Share

Kehadiran Mama

Part 6 Kehadiran Mama

"Cukup Rima! Jika kamu tidak ingin berurusan dengan polisi lebih baik kamu tinggalkan tempat ini! " usirku pada Rima yang membuatnya menatapku dengan tajam. Ternyata punya cukup keberanian juga dia.

Tak ingin kalah, ku balas tatapannya dengan kedua tangan yang berkacak pinggang. Takkan ku biarkan siapa pun mengacaukan acaraku ini. Apalagi Rima, wanita yang hanya masa lalu suamiku.

"Kamu pikir aku takut? " tentangnya semakin menjadi-jadi. Bahkan kini suasana semakin tegang karena perseteruan kami.

"Sudah Dek, biarkan saja, " kata mas Umair mencoba menghentikanku. "Tolong bawa istrimu pergi, " titah suamiku pada suami Rima. Masih bisa setenang itu? Haduh.

Tanpa berpikir panjang, suami Rima berusaha menarik tangan istrinya meskipun Rima sendiri terus saja berontak.

"Dasar wanita gil*!" umpatku yang seketika membuat mas Umair melirik kearahku. "Hus! " katanya pelan. Ah, suamiku ini terlalu baik.

Dengan usaha yang keras, akhirnya suami Rima berhasil membawa Rima pergi. Acara kembali dilanjutkan hingga selesai.

Setelah tamu undangan pulang, kini tinggal beberapa orang pemuda yang membantu membereskan kursi dan juga meja-meja yang digunakan tadi.

Sementara ibu-ibu yang membantu keperluan di dapur guna masak memasak sebagian juga sudah ikut pulang.

Tiba-tiba datanglah sebuah mobil yang aku tak lagi asing dengannya. Mama tiriku datang beserta kedua anak perempuannya dan menantu kebanggaannya.

"Bagus ya, ngadain acara gak undang-undang kami, " kata mama dengan nada tinggi usai ia turun dari mobil. Diikuti dengan anak-anaknya.

Gayanya yang berlagak seperti orang kaya dan sikap angkuhnya berhasil menjadikan mama dan lainnya pusat perhatian.

"Mama?" mas Umair berjalan menghampiri mama, ingin menyambut kedatangannya. Suamiku mengulurkan tangannya hendak mencium tangan mama, tapi apa yang terjadi? Dengan cepat mama menepis tangan mas Umair.

Tampak wajah kesombongan mama perlihatkan padaku juga dengan keluarga mas Umair. Begitu juga dengan anak-anaknya. Berbanding terbalik dengan keluarga mas Umair yang tetap memasang wajah ramah bahkan masih bisa tersenyum menyambut kedatangan mama.

"Maaf, sengaja kami tidak mengundang karena .... "

"Sengaja? Kalian anggap saya ini apa?! " Mama memotong ucapan pak Santoso, ayah mertuaku.

Suasana yang ada kembali menegang. Sama dengan saat kedatangan Rima ditengah-tengah acara tadi. Hanya bedanya kali ini tak banyak pasang mata yang melihat.

"Dengarkan dulu, Ma, jangan asal potong," kataku berusaha membela ayah mertuaku.

"Kamu lagi. Bertahun-tahun aku ngerawat kamu, gantiin ibumu. Ini balasannya? " mama menatapku dengan seksama.

Entahlah, apa maksudnya ia datang kemari. Bukankah ia sendiri yang bilang jika ia tak suka dengan kondisi suamiku. Lalu, kenapa ia malah menyusul kami? Lagipula, darimana ia tahu alamat tempat tinggal mas Umair.

"Saudah, semua surat-surat aset ayahmu hilang. Mama mau kamu yang urus semuanya, " kata mama.

Dari sini aku mengerti tujuan mama datang kesini. Pasti dia tak mau mengeluarkan uang untuk mengurus surat-surat aset peninggalan ayah. Tapi, apa hanya sekedar itu?

"Kok bisa hilang, Ma? " tanyaku pura-pura tak tahu.

"Mama gak tau. Pokoknya kamu urus sendiri gimana pun caranya. Setelah itu berikan bagian mama, " ujarnya tanpa memperdulikan dimana ia berucap.

"Iya Ma, " balasku karena tak ingin memperpanjang perdebatan ini. Toh aku sendiri pelaku dibalik hilangnya surat-surat tersebut.

"Silakan duduk Bu. " Ibu mertuaku mempersilakan mama dan anak-anaknya untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan.

"Maaf kami tidak mengundang Ibu karena .... "

"Argh, sudahlah. Saya gak mau dengar alasannya. Apa pun itu. Saya gak peduli, " kata mama yang lagi-lagi memotong ucapan ayah mertuaku.

Hening. Ya, sejenak memang hening. Tak ada obrolan diantara kami. Mama sibuk dengan ponselnya, begitu juga dengan anak-anaknya. Kami sebagai tuan rumah seakan tak dianggap kehadirannya.

Hidangan pun datang. Segelas teh hangat diberikan pada masing-masing mereka. Lalu makanan pembuka yang terdiri dari beberapa makanan ringan seperti sosis basah, roti mandarin dan kacang mete yang ditempatkan di wadah kecil seperti piring, namun berbahan plastik. Ini adalah contoh makanan pembuka yang biasa disajikan di tempat mas Umair tinggal. Ini saja sudah termasuk dalam kategori wah.

"Ini apaan? Dikit banget kacangnya," ucap mas Bima mengangkat bungkusan kerucut berbungkus plasik bening. Si kacang mete.

"Pelit! " celetuk Santi si bungsu. Sifatnya tak jauh beda dari kakak dan ibunya.

"Memangnya kenapa? Itu sudah umum di tempat kami. Sudah pantas, " ujar ibu mertuaku.

Tanpa menggubris perkataan ibu mertuaku, mama dan lainnya malah asyik menghabiskan makanan yang merekan bilang sedikit.

Kemudian menyusul sup manten yang katanya banyak diburu jika ada acara pernikahan seperti ini. Tak banyak omong, mama dan lainnya pun menghabiskannya pula tanpa tersisa. Termasuk kuah dari sup manten tersebut.

"Supnya lumayan lah, tapi terlalu sedikit isiannya, " ucap mbak Sinta.

"Itu sudah pantas Mbak. Jangan banyak berkomentar di depan makanan. Gak baik. Lagipula kami tidak membutuhkan penilaianmu, " kataku yang membuat mbak Sinta tampak kesal.

Dilanjut makan nasi sebagai hidangan utama. Lalu ditutup dengan es krim. Seperti sebelumnya, mereka menghabiskannya tanpa sisa. Apalagi saat menyantap hidangan tersebut mereka sama sekali tak membuka suaranya sekedar untuk berbasa-basi. Malah sibuk dengan ponselnya masing-masing. Santi bahkan menfotonya. Benar-benar tak ada malu.

Sementara dari keluarga mas Umair hanya diam melihat pemandangan di hadapannya. Mungkin ayah dan ibu mertuaku sudah mulai hafal dengan sifat mama. Jadi, daripada membuat keributan lebih baik didiamkan saja. Toh, ini adab dari menjamu tamu.

"Ternyata enak juga makanan orang desa," kata mas Bima dengan sombongnya. Mentang-mentang orang kaya seenak jidat dia berkata demikian tanpa memikirkan perasaan orang disekitarnya.

"Inilah alasan kenapa kami tidak mengundang keluargamu Dek, bukannya kami tak sayang tapi kamu mengerti sendiri 'kan? Apalagi aku sendiri merasa bahwa Rima pasti akan datang ke acara ini. Entah jadi tamu undangan seperti lainnya, tapi malah seperti itu. Bisa-bisa acara walimahan kita tak khidmat jadinya, " jelas mas Umair menguraikan alasannya dengan sedikit berbisik di telingaku.

"Aku ngerti kok, Mas. Maaf ya, " balasku pelan.

"Sebenarnya mama ingin langsung to the point saja tadi, tapi makanan sudah dihidangkan mau bagaimana lagi, " kata mama yang ku tahu pasti itu hanya alasannya saja. Padahal asilnya pasti mama dan lainnya juga senang karena mendapatkan makanan gratis.

Makanan walimahan ini memang enak. Ku akui itu. Dan kami sebenarnya juga sering menemukan hal seperti ini ketika pergi ke kondangan teman atau kerabat. Tapi dasarnya saja mama tiriku ini banyak gaya dan sok bertingkah.

"Kenapa tidak menolak saja, Ma, sejak awal jadi kami hanya cukup menghidangkan makanan pembuka dan segelas teh hangat saja," kata mas Umair yang membuatku menjadi menahan tawa. Ah, bisa saja dia.

"Oo, kamu gak ikhlas ngasih kami makanan tadi? " sungut mama. Dasar perempuan, ditanya apa jawabnya apa. Hehehe.

"Bukan begitu Ma. Kalau kurang bisa nambah lagi, " kata mas Umair lagi. Kenapa kali ini terdengar tidak nyambung, ya.

"Mama mau apa kesini?" tanyaku langsung agar kami tak lama-lama menjadi pusat perhatian. Selain itu, aku juga penasaran apa tujuan mama datang kemari? Jika hanya sekedar memintaku mengurus surat-surat yang hilang, ku rasa itu hanya dalihnya saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status