Kalau bukan karena status mama Ros sebagai istri ayahku, sudah rasanya ingin ku buang jauh ke lautan mereka.
"Ini Mas, disuruh umi, " kata Riska salah satu kerabat suamiku. Ia datang seraya meletakkan beberapa bingkisan diatas meja. Lalu dengan gegas ia pergi.Suasana sedikit cair setelah cukup lama menegang diantara aku dan keluargaku sendiri."Bu Ros, tolong diterima ya, " kata umi yang tiba-tiba muncul bersama abi. "Isinya jauh lebih banyak dari yang tadi dimakan, " katanya lagi.Aku pun menyadari bahwa ternyata beberapa paper bag itu berisikan makanan yang dihidangkan saat acara hari ini.Aku benar-benar tak menyangka dengan sikap kedua mertuaku ini. Mereka masih saja mau bersikap baik dengan memberikan 'oleh-oleh' pada keluargaku. Padahal sejak tadi keluargaku benar-benar tak menunjukkan sikap ramahnya sama sekali.Ah, beruntungnya aku bisa menjadi menantunya."Terima kasih! " balas mama ketus tanpa tersenyum"Jangan nuduh sembarang ya. Aku tuh gak kenal sama dia!" sanggahku. Sekuat tenaga ku tahan agar tak mengeluarkan taring untuk mbak Sinta. Tapi rasanya sungguh berat. Dengan setiap ucapannya yang kasar dan menghina suamiku, sekarang ditambah dia menuduhku yang tidak-tidak. Arrgh, kalau bukan diacara khidmat seperti ini pasti sudah ku habisi dia. Mbak Sinta sendiri terlihat biasa saja setelah melayangkan tuduhan tak berdasar itu kepadaku. Bahkan ia dengan percaya dirinya masih saja memasang wajah tembok seperti mamanya. Mama dan anak-anaknya pun melanjutkan langkahnya untuk pergi tanpa berkata apa pun. Saat melewati orang-orang disekitar yang masih ada, mereka pun tetap tak menyapa atau tersenyum hanya untuk berbasa-basi. Ya Allah ... Memalukan. "Mas Umaaaiiir!! "Teriak seseorang dengan cukup keras memanggil mas Umair sesaat setelah keluargaku pergi. "Ada apa Pak? " tanya mas Umair pada seseorang yang memanggilkannya. Pak Wir
Waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi, tapi mas Umair sudah sibuk dengan persiapannya hari ini. "Memangnya kita mau kemana Mas? " tanyaku ketika suamiku itu baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur kami.Ya, meskipun rumah ini bertempat di desa tapi keadaan di dalamnya tak kalah bagus dengan keadaan rumah-rumah yang kebanyakan di kota. Tepatnya di kompleks tempatku tinggal. Dari tempat kamar mandi yang berada di dalam kamar, ruang makan yang terpisah dengan dapur, bahkan ruang keluarga yang menurutku lumayan luas. Tak hanya itu, rumah mertuaku ini memiliki teras belakang yang cukup nyaman untuk bersantai. Dan sebenarnya ku akui, rumah milik keluarga mas Umair ini jauh lebih luas dengan rumah di kompleks tempatku tinggal. "Bertemu pak Chandra. Buruan mandi, perjalanan kita 'kan jauh. " Mas Umair berjalan kearah lemari kayu jati di sudut ruangan. Lemari yang super besar yang katanya baru ia beli k
Yang terlihat di depan mataku memang sebuah truk dengan muatan beberapa karung beras yang entah berapa jumlahnya. Tapi, di belakang truk itu juga terdapat sebuah mobil yang ku perkiraan pernah hits di tahun 2000an. Bahkan mobil tersebut membuatku ingat akan sesuatu. Ya, sebuah sinetron disaat aku masih berusia remaja. "Kita naik mobil kok, " kata mas Umair seraya berjalan kearah mobil di belakang truk. Mobil yang menurutku termasuk mobil jadul. Perjalanan dimulai. Meskipun mobil jadul ini acnya masih berfungsi, tapi mas Umair lebih memilih untuk membuka sebagian kaca mobilnya. Begitu juga denganku, ku ikuti saja apa yang dilakukan suamiku itu. Akhirnya mobil jadul mas Umair ini berhenti di depan sebuah rumah makan. Jelas aku tahu rumah makan ini, meskipun terlihat sederhana tapi cabangnya ada dimana-mana. Yah, meskipun hanya dilingkungan kota. Tapi setidaknya, rumah makan dengan khas hidangan yang menawarkan puluhan jenis sambal ini sudah
"Iya Mas, " balasku datar. Cukup lama aku dan lainnya menunggu. Kepanasan sudah pasti, bahkan badanku saja sudah bau keringat. Apalagi Udin dan Deni yang tadinya mengusung beras-beras tersebut. Argh, jangan ditanya baunya lah. Mobil motor pun banyak berdatangan untuk mengunjungi rumah makan ini. Apalagi saat ini sudah memasuki jam makan siang. Sementara makanan yang dijanjikan mas Bima belum juga datang. Oke lah kalau tidak ada makanan, paling tidak minuman gitu. Tapi ini nyatanya, arrgh, dasar manusia si*lan! Ku lihat mas Umair, ia masih tetap tenang dengan mengutak-atik ponselnya. Apa dia tidak berpikir bahwa kami sedang dipermainkan? Lagian, sudah tahu menunggu sekian lama kenapa tidak berinisiatif untuk pergi mendatangi mas Bima saja? Atau belikan aku minuman atau makananlah, secara perutku sudah kepingin makan sejak awal mobil kami berhenti tadi."Mas, " panggilku pelan seraya menepuk pundak suamiku. Mas Umai
Aku pun mulai mengerti maksud tujuan mas Umair memesan makanan ini. Tapi ini hanya dugaanku saja, entah sebenarnya apa alasannya aku pun belum jelas mengetahuinya. Yang jelas, dalam hatiku kini aku rasanya sangat senang dan senang sekali.Ku persiapkan diriku. Ku pasang wajah angkuh jika mas Bima nanti datang. Kali ini mat* dia. Ku yakin pak Chandra pasti akan memarahinya habis-habisan karena menelantarkan kami. Tak butuh waktu untuk menunggu lama, mas Bima akhirnya pun datang bersama karyawan yang memanggilnya tadi. Tak diduga dan tak disangka, ternyata mbak Sinta pun mengekorinya dari belakang. Pasti dia penasaran dengan apa yang sedang terjadi. "Satu jam lebih saya pergi, tamu saya cuma kamu kasih es teh? " Pak Chandra bertanya pada mas Bima tanpa basa-basi. Kegagahan dan kewibawaanya kini terlihat. Wajahnya pun kini berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya yang pernah ku lihat. Sementara mas Bima sendiri wajahny
Ini lagi, apa alasan mas Umair memesan makanan hanya karena aku lapar? Atau dia memanfaatkan situasi kelaparanku ini untuk memberi pelajaran bagi mas Bima? Argh, kenapa jadi sepusing ini rasanya. "Karena aku lapar 'kan Mas? " tanyaku polos. Mas Umair tersenyum kearahku." Iya, " katanya singkat. Entah dari jawabannya aku merasa tidak puas. Aku merasa bukan itu tujuannya yang sebenarnya. Setelah tujuan utama dengan pak Chandra selesai, mas Umair meminta Udin dan Deni untuk pulang terlebih dahulu. Sementara itu, ia akan mengajakku ke suatu tempat. Ternyata suamiku itu romantis juga. Padahal awalnya aku yang akan mengajaknya pergi, tapi ini malah sebaliknya. Ah, untung saja tadi pagi aku tak jadi ganti pakaian. Kata mas Umair, tak hanya satu tempat yang akan menjadi tujuan kami hari ini. Malah ada beberapa tempat, yang dimana membuatku jadi semakin bersemangat. "Gak usah tanya kita mau kemana, nikmati saja perjalanannya, " kata
Aku bingung dengan maksud mas Umair yang akan kembali nanti malam, sementara saat ini saja waktu sudah hampir sore, tidak mungkin kalau harus pulang dulu, tapi sebagai istri, aku mengikuti saja langkahnya. Mungkin ia masih membutuhkan waktu untuk mencari jalan keluarnya. ***Mobil jadul mas Umair berhenti di sebuah rumah kecil di area kampus yang berjarak sekitar 10km dari kompleks tempatku tinggal. Rumah ini pun berjejeran dengan beberapa rumah lainnya. Halamannya pun sempit, hanya muat untuk satu mobil saja, maka dari itu rumah ini terasa berdempetan dengan sebelahnya. "Rumah siapa Mas? " tanyaku ketika mas Umair hendak mengajakku turun. "Rumah kita. Turun yuk," katanya seraya keluar dari mobil tanpa menjelaskan lebih padaku. "Loh, pak Ustadz sudah pulang? Lama gak kesini." Sapa seseibu yang baru keluar dari rumahnya. Rumahnya tepat di samping kanan rumah yang akan dimasuki suamiku. "Iya Bu Restu, InsyaaAllah besuk ad
"Jangan katakan kamu tetep kekeh dengan keputusanmu sebelumnya, " ucap mama seraya meletakkan sendoknya. Sepertinya wanita tua ini ingin mendengar keputusanku dengan seksama. Ah, dasar, kalau soal harta telinganya tak mau ketinggalan. "Tidak Ma, kali ini ku pastikan Mama dan lainnya akan senang mendengarnya," kataku. "Gak usah bertele-tele, buruan, deh! " sahut mbak Sinta tak sabaran. Ku tarik nafas panjang dan bersiap mengukapkan keputusan yang telah direncanakan mas Umair. "Saudah ikhlaskan rumah ini untuk kalian, tapi tidak dengan butik karena butik adalah peninggalan dari ibu kandung Saudah, " Mas Umair berkata duluan sebelum aku menjelaskan, padahal mulutku sudah terbuka untuk memulai berbicara. Ah, suamiku. "Benar itu Saudah? " Mama berjalan kearahku. "Iya, Ma. Ambil saja rumah ini, anggap saja hadiah untuk Sinta dan Santi," ujarku sesuai permintaan suamiku. Benar tebakanku, seketika wajah empat orang bermuka tembok ini berubah jadi senang. Senyum kemenangan terpancar jel