Kepala Winter mendongkak menatap gerbang sekolah yang sangat besar terbuka lebar, beberapa bus sekolah berjajaran baru datang dan mengantar anak-anak sekolah.
Hiro menghentikan mobilnya dan segera berlari keluar membukakan pintu untuk Winter.
Winter menelan salivanya dengan kesulitan, Winter terlihat sedikit panik karena baru ingat bahwa dia tidak tahu di mana kelasnya berada.
“Nona, Anda tidak apa-apa?” Tanya Hiro yang memperhatikan Winter masih duduk di kursinya terlihat kebingungan.
“Tidak apa-apa.”
Winter segera keluar dan memasang ekspresi sedatar mungkin menyembunyikan kepanikannya. Anak-anak sekolah yang semula sibuk sendiri perlahan berhenti berjalan dan terlihat kaget karena Winter sudah kembali ke sekolah dengan penampilan yang sedikit berbeda.
Winter terlihat lebih mencolok karena Winter mewarnai rambutnya menjadi terlihat lebih terang, rambut itu tidak lagi di kepang, Winter membiarkan rambutnya tergerai indah. Winter juga mengenakan pakaianna tidak lagi serba kebesaran, wajahnya terpoles make up dengan sederhana dan cantik, untuk pertama kalinya orang-orang melihat Winter mengenakan anting, jam tangan dan aksesoris yang sesuai dengan standar kemampuan kehidupan aslinya.
Beberapa orang sedikit berbisik membicarakan keributan gosip minggu lalu mengenai Winter yang menyatakan cinta kepada Hendery dan mendapatkan balasan di permalukan.
Perubahan kecil yang terjadi pada Winter berhasil mencuri perhatian banyak orang. Namun, orang-orang lebih menahan diri untuk tidak bergosip lagi karena orang tua Winter mengancam akan menuntut siapapun yang berbicara buruk kepada puterinya.
“Nona, saya akan menunggu Anda di sini hingga pelajaran Anda selesai. Jika butuh bantuan, bodyguard akan membantu Anda,” kata Hiro sambil menunjuk dua pria bertubuh kekar berdiri di depan mobil hitam yang sejak tadi mengikuti mereka.
Winter mengangguk mengerti.
“Winter.”
Tubuh besar Winter sedikit terhuyung ke sisi karena tiba-tiba seorang anak perempuan memeluknya dan menangis. “Winter, maafkan aku” isak gadis itu terlihat sedikit panik juga sedih penuh penyesalan.
“Lepaskan pelukanmu!” titah Winter tidak nyaman.
Perlahan pelukan gadis itu terlepas, gadis itu menunjukan wajah cantik jelitanya yang berlinanagan air mata.
“Bitch” Winter memanggil Paula dengan tajam penuh penekanan.
Paula terpaku kaget mendengar ucapan Winter yang berkata kasar dengan tatapan merendahkan yang jelas tertuju kepadanya, dengan cepat Paula mengalihkan perhatiannya pada penampilan baru Winter yang kini berdiri di hadapannya.
Paula sejenak terdiam karena terkesima, Paula melihat penampilan Winter yang kini menjadi berbeda dari biasanya, bahkan aura dan tatapannya pun berubah dari biasanya.
Di mulai dari wajah Winter yang terpoles riasan yang membuat wajah Winter terlihat segar, rambut yang terawat dengan gaya baru, bahkan sepatu boots heels tinggi. Mengajutkan, Winter bisa berdiri dengan tegak sempurna dan penuh dengan percaya diri.
Paula semakin di buat terbelalak karena dia tidak melihat lipatan di perut Winter karena kini Winter memakai korset.
Paula menarik napasnya dalam-dalam merasa bingung dengan penampilan Winter yang begitu berbeda dari biasanya.
Siapa yang sudah membuat Winter yang pemalu dan norak itu memiliki keberanian berpenampilan seperti ini?.
Terakhir kali Winter dandan adalah saat pertama kali masuk Sekolah Menengah Atas. Winter di tertawakan semua orang karena dia memakai make up seperti badut.
Namun sekarang?.
Penampilan Winter yang sekarang bahkan membuat Paula yakin jika Winter datang ke salon terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Paula tidak tahu siapa yang sudah berhasil membangkitkan kepercayaan diri Winter. Padahal bertahun-tahun Paula sudah berhasil membentuk pribadi Winter untuk menjadi gadis pemalu, bodoh dan norak.
Paula yakin Winter hanya akan merubah dirinya dalam waktu beberapa hari saja karena kini gadis itu tengah malu dan sedang menjadi perbincangan banyak orang.
Paula berdeham tidak nyaman. “Winter, barusan kau bicara apa?” tanya Paula dengan mata yang masih berkaca-kaca terlihat sedih.
“Aku hanya memanggil namamu” jawab Winter dengan tenang.
Kening Paula sedikit mengerut kecil, barusan yang dia dengar bukan namanya, namun makian. Paula sedikit menggeleng mencoba untuk tidak memikirkannya, sekarang yang terpenting adalah memperbaiki kepercayaan Winter kepadanya.
“Winter, aku senang kau bisa kembali sekolah. Aku sangat bersedih dan merasa sangat bersalah hingga tidak berani menemuimu, maafkan aku Winter. Kau pasti sakit hati setelah melihat rekaman itu, tapi itu hanyalah sebuah candaan Winter. Percayalah padaku, mana mungkin aku memiliki hati seperti itu kepada sahabatku sendiri,” ucap Paula dengan suara indahnya.
Mata Winter sedikit menyipit, dia menangkap ada sesuatu yang janggal dari ucapan yang keluar dari mulut Paula.
Winter cukup penasaran dengan akan apa yang sebenarnya telah terjadi di antara Winter dan Paula. Lebih baik untuk saat ini dia berpura-pura memaafkan.
“Winter, Aku benar-benar menyesal dan tidak bermaksud mempermalukanmu, kita lupakan pertengkaran kita ya?” Paula meraih tangan Winter dan menggenggamnya dengan kuat. “Winter percayalah padaku, mana mungkin aku mempermalukanmu dan menusukmu dari belakang. Kamarin itu aku khilap karena iri dengan kesempurnaanmu. Maafkan aku, aku sungguh menyesal, aku tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Paula lagi terlihat bersungguh-sungguh.
Bibir Winter menekan menahan diri untuk tidak memaki, sementara tangannya terkepal kuat agar tidak menjambak rambut Paula.
Entah seperti pola pikir pemilik tubuh Winter yang dulu.
Mengapa Winter yang dulu sangat gampang di bodohi?.
Paula terus menerus mengatakan Winter sempurna, namun di belakang itu semua, Paula terus mendorong Winter ke jurang kehancuran yang membuat Winter menjadi bahan lelucon semua orang atas fisik dan kapasitas otaknya yang kian menumpul.
Dagu Winter sedikit terangkat, untuk kali ini dia akan terus bersikap seperti Winter yang dulu. Tidak indah balas dendam dengan menghancurkan lawan begitu saja.
Lawan harus tersiksa dahulu, baru di hancurkan.
“Winter aku mohon” bisik Paula.
“Mengenai kejadian di atas gedung sekolah” Winter memancing dengan mulai membahas di atas gedung sekolah yang sangat Winter yakini jika Paula ada hubungannya dengan Winter.
“Winter, kau salah paham. Sudah aku bilang, mana mungkin aku melakukannya” sela Paula terlihat panik. “Kau mau kan, kita tidak perlu membahasnya lagi? Kita bersahabat sejak kecil, aku tidak mungkin menjadi duri di dalam hidupmu. Kau tahu sendiri kan, selama ini aku yang selalu ada untukmu, hanya aku yang tulus padamu.”
Jawaban Paula semakin membuat Winter ingin mengetahui apa yang sebenarnya di pertengkarkan sebelum Winter yang asli di temukan tidak sadarkan diri.
“Kau mau memaafkan aku kan, Winter?”
Kening Winter mengerut samar, dia sangat tidak suka mendengar permintaan maaf Paula yang terdengar sangat enteng keluar dari mulutnya, namun dengan cepat Winter kembali bersikap biasa. “Aku memaafkanmu,” jawab Winter.
Paula terbelalak kaget dengan jawaban Winter yang tidak terduga, kekagetan Paula berubah dengan cepat menjadi senyuman lembutnya yang manis. “Winter, kau memang sahabat sejatiku.”
“Nona.” Hiro menarik tangan Winter dan membawanya mundur beberapa meter agar terjauh dari Paula. “Nona, tolong ingat pesan tuan Vincent. Mulai sekarang Anda harus lebih berhati-hati” kata Hiro menasihati.
Winter mengangguk, tanpa perlu mengingat nasihat Vincent, dia memang akan hati-hati kepada Paula dan kepada siapapun yang di temuinya.
“Nona, hati-hatilan” nasihat Hiro lagi mengingatkan agar Winter tidak lupa.
“Iya” Winter segera berbalik dan pergi mendekati Paula lagi yang kini berdiri menunggu.
“Winter, ayo ke kelas denganku” ajak Paula.
Winter mengangguk setuju, kini dia tidak perlu repot-repot mencari kelasnya karena Paula akan mengantarnya.
Untuk beberapa menit Winter bisa menahan jijik dengan Paula yang terus menempel dan bersikap manis kepadanya, ke depannya dia akan menjambak rambut Paula hingga kepala Paula pitak.
“Winter.” Paula yang baru beberapa langkah berjalan langsung berhenti melangkah, gadis itu merasakan langkah tegas Winter yang tidak seperti biasanya, tidak hanya itu, Winter juga memakai sepatu berheels tinggi tanpa hambatan apapun.
Winter berjalan dengan sangat tegas dan terlihat nyaman, gadis itu tidak oleng dan jatuh sama sekali.
“Kau… sejak kapan kau bisa memakai sepatu seperti itu?” tanya Paula bingung. “Tidak seperti biasanya kau juga dandan dan memakai korset.”
To Be Continue..
“Kau… sejak kapan kau bisa memakai sepatu seperti itu?” tanya Paula bingung. “Tidak seperti biasanya kau juga dandan dan memakai korset.”Alis Winter sedikit bergerak. “Kak Vincent mendandaniku.”“Kak Vincent pulang?”“Ya.”“Senangnya...” senyum Paula terlihat bahagia. “Pasti dia membawa banyak hadiah untukmu.”Winter menyeringai, Vincent memang membawa banyak hadiah untuk Winter, Namun itu semua tidak terlepas dari makanan yang sangat mengganggunya.“Winter, mengenai Hendery, aku sudah menemui dia memarahinya, Hendery tampak menyesal atas apa yang telah dia perbuat padamu, Hendery juga sudah mendapatkan hukumannya dari sekolah. Dia berharap bisa berbicara denganmu dan meminta maaf atas kejadian waktu itu.”“Kau atur saja waktunya.”“Baiklah.”Paula dan Winter kembali berjalan, kebersamaan
Seorang guru yang berdiri di depan kelas segera mengambil laptopnya dan berpamitan pergi usai mendengar suara bel yang berbunyi.Beberapa orang mulai beranjak dari duduk mereka dan pergi keluar menikmati waktu istirahat mereka.Winter sedikit menguap sambil melihat keluar jendela, sudah sangat lama dia tidak pernah belajar, kepalanya terasa sedikit penat dan suntuk begitu kembali harus belajar.Winter segera beranjak dari duduknya dan pergi keluar, sekilas dia melihat pemuda yang berbicara dengannya tadi pagi. Tanpa sengaja mereka saling berpandangan.Pria itu menatapnya dengan lembut, namun ekspresi di wajah tampanya sangat dingin dan tidak tersentuh.Winter langsung memutuskan tatapannya, gadis itu memilih pergi keluar dari kelasnya.Kedatangan Winter keluar dari kelas kembali menjadi pusat perhatian banyak orang seperti tadi pagi, Winter yang sangat percaya diri tetap melangkah dengan tegas melewati orang-orang yang beberapa di anta
“Memangnya kejadian mana yang sudah membuatku jadi naif?” Tanya Winter dengan senyuman misteriusnya berusaha memancing Marvelo bicara dan memberitahu apa yang sebenarnya telah terjadi.Jiwa Kimberly sendiri mengakui betapa naifnya kehidupan Winter Benjamin yang sebelumnya. Winter yang dulu adalah gadis selalu mengalah demi orang lain, tidak pernah marah, dan menuruti apapun yang orang lain katakan kepadanya.Jiwa Kimberly yang kini ada di dalam diri Winter menjadi sangat marah.Winter yang dulu tidak ada bedanya dengan sampah yang bernilai, tidak berguna namun memiliki nilai mahal.Kening Marvelo sedikit mengerut, pria itu menghadap Winter dan menatap tajam gadis itu.“Saat kau bertengkar dengan Paula, kau sangat marah begitu besar meluapakan emosimu, kau bersikap seperti seseorang yang ingin mati dan tidak memiliki harapan apapun lagi setiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Paula. Setelah kejadian itu, seharusnya
Winter melongo, bibirnya menekan menahan makian karena jumlah bayaran yang harus dia bayar sangat besar. Dari mana Winter memiliki uang sebesar itu?.Bahkan jika Winter memiliki uang sebesar itu, dia akan lebih memilih pergi ke klinik kecantikan untuk luluran dan spa selama beberapa bulan.“Aku tidak memiliki uang sebesar itu,” jawab Winter.“Winter, Kau lupa? Kartumu tanpa batasan,” Paula mengingatkan.Seketika Winter berekspresi dingin, dia sudah menebak jika Paula ingin di belikan, namun Winter tidak menyangka jika Paula benar-benar setidak tahu malu itu karena jumlah uang yang harus di keluarkan terlampau sangat banyak.Dengan ragu Winter mengambil dompetnya dari dalam tas dan membukanya, ada banyak kartu yang tersedia di sana.Benjamin benar-benar memanjakan Winter dengan uangnya.Winter memberikannya kartunya kepada kasir dan Winter hanya perlu memasukan beberapa pin dan pembayaran itu langsung selesai.
Winter kembali keluar dari dari toilet kembali dan menemui Paula yang kini duduk sendirian. Tidak berapa lama seorang pria berpakain hitam dan terlihat muda, juga menarik datang menghampiri mereka.Paula tersenyum lebar segera berdiri menyambut kedatangan Hendery yang datang sendirian. Pria itu tidak memakai seragam sekolahnya karena masih di skors atas tindakannya kepada Winter yang menyebar luas di forum sekolah.Winter yang duduk dan bersedekap sedikit mengangkat pandangannya dan membalas tatapan Hendery yang meliriknya saat berbicara dengan Paula.Kening Winter sedikit mengerut dan sedikit berdecih. Wajah dan fisik Hendery benar-benar tidak masuk ke dalam kualifikasi sempurna pria idaman seorang Kimberly.Jiwa Kimberly sedikit tertawa, menertawakan selera Winter yang sangat benar-benar tidak ada levelnya bagi seorang Kimberly.“Hendery, akhirnya kau datang.” Sambut Paula yang langsung memeluk Hendery dengan akrab.Hende
“Nona, ini dompet Anda” Nai menyerahkan dompet Winter yang sempat di buang.Nai memasang ekspresi dingin di balik kacamata hitam yang dia kenakan. Wajahnya yang sudah menua terlihat masih tampan dan gagah, namun belakang kepalanya terlihat berkilau karena rambutnya yang rontok.“Terima kasih.” Winter tersenyum puas melihat dompetnya masih mulus.Nai mengangguk singkat dan segera menutup pintu mobil, pria itu segera pergi mengitari mobil dan menyusul masuk.Nai duduk di kursi depan dan meminta sopir melajukan mobilnya. Nai segera membuka tabletnya untuk membuka catatan kegiatan Winter hari.“Anda mau langsung terapi?” tanya Nai.“Ya, antar aku ke sana.”Nai mengangguk dan langsung bicara kepada sopir yang duduk di sampingnya untuk segera berangkat.Winter menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi untuk meredakan rasa lelahnya. Fisik Winter yang besar membuat dia menjadi cepat merasa lelah dan kesulitan bernapas. Beruntung sekarang musim salju, Winter akan lebih banyak kedinginan di ban
“Persetan dengan kata professional” sela Kimberly dengan tajam. “Jika kalian menuntut model professional, kalian juga harus menyiapkan panggung yang lebih professional agar keselamatan para model terjamin. Panggung itu setinggi dua meter, tulang model akan patah jika terjatuh dan terpeleset. Jika tidak bisa memberikan panggung yang aman, pikirkanlah rencana lain tanpa membuat model berisiko celaka dan acara tetap berjalan dengan lancar.” “Diamlah Kimberly! Kami tidak keberatan dengan panggung yang basah” sela Lexy, wanita yang bergaun putih seperti salju di pagi hari. “Bilang saja kau takut karena ini untuk pertama kalinya kau memakai gaun, kau kan hanya terbiasa memakai pakaian dalam saja. Kau khawatirkan kan? Kau tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhmu karena gaun terbaik malam ini di pakai olehmu.” Kimberly tersenyum smirk. “Tutup mulut sialanmu itu. Aku bicara karena aku kasihan kepada kalian.” “Diamlah! Berhenti bertengkar! Bersiaplah dan lakukan yang terbaik malam ini!.” Relai
Winter membuang napasnya dengan berat, gadis itu tidak dapat menutupi rasa sedih di hatinya saat melihat bayangan tubuh barunya di kaca dan melihat tugu patung Kimberly yang berdiri di depannya secara bergantian.Betapa berbedanya mereka..Tiba-tiba perhatian Winter berpindah pada sudut lain.Kening Winter mengerut samar melihat seseorang yang keluar dari gedung hotel, orang itu cukup familiar di dalam ingatannya meski kini terlihat berbeda.“Apa aku tidak salah lihat?” tanya Winter bertanya kepada dirinya sendiri. Winter semakin meneliti dengan seksama takut penilaiannya salah. “Itu benar! Astaga” bisiknya dengan ekspresi kagetnya.Winter menutup mulutnya dan terlihat sedikit panik melihat ke sekitar.Sangat luar biasa mengejutkan. Winter melihat Marvelo, teman sekelasnya keluar dari gedung hotel kini mengenakan sebuah coat hitam, rok selutut, mengenakan sepatu perempuan, lalu mengenakan syal yang membelit lehernya untuk menutupi jakunnya.Hal yang paling mengejutkan adalah, wajah ta