " kataku seraya menggoyang-goyangkan lengan suamiku ini. Tapi dia tetap diam. 

"Dasar pelakor! " kata Riska yang ditujukan padaku. 

Ku alihkan mataku padanya. Ku tatap ia dengan penuh amarah yang siap ku ledakkan. 

Ku majukan kakiku lebih dekat dengannya. Kini mataku dan mata Riska saling bertatapan. "Jaga mulutmu! Kamu pikir kamu siapa? Istrinya? Hah! " ujarku emosi. 

"Pelakor! " balasnya yang membuatku semakin naik pitam. 

"Kamu! " ku angkat tangan kananku kearah wajahnya. Ingin sekali ku tampar dirinya, namun mas Umair dengan cepat menahan tanganku. 

"Sabar, Dek, " katanya menurunkan tanganku. 

"Jelaskan apa maksud dari ini semua?! " tanyaku dengan ku naikkan nada tinggiku. 

Rasanya hatiku benar-benar teriris-iris. Baru saja aku mulai mencintai dan menerimanya, tapi apa nyatanya yang ku dapat? Mas Umair dan keluarganya seakan mempermainkanku. Mempermainkan pernikahan ini dan juga wasiat dari ayahku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status