Part 5 Wanita Masa Lalu Suamiku
Rasanya hatiku benar-benar teriris-iris. Baru saja aku mulai mencintai dan menerimanya, tapi apa nyatanya yang ku dapat? Mas Umair dan keluarganya seakan mempermainkanku. Mempermainkan pernikahan ini dan juga wasiat dari ayahku.
"Lupakan! " ucapku lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan mereka.
"Hahahaha!! " jelas ku dengar Riska tertawa sangat lantang saat kepergianku.
Aku terus berlari tanpa mengerti tujuanku kemana. Entahlah, tak terasa bahkan air mataku jatuh membasahi pipi ini.
Sesekali ku tengok ke belakang, mas Umair pun tak terlihat batang hidungnya untuk mengejarku. Benar-benar dia ya!
Ku hentikan langkahku saat aku sampai di hamparan persawahan yang cukup luas. Pemandangan yang menyejukkan mata, dengan gunung yang jauh disana sebagai pelengkapnya. Hatiku rasanya mulai tenang kembali.
Mas Umair benar-benar sudah keterlaluan. Ternyata pernikahan ini hanya kedoknya saja untuk mempermainkan hidupku. Lihat saja nanti, akan ku balas perbuatan kalian padaku!
Jauh-jauh aku dari kota, tidak akan ku biarkan aku pulang dengan hati yang hancur!
"Kejutan! " Aku menoleh ke belakang dimana ku dengar seseorang berucap.
"Mas Umair? " kataku ketika yang kudapati adalah suamiku yang sudah berdiri tegak tepat di belakangku. Mau apa lagi lelaki ini? Apa dia belum puas menyakitiku?
Mas Umair meraih kedua tanganku. "Maaf, jika sambutan kedatanganmu seperti ini. Tapi percayalah, bahwa ini semua hanya bagian dari rencana keluargaku untuk menyambutmu," katanya lembut. Haruskah aku percaya?
"Percayalah, " katanya lagi seakan menjawab isi hatiku. "Lihatlah dihadapanmu. " Mas Umair membalikkan wajahku kearah pemandangan sawah yang begitu luas di depanku.
"Itu, itu, itu, dan itu, " mas Umair menunjuk beberapa titik sawah. Mataku mengikuti kemana arah telunjuk itu bergerak.
"Itu punyamu? " tanyaku polos karena tak mengerti maksud dari perkataannya.
"Bukan dong! " balasnya sembari tertawa kecil. Ah, menyebalkan.
"Aaah, kamu nyebelin! " ku pukul badannya karena kesal.
"Alhamdulillah. Sudah gak marah lagi? " tanyanya ketika aku berhenti memukulinya. Pertanyaan macam apa ini? Tapi memang nyatanya entah kenapa aku tak marah lagi padanya. Padahal tadinya emosiku begitu tersulut.
Mas Umair menjelaskan, kenapa sambutan untukku seperti itu. Ternyata bu Lastri dan Riska adalah saudaranya. Dan semua ini hanya rencana untuk mengerjaiku. Karena mereka yakin, suatu saat aku pasti menghadapi seseorang dimasa lalu mas Umair yang tak menyukai kehadiranku disisi mas Umair.
Dimana seseorang tersebut dulu pernah dekat dengannya, sempat ingin berencana untuk menikahinya karena tak ingin ada fitnah diantara mereka, tapi orang tersebut lebih memilih lelaki lain yang katanya lebih berharta dari mas Umair.
"Memang kenyataannya seperti itu. Abi dan umi 'kan dulu hanya buruh tani, jadi dia pergi begitu saja, " jelas mas Umair.
Karena kejadian itulah, mas Umir lalu memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Bagaimana pun caranya, ia bertekad untuk lebih sukses. Bukan berarti ia mengejar dunia, tapi keadaanlah yang memaksanya untuk menjadi lebih baik.
Dan ternyata benar. Seseorang itu muncul kembali setelah bertahun-tahun lamanya mas Umair pergi dari tanah kelahirannya. Bahkan, wanita itu sempat memohon agar mas Umair untuk menikahinya kembali. Dan membatalkan pernikahannya denganku.
"Karena aku tahu dia orangnya nekatan. Jadi, aku gak mau kalau tiba-tiba kalian berhadapan kamunya kena mental, " jelas mas Umair membuatku mengerti dan menerima alasannya kenapa keluarganya berbuat demikian padaku. Meskipun rasanya tak masuk di akal.
"Tapi kok dia tahu rencana pernikahanmu? " tanyaku.
"Kan dia orang sini juga. Selain itu, besuk lusa ada hari yang dipilih abi dan umi untuk walimahan pernikahan kita, " jelasnya.
"Semoga aku bisa menghadapi dia, ya, " kataku berusaha meyakinkan suamiku.
Ya, kini aku kembali percaya pada mas Umair meski tak sepenuhnya. Lagipula, aku tidak tahu harus bagaimana, mengingat ini bukan daerahku. Aku masih asing di sini.
Mas Umair mengulurkan tangan kanannya, dan ku sambut dengan membalas uluran tangannya. Kini aku dan suamiku berjalan kembali pulang ke rumah kedua mertuaku dengan saling bergandengan tangan dan tersenyum bahagia.
***
Braakk!!
Seketika aku dan semua tamu yang hadir mengalihkan pandangan kami kearah pintu keluar. Dimana ternyata seorang wanita yang ku perkirakan usianya, diatasku lebih sedikit yang terlihat sangat emosi setelah menumpahkan beberapa kado dari para tamu yang hadir.
"Ya Allah, dia kenapa sih? "
"Gak tau malu, ya! ""Astaghfirullah. ""Ah, dia lagi dia lagi. "Ku dengar bisik-bisik yang lumayan keras dari sebagian ibu-ibu yang ada. Mereka juga tampak kesal dengan tingkah seorang wanita yang merusak acara walimahanku pagi ini.
"Itu yang namanya Rima, " bisik mas Umair padaku.
Rima adalah seseorang yang diceritakan mas Umair beberapa hari yang lalu padaku. Dan benar kata mas Umair, wanita bernama Rima adalah orang yang nekatan. Terbukti dia berani merusak acara yang seharusnya khidmat seperti ini.
"Harusnya aku yang berada disitu! " tunjuk wanita bernama Rima tersebut kearahku.
"Dasar wanita mur*h*n!! " makinya dengan lantang.
Sementara suasana sangat tegang dengan kehadiran Rima. Beberapa orang pun berusaha menghentikan aksinya.
"Rima! " teriak seseorang dari arah lainnya.
Semua pasang mata pun beralih pada seorang laki-laki yang menghampiri Rima dengan emosinya yang tak kalah memuncak. Kata mas Umair dia adalah suaminya Rima.
Mas Umair pun menghampiri Rima dan suaminya. Disusul ayah mertuaku dan beberapa orang dari kerabat mas Umair, sementara ibu mertuaku mendekatiku mencoba menenangkan diriku.
Sebenarnya aku memang sedikit kaget dengan kejadian ini. Tak ku bayangkan jika kenekatan Rima bisa sampai seberani ini. Itu berarti, bisa saja suatu waktu ia akan melakukan hal yang diluar pemikiran orang. Bahaya!
"Maafkan Rima, Umair, " kata suami Rima.
"Jangan minta maaf kamu, Mas! Ini gak ada hubungannya sama kamu! " Rima mendorong kasar suaminya hingga hampir membuatnya terjatuh.
Aku pun hanya bisa terdiam dan melongo melihat tingkahnya yang semakin membuatku tak percaya bahwa ada wanita yang lebih jah*t dari mama tiriku.
"Umair, ingat aku! Aku yang seharusnya bersanding denganmu. Bukan dia! " rengek Rima pada mas Umair seraya akan menyetuh lengan mas Umair, tapi dengan cepat mas Umair menghidarinya.
"Maaf Rima. Aku sudah memilih. Tolong bawa istrimu pergi jika tak ingin lebih malu, " kata mas Umair.
"Gak Umair! Wanita m*r*han itu harus pergi dulu! " sahut Rima dengan lantang menunjuk kearahku.
Apa dia bilang? Aku wanita mur*h*n? Tidak bisa dibiarkan. Ku alihkan tangan ibu mertuaku yang memegangi pundakku sejak tadi. Dengan cepat ku hampiri Rima dan suaminya.
Dan kini aku berhasil membuat suasana semakin tegang. Semua orang memfokuskan diriku, mengikuti langkah pergerakanku kearah mereka yang berdiri di pintu luar area walimahan.
Akan ku tunjukkan pada Rima siapa aku sebenarnya. Yang kata mas Umair adalah istri pilihannya sendiri.
Part 6 Kehadiran Mama"Cukup Rima! Jika kamu tidak ingin berurusan dengan polisi lebih baik kamu tinggalkan tempat ini! " usirku pada Rima yang membuatnya menatapku dengan tajam. Ternyata punya cukup keberanian juga dia. Tak ingin kalah, ku balas tatapannya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Takkan ku biarkan siapa pun mengacaukan acaraku ini. Apalagi Rima, wanita yang hanya masa lalu suamiku. "Kamu pikir aku takut? " tentangnya semakin menjadi-jadi. Bahkan kini suasana semakin tegang karena perseteruan kami. "Sudah Dek, biarkan saja, " kata mas Umair mencoba menghentikanku. "Tolong bawa istrimu pergi, " titah suamiku pada suami Rima. Masih bisa setenang itu? Haduh. Tanpa berpikir panjang, suami Rima berusaha menarik tangan istrinya meskipun Rima sendiri terus saja berontak. "Dasar wanita gil*!" umpatku yang seketika membuat mas Umair melirik kearahku. "Hus! " katanya pelan. Ah, suamiku ini terlalu baik. Dengan usaha yang keras, akhirnya suami Rima berhasil membawa Rima
#SKDYPart 7 Ancaman"Mama mau apa kesini?" tanyaku langsung agar kami tak lama-lama menjadi pusat perhatian. Selain itu, aku juga penasaran apa tujuan mama datang kemari? Jika hanya sekedar memintaku mengurus surat-surat yang hilang, ku rasa itu hanya dalihnya saja.Netra mama melihat ke sekeliling. Sementara itu abi dan umi -panggilan untuk pak Santoso dan bu Nila selaku mertuaku- meninggalkan posisi duduknya."Maaf, kami tinggal sebentar karena ada tamu dari jauh yang baru datang, " kata ibu mertuaku sebelum beliau beranjak dari duduknya."Iya, " balas singkat mama yang tak mengalihkan pandangannya dari ponselnya.Abi dan umi berjalan kearah sepasang suami istri yang baru saja datang. Entah siapa itu. Yang jelas mereka terlihat sangat akrab.Umi bersalaman dilanjutkan bercipika cipiki dengan wanita tersebut, lalu memeluknya sejenak. Begitu dengan abi yang tak kalah hangat menyambut pria paruh baya tersebut."Siapa Mas? " ta
Kalau bukan karena status mama Ros sebagai istri ayahku, sudah rasanya ingin ku buang jauh ke lautan mereka. "Ini Mas, disuruh umi, " kata Riska salah satu kerabat suamiku. Ia datang seraya meletakkan beberapa bingkisan diatas meja. Lalu dengan gegas ia pergi. Suasana sedikit cair setelah cukup lama menegang diantara aku dan keluargaku sendiri. "Bu Ros, tolong diterima ya, " kata umi yang tiba-tiba muncul bersama abi. "Isinya jauh lebih banyak dari yang tadi dimakan, " katanya lagi. Aku pun menyadari bahwa ternyata beberapa paper bag itu berisikan makanan yang dihidangkan saat acara hari ini. Aku benar-benar tak menyangka dengan sikap kedua mertuaku ini. Mereka masih saja mau bersikap baik dengan memberikan 'oleh-oleh' pada keluargaku. Padahal sejak tadi keluargaku benar-benar tak menunjukkan sikap ramahnya sama sekali. Ah, beruntungnya aku bisa menjadi menantunya."Terima kasih! " balas mama ketus tanpa tersenyum
"Jangan nuduh sembarang ya. Aku tuh gak kenal sama dia!" sanggahku. Sekuat tenaga ku tahan agar tak mengeluarkan taring untuk mbak Sinta. Tapi rasanya sungguh berat. Dengan setiap ucapannya yang kasar dan menghina suamiku, sekarang ditambah dia menuduhku yang tidak-tidak. Arrgh, kalau bukan diacara khidmat seperti ini pasti sudah ku habisi dia. Mbak Sinta sendiri terlihat biasa saja setelah melayangkan tuduhan tak berdasar itu kepadaku. Bahkan ia dengan percaya dirinya masih saja memasang wajah tembok seperti mamanya. Mama dan anak-anaknya pun melanjutkan langkahnya untuk pergi tanpa berkata apa pun. Saat melewati orang-orang disekitar yang masih ada, mereka pun tetap tak menyapa atau tersenyum hanya untuk berbasa-basi. Ya Allah ... Memalukan. "Mas Umaaaiiir!! "Teriak seseorang dengan cukup keras memanggil mas Umair sesaat setelah keluargaku pergi. "Ada apa Pak? " tanya mas Umair pada seseorang yang memanggilkannya. Pak Wir
Waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi, tapi mas Umair sudah sibuk dengan persiapannya hari ini. "Memangnya kita mau kemana Mas? " tanyaku ketika suamiku itu baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur kami.Ya, meskipun rumah ini bertempat di desa tapi keadaan di dalamnya tak kalah bagus dengan keadaan rumah-rumah yang kebanyakan di kota. Tepatnya di kompleks tempatku tinggal. Dari tempat kamar mandi yang berada di dalam kamar, ruang makan yang terpisah dengan dapur, bahkan ruang keluarga yang menurutku lumayan luas. Tak hanya itu, rumah mertuaku ini memiliki teras belakang yang cukup nyaman untuk bersantai. Dan sebenarnya ku akui, rumah milik keluarga mas Umair ini jauh lebih luas dengan rumah di kompleks tempatku tinggal. "Bertemu pak Chandra. Buruan mandi, perjalanan kita 'kan jauh. " Mas Umair berjalan kearah lemari kayu jati di sudut ruangan. Lemari yang super besar yang katanya baru ia beli k
Yang terlihat di depan mataku memang sebuah truk dengan muatan beberapa karung beras yang entah berapa jumlahnya. Tapi, di belakang truk itu juga terdapat sebuah mobil yang ku perkiraan pernah hits di tahun 2000an. Bahkan mobil tersebut membuatku ingat akan sesuatu. Ya, sebuah sinetron disaat aku masih berusia remaja. "Kita naik mobil kok, " kata mas Umair seraya berjalan kearah mobil di belakang truk. Mobil yang menurutku termasuk mobil jadul. Perjalanan dimulai. Meskipun mobil jadul ini acnya masih berfungsi, tapi mas Umair lebih memilih untuk membuka sebagian kaca mobilnya. Begitu juga denganku, ku ikuti saja apa yang dilakukan suamiku itu. Akhirnya mobil jadul mas Umair ini berhenti di depan sebuah rumah makan. Jelas aku tahu rumah makan ini, meskipun terlihat sederhana tapi cabangnya ada dimana-mana. Yah, meskipun hanya dilingkungan kota. Tapi setidaknya, rumah makan dengan khas hidangan yang menawarkan puluhan jenis sambal ini sudah
"Iya Mas, " balasku datar. Cukup lama aku dan lainnya menunggu. Kepanasan sudah pasti, bahkan badanku saja sudah bau keringat. Apalagi Udin dan Deni yang tadinya mengusung beras-beras tersebut. Argh, jangan ditanya baunya lah. Mobil motor pun banyak berdatangan untuk mengunjungi rumah makan ini. Apalagi saat ini sudah memasuki jam makan siang. Sementara makanan yang dijanjikan mas Bima belum juga datang. Oke lah kalau tidak ada makanan, paling tidak minuman gitu. Tapi ini nyatanya, arrgh, dasar manusia si*lan! Ku lihat mas Umair, ia masih tetap tenang dengan mengutak-atik ponselnya. Apa dia tidak berpikir bahwa kami sedang dipermainkan? Lagian, sudah tahu menunggu sekian lama kenapa tidak berinisiatif untuk pergi mendatangi mas Bima saja? Atau belikan aku minuman atau makananlah, secara perutku sudah kepingin makan sejak awal mobil kami berhenti tadi."Mas, " panggilku pelan seraya menepuk pundak suamiku. Mas Umai
Aku pun mulai mengerti maksud tujuan mas Umair memesan makanan ini. Tapi ini hanya dugaanku saja, entah sebenarnya apa alasannya aku pun belum jelas mengetahuinya. Yang jelas, dalam hatiku kini aku rasanya sangat senang dan senang sekali.Ku persiapkan diriku. Ku pasang wajah angkuh jika mas Bima nanti datang. Kali ini mat* dia. Ku yakin pak Chandra pasti akan memarahinya habis-habisan karena menelantarkan kami. Tak butuh waktu untuk menunggu lama, mas Bima akhirnya pun datang bersama karyawan yang memanggilnya tadi. Tak diduga dan tak disangka, ternyata mbak Sinta pun mengekorinya dari belakang. Pasti dia penasaran dengan apa yang sedang terjadi. "Satu jam lebih saya pergi, tamu saya cuma kamu kasih es teh? " Pak Chandra bertanya pada mas Bima tanpa basa-basi. Kegagahan dan kewibawaanya kini terlihat. Wajahnya pun kini berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya yang pernah ku lihat. Sementara mas Bima sendiri wajahny