Share

KAPAN AYAH PULANG
KAPAN AYAH PULANG
Penulis: SRP

KAPAN AYAH PULANG

KAPAN AYAH PULANG

BAB KE : PERTAMA 

ADA APA DENGAN AYAH 

18+

POV   :  FAIZ 

Ayah menciumku bertubi-tubi, tak biasanya Ayah seperti itu. Biasanya kalau Ayah mau pergi kerja, beliau hanya mencium pipi dan memperhatikan, setelah itu pamitan ... hanya itu.

Tapi pagi ini terasa berbeda. di mata Ayah, bahkan tampak jelas yang membuat bola mata berkaca-kaca.

"Ayah pamit, ya! Hati-hati di rumah, jangan bandel! Ikuti apa yang dikatakan Ibu!"

Tangan Ayah membelai, kemudian mencium keningku sekali lagi.

Pagi ini, kudengar suara Ayah agak berbeda, terdengar serak. Hatiku bertanya, mengapa suara Ayah serak seperti itu? Apakah Ayah sakit? Tapi, rasanya tidak mungkin, karena badan Ayah tidak panas seperti waktu aku sakit dulu.

"Ayah mau kemana?" bertanya

"Ayah mau pergi kerja. Selama Ayah tidak di rumah, kamu yang jaga Ibu! Jangan membantah apa yang dikatakan Ibu!" pesan Ayah.

Aku hanya menjawab dengan anggukkan, karena aku tak paham dengan apa yang dikatakan ayah.

Menjaga Ibu?

Bagaimana caranya aku menjaga Ibu? Apakah harus ku cubit bila Ibu main ke kali, seperti yang sering dilakukan Ibu saya?

"Ayah pulangnya kapan?" tanya kemudian.

"Mungkin kali ini Ayah pulangnya agak lama."

"Apakah sampai azan maghrib?" ingin memastikan.

Bagiku bila Ayah pulang ketika azan maghrib, itu adalah waktu yang sangat lama untuk menunggu.

Dulu, hal itu pernah terjadi. Hasil kami tidak sempat ke langgar untuk salat berjamaah.

"Lebih lama lagi dari itu, tapi percayalah. Suatu saat nanti Ayah akan bertemu mu," jawab Ayah pelan.

Artinya aku menunggu Ayah lebih lama lagi dari waktu itu? Waktu yang membuat kami gagal sholat berjamaah di langgar.

Tiba-tiba hatiku merasa sedih, ingin rasanya menangis. Tapi aku malu menangis di depan Ayah, karena Ayah pernah berkata, anak lelaki tidak boleh cengeng.

"Kenapa masih berlama-lama di sana?! Nanti busnya keburu berangkat!"

Kami kagetkan oleh suara Ibu yang tiba-tiba muncul. Suara itu terasa memekkan telinga. Suara Ibu memang keras, bicara saja seperti berteriak, apalagi sedang membentak seperti saat ini.

Ibu berdiri di depan pintu kamarku sambil bertolak pinggang. Wajahnya terlihat penuh tantangan yang membuat aku jadi takut.

Sekali lagi Ayah menciumku, lalu berdiri. Aku melihat pipi Ayah dibaahi oleh air yang mengalir dari mata baliau.

Kenapa Ayah menangis? lelaki tidak boleh cengeng?

Owh ... mungkin menangis tanpa mengeluarkan suara bukan cengeng namanya, pikirku.

Ayah melangkah menuju pintu, ketika berpapasan dengan Ibu, tak ada yang terucap dari mulut mereka.

Ayah mengambil tas ransel yang teronggok di atas kursi, kemudian menyandangnya. Ayah melangkah keluar rumah meninggalkan kami.

Sebenarnya aku ingin berteriak memanggil Ayah. Tapi saya tidak berani, karena Ibu melihat dengan mata melotot.

Aku mengungkapkan punggung Ayah yang terus berjalan tanpa menoleh lagi ke arah kami. 

Akhirnya Ayah menghilang di tikungan, hatiku semakin sedih. Tak dapat kutahan air mata yang menyiram pipi ini.

"Kenapa menangis?! Dasar cengeng!" bentak Ibu.

Aku mengusap pipiku, menghapus air mata yang ada di sana. Aku tidak mau dikatakan cengeng. 

Tapi, kenapa Ibu bilang aku cengeng? Padahal aku menangis tanpa mengeluarkan suara.

****

Sejak itu, tiap sore aku selalu duduk di depan pintu. Karena lewat pintu inilah Ayah meninggalkan kami, dan di pintu ini pula aku menunggu Ayah kembali. 

Namun, Ayah tak pernah pulang. Entah sudah berapa hari, aku tak bisa menghitungnya, yang jelas sudah berhari-hari.

Hatiku selalu bertanya-tanya, kenapa Ayah tidak pulang? Apakah Ayah telah melupakanku?

kadang aku berpikir, mungkin Ayah tidak mau pulang gara-gara Ibu.

Ya, aku masih ingat kejadian malam itu. Ketika Ibu memarahi Ayah. Malam itu tanpa objek, ribut sekali.

Aku masuk ke kamar, tapi aku masih bisa mendengar suara mereka, dan besoknya Ayah pergi.

Mereka memang sering menolak, persoalannya selalu masalah uang. Pernah suatu ketika saya bertanya tentang itu pada Ibu.

"Ayah itu tidak akan mencari uang! Kerja dari pagi hingga sore, hasilnya cukup cukup untuk membuat makan doang. Anda jangan jajan terus!" jawab Ibu.

Jajan terus?

Aku heran dengan jawaban itu. Aku kan jarang jajan. Bagaimana mau jajan, giliran minta uang sama Ibu malah diomelin. Paling yang ngasih juga Ayah, itupun sore doang, setelah Ayah pulang dari kerja.

Kalau yang namanya Dudun, itu baru jajan mulu kerjanya. Setiap dia minta jajan selalu dikasih sama Ibunya, dan ibunya juga tidak pernah marah seperti Ibuku.

Kalau upah Ayah hanya cukup buat makan doang, seharusnya jangan Ayah yang diomelin, yang ngasih upahkan Pak Haji Duloh, seharusnya Pak Haji Duloh yang dimarahin. Bukan Ayah!

Tapi, orang tua Dudun tak pernah ribut soal upah. Bapak Dudun dan Ayahku bekerja di tempat yang sama, pabrik genteng milik Haji Duloh. Upahnya juga sama-sama di bayar tiap hari. Bahkan Dudun juga punya kakak yang telah duduk di kelas tiga yang jayanya juga gede. Keluarga mereka baik-baik saja, tidak pernah ribut.

Dia berlari....

****

Sekarang aku sudah jarang main, aku lebih suka duduk di depan pintu menunggu Ayah. 

Banyak yang melarang aku, agar tidak melakukan itu. Tapi aku tidak mau. Karena menunggu Ayah pulang merupakan hal yang hatiku bahagia. 

Menunggu sambil membayangkan masa lalu. Di saat aku bersama Ayah ke langgar, pergi memancing, mandi di kali, bahkan belajar bersama Ayah.

Bila ingat itu, aku suka senyum dan tertawa sendiri, tapi kadang kala aku juga menangis ... tanpa suara. Hanya air mata yang meleleh di pipi.

****

Sudah hampir lebaran, Ayah belum juga pulang. 

Apakah Ayah tidak tau kalau aku sedang menunggu?

Aku rindu!

Tapi yang selalu datang adalah Om Darto. Sejak Ayah pergi, dia semakin sering ke sini. Dulu, Sewaktu Ayah Masih Ada, dia juga pernah datang ke rumah beberapa kali.

"Jangan cerita ke Ayah, kalau Om Darto ke sini. Awas kalau kamu cerita!"

Setiap Om Darto berkunjung, Ibu selalu berpesan seperti itu. Aku bangganya karena takut dimarahin.

Lebaran kali ini, Om Darto yang membelikan baju lebaran. Tentu aku senang, walau tidak sesenang bila Ayah yang membelikannya.

"Mulai sekarang, kamu panggil Om Darto dengan sebutan Ayah, ya!" perintah Ibu padaku, saat takbir sedang berkumandang. Aku menjawab dengan gelengan.

"Kenapa tidak mau?" tanya ibu.

"Aku sudah punya Ayah," jawabku.

"Om Darto juga akan menjadi Ayahmu!"

"Aku tidak mau Om Darto jadi Ayahku! Aku ingin Ayah kembali pulang," jawabku, sambil menunduk mengungkapkan jemari yang sedang kumainkan.

"Ayahmu tak akan kembali lagi ke sini! Om Darto yang akan menggantikannya. Kamu harus mengikuti apa yang Ibu katakan!" Ibu membentak.

"Aku tidak mau! Aku akan tetap menunggu Ayah," jawabku.

"Kamu tak perlu lagi mengharap Ayah mu! Dia tidak akan kembali lagi ke sini ... melihat apa yang diberikan Om Darto untukmu!"

Ibu melemparkan pakaian yang masih terbungkus ke arahku. Itu pakaian yang dibelikan Om Darto berapa hari yang lalu.

Aku mengambil pakaian itu, meletakkannya di depan Ibu. Kemudian aku berlari ke kamar.

Aku menghempaskan tubuh ke atas ranjang, hatiku terasa sedih. Air mata tak terbendung lagi. Aku menangis tapi tak bersuara, karena aku tidak mau dikatakan cengeng.

Ayah, kapan pulang?

Aku tidak butuh baju baru untuk lebaran, yang aku order kebersamaan dengan Ayah. 

Bersama ayah mengumandangkan takbir di langgar. Besok, kita bersama melangkahkan kaki menuju masjid untuk melaksanakan shalat idul fitri. Setelah itu kita teruskan dengan salam-salam ke rumah tetangga. 

Kapan Ayah pulang?

Aku akan selalu menunggu Ayah. Ayah telah meminjamkan, suatu saat akan menemuiku. Aku yakin, Ayah pasti datang. Karena Ayah pernah berkata, kita tidak boleh berbohong.

Suara takbir di langgar semakin menggema. Sementara, aku hanya berbaring di atas ranjang. Ingin rasanya aku pergi ke langgar. Bertakbir seperti lebaran yang lalu.

Tapi, tanpa Ayah... semua terasa tak indah. Biarlah lebaran kali ini, hanya air mata yang bertakbir di pipi.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status