Share

DIPUKUL IBU

KAPAN AYAH PULANG 

BAB KE  :  2

DIPUKUL IBU 

POV  :  FAIZ 

18+

"Tina! Urus anak kamu itu! Sudah sore belum juga mandi. Ngapain tiap hari duduk di depan pintu. Sudah gila anak kamu itu, ya?!" Suara Om Darto melengking dari dalam rumah, diiringi dengan kasak-kusuk Ibu yang keluar dari kamar. Pertanda sebentar lagi aku akan digiring Ibu untuk mandi.

Walau suara itu mengagetkan, tapi aku tidak beranjak dari duduk. Mataku hanya melirik sebentar ke dalam. Ke arahnya. Setelah itu beralih lagi menatap gang jalan yang cukup jauh dari rumahku.

Gang yang selama ini selalu menghadirkan harapan di hati. Harapan kemunculan seseorang dari sana. Sosok yang sangat aku rindu.... 

Ayah!

Tapi, sejauh ini. Harapan itu masih sia-sia, yang membuat hatiku selalu kecewa. Karena Ayah tidak pernah muncul dari sana. Entah kemana Ayah pergi! Begitu lama beliau tak pulang‐pulang. Ingin rasanya menyusul, tapi tak tahu, ke mana harus mencari.

"Bilang aja baik-baik! Tak usah pakai, gila!" 

Itu bentakan Ibu menjawab ucapan Om Darto.

"Kalau bukan gila apa namanya?! Tiap hari duduk di depan pintu. Planga-plongo, senyam‐senyum seperti orang tak waras!" balas Om Darto sengit.

Hening....

Tak ada lagi suara dari mereka. Aku sedikit lega, karena keributan itu tidak berlanjut.

Entah mengapa, mereka terlalu sering ribut. Terkadang aku bingung, karena hampir tiap hari mereka bertengkar. Ada saja persoalan yang membuat mereka saling berteriak. Kalau telah begitu, tidak jarang aku melihat Ibu menangis ... kasihan!

Rasa kasihan pada Ibu membuat rinduku pada Ayah semakin menggebu.

Ayah, Pulang lah!

Dulu saat kita bersama, Ibu tidak pernah mengeluarkan air mata ... Ayah juga tidak pernah membentak Ibu. Walau Ibu sering ngomel dan suka memarahi Ayah, tapi Ayah hanya diam, atau pergi mengajak aku bermain. Kemudian kita akan bercanda dan tertawa bersama ... aku rindu semua itu.

Kapan Ayah pulang?

Ataukah benar Ayah tidak akan pulang lagi? Kata orang Ayah dan Ibu telah bercerai dan Ibu telah menikah dengan Om Darto. Tapi aku tidak tau, apa itu bercerai dan apa pula itu menikah.

Apakah kalau Ayah pergi begitu lama, itu namanya bercerai? Kalau benar begitu, tentu aku tidak akan membiarkan Ayah pergi waktu itu. Karena aku tidak mau Ayah dan Ibu bercerai. Sebab perceraian itu telah membuat kami selalu bersedih dan Ibu sering menangis.

Sekarang di rumah kita ada Om Darto. Dulu dia baik, bahkan pernah membelikan aku baju. Tapi, itu dulu! Sudah lama sekali, saat mau lebaran.

Tapi sekarang dia pemarah dan suka membentak Ibu. Kalau mereka telah bertengkar, Ibu selalu menangis....

Pulang lah, Yah!

Kasihan Ibu....

Rasanya ingin aku mengusir Om Darto dari rumah ini. Tapi, aku tidak berani. Karena dia suka melotot dan pemarah.

Aku heran, kenapa Ibu membiarkan Om Darto menumpang di sini, tinggal bersama kami. 

Mungkinkah karena menikah itu? Menikah dengan Ibu? Kalau benar demikian, aku ingin hanya Ayah yang menikah dengan Ibu, agar hanya Ayah yang tinggal bersama kami. Biar kita bisa bersama seperti dulu lagi.

"Ayo Faiz! Mandi!"

Aku menoleh, terlihat Ibu telah berada di belakang. Tangannya menggapai lenganku dan menyentak dengan kasar, sehingga aku seperti diseret untuk bangkit.

Setelah aku berdiri, Ibu menarik lenganku dan menyeret menuju kamar mandi. 

Tubuhku sedikit miring terseok mengikuti langkah Ibu. Sebelum memasuki rumah, mataku kembali menatap ke arah gang, berharap Ayah ada di sana. 

Untuk pulang!

Tapi, gang itu tetap sepi, disapu cahaya mentari yang mulai meredup di ujung sore.

"Sudah berapa kali Ibu katakan, jangan duduk lagi di depan pintu itu! Ayah Darto tidak suka melihat kamu seperti itu," ucap Ibu, ketika beliau mulai melepaskan pakaianku di kamar mandi.

"Aku menunggu Ayah," jawabku pelan.

"Ayahmu tak akan kembali lagi. Sekarang Om Darto itu yang menjadi Ayahmu," tukas Ibu sambil mengguyur tubuhku dengan segayung air.

Guyuran air membuat tubuhku terasa segar, namun kesegaran itu tidak mengalir ke hati. Karena aku merasa di sana masih kering. 

Kering dari kasih sayang orang tua.

"Mulai besok, jangan duduk lagi di sana, ya?" bujuk Ibu, beliau mulai menyabuni tubuhku.

Aku menggeleng, "Aku akan tetap di sana sampai Ayah pulang," ucapku.

"Hihhhh... kenapa kamu keras kepala sekali!" teriak Ibu geregetan, tangannya mencubit lenganku. Terasa perih! Aku sedikit meringis.

"Ayahmu tidak akan pulang lagi! Sekarang Om Darto lah yang menjadi Ayahmu!?"

"Aku tidak mau punya Ayah seperti Om Darto yang galak! Aku ingin Ayahku," tolakku.

"Kamu harus mengikuti apa yang Ibu katakan, kalau kamu masih ingin tinggal di sini bersama Ibu!" suara Ibu mengeras seperti bentakkan.

"Kalau begitu antarkan aku ke Ayah!" suaraku juga ikut mengeras.

Plakkk...

Aku terkejut dan terpana, ketika gayung yang berada di tangan Ibu mendarat di kepalaku.

Ada perih yang kurasakan dibekas hantaman gayung itu. Namun jauh lebih perih rasa yang muncul dalam hati ini. 

Tak kusangka, Ibu yang telah melahirkanku begitu tega memukul kepalaku pakai gayung. Dadaku terasa sesak, ingin rasanya menangis.

"Ya, Allah Faiz! Kepalamu berdarah! Makanya, jangan suka bikin kesal Ibu," teriak Ibu sambil memelukku. Bersamaan dengan itu ada cairan hangat yang terasa membasahi kepalaku ... darah.

Dengan panik Ibu mengusap kepalaku yang mengeluarkan darah. Beberapa kali beliau menciumku, mungkin karena menyesal. 

Aku hanya diam mematung, sesak di dada semakin menjadi ketika melihat air mata yang membasahi pipi Ibu. Ternyata beliau menangis ... kasihan. 

"Apa yang kamu lakukan dengan anak mu itu?!" Om Darto berdiri di pintu kamar mandi, dengan mata merah menatap kami. Mungkin suara Ibu yang membuat dia datang ke sini.

"Kepala Faiz berdarah, aku tidak sengaja memukulnya," jawab Ibu terisak, yang membuat hatiku semakin sedih.

"Memukul anak sampai kayak begitu! Tak ada otakmu sedikit pun, ya?!" bentaknya. Ibu tidak menjawab, telapak tangannya masih menempel di kepalaku.

Walau Om Darto membelaku, namun aku benci sama dia, karena sikap kasarnya pada Ibu selama ini. Aku tak ingin melihatnya lama‐lama, aku melangkah, ingin keluar dari kamar mandi ini secepat mungkin. Ibu berusaha meraih tanganku, tapi aku tepiskan.

Om Darto menyisih ketika aku melewatinya. Aku mempercepat langkah, ingin segera sampai ke depan pintu, siapa tau Ayahku telah muncul di ujung gang.

"Kenapa kamu sekasar itu terhadap anakmu? Sampai rambutnya basah sama darah! Dasar perempuan tolol!" Bentakkan Om Darto terdengar jelas dikupingku, walau aku telah berada di ruang depan.

Terdengar Ibu membela diri, suaranya juga keras. Keributan terjadi lagi antara mereka.

****

"Ya, Allah ... Faiz! Kenapa kepalamu, Nak?"

Aku disambut pertanyaan Pak De Kemal ketika kaki baru menginjak ambang pintu. Beliau adalah Ayah dari temanku ~Dudun. 

Ternyata Ayah Dudun baru pulang dari kerja. Dia lewat di depan rumah bersamaan dengan aku baru muncul di depan pintu.

Dengan gegas dia menghampiri, kemudian jongkok di depanku  yang membuat tinggi kami sejajar. 

"Ya, Allah ... kenapa kepalamu sampai berdarah begini, Nak?" tanyanya sambil mengusap rambutku. 

Terlihat kecemasan di wajah Pak De Kemal ketika memperhatikan noda darah yang menempel di telapak tangannya. Mungkin itu darah yang membasahi rambutku tadi.

"Kamu di pukul Ibumu lagi?" tanyanya sambil menatap wajahku lekat‐lekat. Kedua tangannya memegang lenganku.

"Pak De, kepalaku berdarah," ucapku pelan, tanpa mau menjawab pertanyaan Ayah Dudun.

Kalau aku katakan yang sebenarnya, pasti Pak De akan memarahi Ibu. 

Dulu, Pak De pernah melihat aku dipukul Ibu. Pak De Kemal marah sama Ibu, bahkan Ibu dan Om Darto di usir dari rumah ini oleh Ayah Dudun itu. Tapi Ibu dan Om Darto tidak mau pergi sampai sekarang.

Ayah Dudun adalah teman kecil Ayahku. Ayah mengajarkan supaya aku memanggil Ayah Dudun dengan sebutan Pak De. Beliau sangat baik, terkadang suka ngasih uang jajan. Tapi herannya, Ayah Dudun juga tidak tau ke mana Ayahku pergi.

"Iya, nggak pa-pa! Ikut ke rumah Pak De, ya? Biar Pak De obati lukamu," ucap Ayah Dudun sambil meraih tubuhku dan beliau menggendongku.

"Apa yang kalian lakukan terhadap Faiz?!"  Suara Pak De Kemal menggelegar dengan mata melotot ke ruang depan.

Ternyata di sana ada Ibu dan Om Darto. Mereka berdiri dengan menunduk dekat meja. Jelas kelihatan rona ketakutan di muka mereka.

"Tadi saya tidak sengaja memukul Faiz," jawab Ibu, suaranya bergetar. Entah karena takut atau menahan tangis.

Ibu dan Om Darto memang tak berani sama Pak De Kemal. Mungkin karena perawakkan Ayah Dudun yang tinggi besar dan hitam, atau bisa juga karena Ayah Dudun itu teman kecil Ayahku. 

Entahlah...

"Sekarang Faiz saya bawa ke rumah saya. Jangan kalian jemput! Dan jangan pernah bertemu saya sebelum kemarahan saya reda. Khilaf saya nanti, habis kalian saya gor*k!"

Ibu dan Om Darto masih menunduk, tak satupun dari mereka yang membuka mulut mendengar kata-kata Pak De. Mungkin karena suara Pak  De Kemal yang begitu lantang.

Setelah menatap Ibu dan Om Darto berapa saat, Pak De Kemal berbalik, kemudian melangkah dengan aku dalam gendongannya. 

"Mas Kemal ... bawa pakaian Faiz!" teriak Ibu setelah Pak De berjalan berapa langkah. 

Memang, tidak ada selembar benang pun yang melekat di badan, bahkan sisa sabun masih ada yang menempel di bagian tubuhku. Karena mandiku tadi belum tuntas.

Walaupun telanjang, aku tidak merasakan dingin dari tadi, padahal magrib sudah hampir menjelang. Mungkin kesedihan di hati dapat   mematikan sebuah rasa.

Rasa dingin!

"Tidak usah!" jawab Pak De ketus tanpa menghentikan langkahnya. Dia berjalan dengan tegap tanpa menoleh lagi ke belakang.

Mataku tidak lepas dari rumah, yang di depan pintunya berdiri Ibu dan Om Darto. 

Kesedihan masih terlihat di wajah Ibu, yang semakin lama semakin menjauh dari pandanganku, dan akhirnya menghilang setelah Pak De Kemal berbelok di sebuah tikungan.

Ketika Ibu tidak terlihat lagi, kerinduan pada Ayah kembali mengusik hati. Andai Ayah ada, mungkin semua ini tak akan terjadi. 

"Pak De, aku ingin ke tempat Ayah," bisikku di kuping Ayah Dudun.

"Ya, Nak. Nanti Pak De akan mencari Ayahmu," jawab Pak De sambil menepuk‐nepuk pantatku. 

Aku tersenyum mendengar janji Pak De. Aku yakin, Ayah Dudun akan memenuhi janjinya. Karena Ayah  Dudun adalah orang yang baik. 

Orang baik tentu tidak akan mengingkari janjinya, bukan?

Membayangkan akan bertemu Ayah, senyum semakin melebar di bibirku dan mataku terasa berat, lalu semuanya menjadi gelap.

Aku tak ingat apa-apa lagi.

BERSAMBUNG 

****

Keterangan:

Dudun adalah teman dekat Faiz ~ tokoh utama dalam cerita ini (aku).

Ayah Dudun bernama Kemal, teman kecil dari Thoriq ~ayah kandung Faiz ~ Faiz memanggil Kemal dengan sebutan Pak De. 

Darto adalah bapak sambung dari Faiz. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status